13 Desember 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Program #OurNewsroom dan Peran Media di Masa COVID-19

8 min read

Uni Lubis saat memaparkan materi Seminar 21 Tahun UU Pers: Prospek dan Tantangan (Rabu, 23/09/2020)/Foto: Hendry Noesae

Refleksi 21 Tahun UU Pers/Oleh: Uni Lubis

JAMBIDAILY JURNAL – Sejak 26 Juni 2020, IDN Times meluncurkan program #OurNewsRoom, yang disiarkan setiap Jumat, pukul 19.00 WIB. Acara ini saya pandu, lewat siaran langsung di platform Instagram.

Di program yang sudah memasuki episode ke-14 pekan ini, saya mengajak para pemimpin redaksi media massa di Indonesia membahas kisah kerja di ruang redaksi dan kebijakan editorial yang diambil atas sebuah peristiwa atau isu yang tengah hangat. Behind the scene and editorial policy.

Ketika tulisan ini dibuat, saya sudah ngobrol dengan CEO LKBN Antara dan CEO Radio Suara Surabaya, Pemimpin Redaksi: Mojok.co, Magdalene.co, Harian Singgalang, IDX Channel, The Conversation Indonesia, Koran Pikiran Rakyat, Koran Suara Merdeka, Kompas.com, Suara Papua, Koran Bisnis Indonesia dan Majalah Femina. Insya Allah pekan ini saya akan mengulik informasi dari pemimpin redaksi Liputan6.com.

Tidak bisa dielakkan, pembicaraan kami kental dengan situasi pandemik COVID-19. Pola kerja yang berubah, mulai dari kerja dari rumah (work form home) secara penuh sejak pertengahan Maret 2020 sampai hari ini, WFH parsial, sampai sekadar mengurangi peliputan ke lapangan untuk melindungi reporter dan juru kamera dari infeksi virus corona.

Bisnis media mengalami kontraksi, tanpa kecuali. Ada yang terhempas virus yang datang bak gelombang besar sehingga harus kurangi karyawan, ada yang bak pohon kelapa digoyang angin. Mencoba bertahan di akarnya dengan efisiensi biaya di semua lini untuk bertahan agar tak harus mengurangi sumber daya manusia.

Semua mengatakan, pada awal pandemik, jumlah pembaca dan pemirsa naik, termasuk pembaca media digital. Tetapi, pemasukan iklan berkurang, karena di sektor swasta, pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) anggaran direalokasi untuk penanganan krisis kesehatan akibat COVID-19.

Para pemimpin media sepakat, baik dari observasi peliputan maupun pengalaman pribadi, terjadi akselerasi digital yang sangat cepat selama pandemik. Ini memicu kreativitas dan inovasi berupa program baru yang semua digelar secara virtual, memanfaatkan teknologi komunikasi yang ada. Berlaku prinsip: di setiap krisis, selalu ada peluang.

Lalu apa peran media selama pandemik?

Semua sepakat merujuk ke fungsi media sebagai lembaga komunikasi: to inform, to educate, to entertain. Menginformasikan, mendidik, menghibur.

Pandemik ini adalah bencana non alam yang melahirkan krisis kesehatan, yang diikuti krisis ekonomi dan sosial.

Sejak awal, ketika virus corona merebak di Kota Wuhan, Tiongkok, pertengahan Desember 2019, media mengambil peran penting menginformasikan dan mengedukasi.

Saya ingat, sejak Januari ketika pemerintah sibuk memproses evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) di Wuhan, media di Indonesia sudah memproduksi artikel, video dan grafis penjelasan soal virus corona, bagaimana dia menginfeksi, bagaimana tanda-tandanya, bagaimana menghindari terpapar virus, dan ragam informasi lainnya. Bagaikan sebuah orkestra global tanpa dirigen, yang dipicu oleh tugas mulia profesi jurnalis: menjunjung tinggi kemanusiaan.

Sesungguhnya, sejak awal pandemik, pers nasional menjalankan Pasal 6 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Saya kutipkan di sini, sambil kita refleksi memperingati 21 tahun UU. Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut:

a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Ruang redaksi di seluruh dunia, termasuk di negeri kita, menjadikan peliputan COVID-19 sebagai prioritas. Pandemik yang terjadi di era digital, era yang ditandai dengan tsunami informasi, menambah tugas pers menjadi berlipat-lipat beratnya. Pers berjuang memenangi perang informasi melawan hoaks, kabar bohong yang membanjiri ranah internet, lewat platform media sosial.

Para jurnalis menghadapi perang ganda: perang melawan virus corona dan perang melawan virus misinformasi dan disinformasi. Pandemik membuat semua orang, tidak terkecuali jurnalis, berada dalam masa penuh ketidakpastian.

Pers dan jurnalisnya, menghadapi krisis kepercayaan publik juga pandemik COVID-19 menjadi momen yang menentukan bagi media, apakah bisa memanfaatkan situasi dengan menjalankan misi sucinya, ataukah malah patah, terseret arus gelombang misinformasi dan disinformasi.

Mengapa? Karena belum pernah dalam sejarah, setidaknya 100 tahun terakhir, ada momen di mana begitu banyak situasi yang membingungkan. Intensitas perhatian kepada setiap konten yang dipublikasikan, bagaimana informasi dikemas, begitu masif.

