Pelibatan Petani Perempuan dan Pemuda Gambut dalam Sekolah Lapang BRG
4 min readJAMBIDAILY PENDIDIKAN – Inovasi dan daya lenting para petani gambut di Riau tidak diragukan. Mereka tidak melulu berharap atau menuntut bantuan. Sebaliknya, mereka tangguh menggalang keswadayaan. Ini menjadi modal sosial penting membangun gerakan petani yang akan menjadi pelindung ekosistem gambut di tingkat tapak.
Sekolah Lapang Petani Gambut dirintis BRG sejak akhir 2017. Pertimbangan utamanya adalah memberikan solusi kepada para petani gambut untuk dapat melanjutkan kegiatan pertanian tanpa merusak lingkungan. Secara khusus tanpa melakukan pembakaran.
Di lahan-lahan gambut tipis dengan fungsi budidaya, pertanian rakyat sudah lama dilakukan. Mereka menjadi pemasok bahan-bahan pangan bagi desa dan wilayah sekitar. Ketika bicara ketahanan pangan, maka desa-desa gambut ini sudah lama melakukannya.
Sekolah Lapang Petani Gambut BRG didedikasikan untuk mendorong gerakan petani yang mampu menjalankan pertanian bijak iklim di lahan gambut. BRG dan para mitra seperti LSM Kemitraan dan Proforest juga memfasilitasi para kader Sekolah Lapang membangun demplot atau kebun contoh Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di desa masing-masing. “Khusus tahun 2019, ada 138 demplot yang tersebar di 130 desa/kelurahan. Membanggakannya, 59% atau 82 demplot itu dibangun secara swadaya oleh petani. BRG hanya memberi alat pertanian sederhana,” tambah Myrna.
Sekolah Lapang Petani BRG juga melibatkan petani perempuan. Ibu Aslikah, misalnya.Ia adalah salah seorang petani dari Kelompok Wanita Tani (KWT) yang ada di desa Rawa Bangun, Rengat, Riau dan juga Kader Sekolah Lapang. Ibu dari 2 orang anak ini bertani bukan sebagai peran pembantu, melainkan pelaku utama dalam mengelola tanahnya. Suami Aslikah adalah buruh bangunan. Bu Aslikah menggarap lahan pertaniannya mulai dari mencangkul hingga panen. Sekitar satu hektare lahan di belakang rumahnya ditanaminya jagung dan sayuran. “Hasil pertanian ini sangat membantu kebutuhan ekonomi keluarga kami” kata Bu Aslikah. Suaminya mengamini perkataan Aslikah.
Cerita yang sama juga disampaikan Ibu Dwi Hesti Anggraeni, dari kelompok tani Gajahura Kelurahan Sekip Hilir, Indragiri Hulu. Lahan gambut seluas 1 hektaremenjadi sumber mata pencaharian keluarga bagi Ibu Dwi. Di situ ia menanam cabe, jagung, kangkung, sawi, bayam, daun bawang. Juga sebagian lahan ditanami jahe. Dwi punya 30 polybag jahe, dengan hasil panen sekitar 5kg/polybag. Total nya sekitar 150kg/panen. Jahe Ibu Dwi ini menjadi bahan baku langganan para penjual jamu.Lalu pada masa pandemi Covid-19 Ibu Dwi juga membuat hand sanitizer berbahan daun sirih, lidah buaya, jeruk dan sereh. Ia membagikan kepada warga disekitarnya.
Peran Anak Muda
Cerita tentang para petani di atas menunjukkan mereka adalah inovator. Berani mencoba hal baru untuk perbaikan ekosistem gambut, sekaligus menguatkan ekonomi rumah tangga dan perekonomian desa. Tidak gampang mencari petani dengan karakter seperti ini.
Di balik proses penemuan mutiara terpendam ini adalah para fasilitator Desa Peduli Gambut. Sekumpulan anak muda yang berdedikasi tinggi. Mereka tinggal di desa, hidup dan bergaul dengan para petani.
Suwardi adalah salah satu fasilitator DPG yang jeli menemukan Pak Ismail. Dia tidak salah memilih Ismail untuk mengikuti Sekolah Lapang. Ditanya alasanya, Suwardi menjelaskan, “Pak Ismail itu istrinya pedagang sayur. Sengaja saya memilih beliau karena salah satu masalah uji coba demplot adalah pemasaran. Nah, masalah seperti ini tidak terjadi pada Poktan Memanah karena hasil-hasil dari demplot langsung dibawa istri Pak Ismail ke pasar. Masyarakat yang melihat juga percaya bahwa cara PLTB dan pertanian alami ini akan ada pasar yang menampung”, kata Suwardi. Suwardi memang cerdik dan kreatif. Kini, meski tidak lagi bertugas di Desa Pedekik, Suwardi tetap menjalin komunikasi dengan Poktan Memanah. Ia juga rajin mempromosikan kegiatan Poktan ini di media sosial.
Pak Badri di Siak bisa muncul dan makin percaya diri karena peran Syafria Ningsih, salah satu fasilitator DPG perempuan yang tangguh di Riau. Pak Sukamtono menemukan kawan berdiskusi dalam pengembangan demplotnya dengan Ilfan, Pak Kholil ditemukan oleh Usman Affandi yang tinggal di salah satu dusun di Desa Bagan Sinemba. Di tempat lain ada petani fasilitator bernama Rafi Merbamas. “Usaha itu tidak akan menghinati hasil.Alhamdulillah, kelompok tani di desa dampingan saya sudah panen perdana pare, timun dan jagung” ujarnya. Rafi patut berbangga karena demplot kelompok tani itu sempat dua kali gagal.
Kita perlu anak-anak muda yang bekerja dengan kreatif dan tulus untuk membantu para petani. Di desa-desa gambut, kita temukan para fasilitator Desa Peduli Gambut. (*/BRG)