Riau, Membangun Lumbung Pangan Sehat dari Pertanian Rakyat di Lahan Gambut
4 min readJAMBIDAILY EKONOMI – Inovasi dan daya lenting para petani gambut di Riau tidak diragukan. Mereka tidak melulu berharap atau menuntut bantuan. Sebaliknya, mereka tangguh menggalang keswadayaan. Ini menjadi modal sosial penting membangun gerakan petani yang akan menjadi pelindung ekosistem gambut di tingkat tapak.
Ismail (50tahun), tersenyum bangga sambil memegang buah melon dan labu madu. Baru saja ia memanen kedua buah tersebut. “Alhamdulillah, akhirnya berhasil,” kata Ismail. Melon dan labu madu itu adalah percobaan yang kesekian yang dilakukan Ismail dan kelompok taninya yang diberi nama Kelompok Tani (Poktan) “Memanah”. Mereka melakukannya di lahan kebun contoh (demplot) mereka, di Desa Pedekik, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Kebun contoh itu dapat disebut revolusi pertanian yang dilakukan Ismail dan kawan-kawan. Tidak berlebihan dikatakan demikian karena di lahan demplot itu mereka melakukan tiga perubahan besar dari praktik pertaniannya.
Yang pertama menerapkan pertanian tanpa membakar. Lahan-lahan pertanian di Desa Pedekik pada umumnya lahan gambut. Para petani terbiasa melakukan pembakaran lahan gambut untuk menurunkan keasaman dan menaikkan pH tanah.
Bertahun-tahun pertanian dengan cara bakar lahan ini mereka lakukan. Namun demikian, ketika ekosistem gambut makin rusak, hal ini tidak mudah lagi dilakukan. Kebakaran adalah salah satu faktor penyumbang kerusakan gambut. Tahun 2015 adalah waktu dimana kebakaran hutan dan lahan parah terjadi di tanah air. Lebih 800 ribu hektar lahan gambut terbakar di seluruh Indonesia. Riau juga termasuk provinsi dengan luas lahan gambut terbakar yang besar.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan pembakaran lahan. Larangan ini tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009) dan Undang-Undang Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999). Setiap orang dilarang melakukan pembakaran lahan dan hutan. UU Lingkungan Hidup, memberikan penjelasan bahwa larangan ini dikecualikan pada mereka yang melakukan pembakaran lahan sebagai bagian dari kearifan lokal. Kearifan lokal itu dibatasi pada pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga, ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Pada saat kebakaran hutan dan lahan terjadi sangat parah, larangan membakar lahan diterapkan dengan tegas. Proses hukum diberlakukan kepada para pembakar. Hal ini menyebabkan banyak petanidi lahan gambut ketakutan. Mereka menghadapi dilema. Di satu sisi takut dengan ancaman hukuman. Di sisi yang lain harus tetap melanjutkan kegiatan pertanian untuk kebutuhan rumah tangga.
Dilema ini pun dialami oleh Ismail dan warga Pedekik. Yang mereka lakukan kemudian adalah kucing-kucingan dengan aparat yang melakukan patroli. Namun, perubahan terjadi ketika tahun 2019 lalu, Suwardi, fasilitator Desa Peduli Gambut dari Badan Restorasi Gambut (BRG) mendatangi Ismail. Suwardi menawari Ismail ikut dalam kegiatan Sekolah Lapang Petani Gambut yang diselenggarakan BRG.
Awalnya Ismail ragu. Tetapi Suwardi tidak berhenti meyakinkan bahwa tidak ada ruginya belajar hal baru. Maka, berangkatlah Ismail mengikuti Sekolah Lapang yang diselenggarakan di Desa Jatibaru Kabupaten Siak. Pada saat mengikuti pembelajaran di Sekolah Lapang dan bertemu dengan para mentor dan petani lainnya, Ismail mulai terbuka pikirannya. Bertani tanpa membakar itu bisa dilakukan. Tidak hanya itu, Ismail juga mendapat pelajaran membuat pupuk dan pestisida alami sendiri.
Kembali ke Pedekik, Ismail segera mengumpulkan kawan-kawan petani lain. Mereka membentuk kelompok tani. Memanah nama kelompok itu. Singkatan dari Membenahi Tanah. Ya, Ismail dan kawan-kawan memang ingin membenahi lahan gambut mereka yang rusak.
Perubahan kedua yang dilakukan Poktan Memanah adalah mulai menerapkan pertanian alami. Bekal pengetahuan dari Sekolah Lapang Petani Gambut BRG digunakan untuk membuat pupuk dan pestisida alami. Mereka membuat sendiri dari bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar mereka. Contohnya nanas, rebung, batang pisang, kotoran ternak, eceng godok, sabut kelapa, dedak padi, lengkuas, daun sirih, daun kemangi, tepung sagu, kepala udang, akar bambu, akar sagu, pakis uban, pisang masak, air kelapa, urin ternak dan buah gadong.
“Pupuk BRG”, demikian Ismail menamakannya. “Pupuk ini hasilnya jos. Tanaman jadi lebih kuat dan waktu panen makin panjang. Untuk kacang panjang, biasanya dengan pupuk kimia kami panen selama 15 kali panen dalam 30 hari. Tetapi dengan menggunakan pupuk ini, panen bisa sampai 20 kali selama sebulan,” kata Ismail.
“Yang lebih baik lagi bagi kami, kami bisa membuatnya sendiri. Tidak usah membeli. Ini mengurangi banyak biaya produksi,” tambah Maslina anggota Poktan Memanah lainnya.Apa yang disampaikan Pak Maslina Menunjukkan revolusi ketiga yang dilakukan Poktan Memanah, yaitu keswadayaan produksi. Dengan kemampuan membuat pupuk dan pestisida alami sendiri ,mereka sedang mengujicobakan semangat kemandirian petani.
“Sekolah Lapang Petani Gambut yang kami selenggarakan bertujuan menemani para petani gambut untuk melakukan pertanian dengan baik. Maksudnya ‘baik’ adalah tidak membakar, menggunakan bahan-bahan alami yang tidak merusak lingkungan, tidak lagi melakukan pembukaan lahan baru, serta menumbuhkan keswadayaan yang tinggi,” ujar Myrna Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG. (*/BRG)