COVID-19 mendistrupsi masyarakat. Bahkan hampir sembilan bulan setelah pandemik global, masih sedikit yang diketahui para ahli soal virus ini. Sama halnya dengan pakar kesehatan, para jurnalis kelimpungan dalam menyampaikan informasi yang berubah begitu cepat, kepada khalayaknya.

Kami di IDN Times pun mengalami situasi itu. Bahkan referensi artikel yang dipublikasikan di media dengan reputasi yang teruji, tidak menjadi jaminan informasi kesehatan dan sains yang kami terbitkan cukup akurat.

Prosedur Standar Operasional yang kami tegakkan adalah mengecek ke sumber informasi media tersebut, ke peer-reviewed jurnal, di mana saintis independen melakukan verifikasi atas sebuah temuan atau riset. Buat jurnalis yang tidak memiliki latar-belakang keilmuan yang mendukung, menelaah jurnal ilmiah, bahasa Inggris pula, adalah pekerjaan sulit. Tapi harus dilakukan. Bikin pening kepala. Bisa mengganggu imunitas tubuh.

Dalam webinar internasional yang saya ikuti, pemimpin redaksi koran terkemuka di AS, misalnya, menceritakan betapa informasi yang diperoleh dari Gedung Putih, kantor kepresidenan di sana, malah paling membingungkan.

Publik dibombardir informasi dari sumber pemerintah yang tidak bisa secara konsisten dipercayai. Bahkan untuk informasi yang disampaikan sang Presiden.
Peran jurnalis menjadi sangat kian penting.

Mengingatkan disiplin verifikasi. Saya teringat kalimat di dinding ruang redaksi The Chicago Tribune, saya berkunjung ke sana, musim semi 2011. “If Your Mother Says She Loves You, Check It Out”. Menjalankan fungsi mengawasi kekuasaan. Watchdog.

Sering diingatkan, bahwa saat dalam meliput krisis seperti pandemik, jurnalis dan medianya, sebaiknya lebih mempercayai pakar kesehatan, sainstis, ketimbang politisi.

Timbul masalah ketika penguasa mengkooptasi sainstis, membungkam sebagian pakar kesehatan, menjadikan mereka sebagai megafon kekuasaan untuk memaksa rakyat percaya, pemerintah sudah bekerja keras dan baik dalam menangani pandemik. Memilih narasumber yang kredibel, kompeten, berbasis data dan independen menjadi kian penting.

Pandemik membuat cara kerja lebih mengandalkan peliputan virtual, kurang terjun menggali informasi langsung di lapangan. Lebih mengandalkan jurnalisme pernyataan, ketimbang menggali fakta-fakta, mengecek ke realitas yang ada di tingkat masyarakat, dan menghubungkan fakta-fakta menjadi bermakna. Memberikan konteks. Menjelaskan duduk perkara.

Penting bagi jurnalis untuk tetap meliput secara mendalam. Tidak cukup meliput penambahan jumlah kasus COVID-19. Dimensi peliputan menjadi lebih luas dalam upaya memenuhi tugas, menyuarakan yang tidak (mampu) bersuara. Voicing the voiceless.

Media meliput penambahan kasus COVID-19, jumlah kematian, jumlah kesembuhan, cerita pengalaman personal pasien, testing, tracing and treatment, protokol kesehatan sesuai standar dunia, perburuan mencari vaksin sampai mengawasi perlindungan bagi tenaga kesehatan dan kesiapan infrastruktur kesehatan. Pula meliput krisis ekonomi dan pembelajaran jarak jauh. Ini semua penting.

Tapi jangan dilupakan isu yang tidak masuk dalam pusaran utama: kesehatan mental, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, meningkatnya perceraian, meningkatnya aborsi tidak aman, nasib masyarakat adat, nasib komunitas transgender, nasib pekerja seks komersial, kisah para penyandang disabilitas, diskriminasi yang dialami Transpuan dan kelompok marjinal lain.

Bagaimana jurnalis, dan medianya, menjalankan tugas yang kian rumit itu?

Jakob Oetama, pendiri Kompas, yang belum lama meninggalkan kita semua, mengingatkan pentingnya kebebasan pers yang disertai kompetensi profesional. “Untuk menjadi wartawan yang baik tidaklah cukup kalau hanya menjadi cerdas dan berbakat menulis. Wartawan sekarang dituntut untuk memiliki pengetahuan spesialisasi,” tulis Pak Jakob dalam buku Pers Indonesia, Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus.

Menjalankan etika profesi, kode etik jurnalistik, memberikan otoritas, wibawa kepada pers. Menjadikannya sebagai panduan. Contoh baik. Ancaman terhadap kemerdekaan pers masih ada.

Ucapan itu membawa saya ke bagian penjelasan umum di UU Pers :

“Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.

Saat kita memperingati 21 tahun UU Pers di masa pandemik COVID-19, kita melihat ancaman terhadap kemerdekaan pers untuk mencari dan menyajikan informasi. Ancaman terhadap apa yang disebutkan dalam Pasal 19 Piagam PBB tentang HAM. Jurnalis masih mengalami bullying (perisakan), doxing (pengungkapan data pribadi).

Saya terlibat sebagai salah satu dari sembilan informan ahli di tingkat nasional dalam proses akhir pembahasan hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers 2020 yang dilakukan Dewan Pers. Hasil IKP 2020 meningkat tipis (1,56 poin), dibandingkan dengan 2019. Dari kategori “Agak Bebas” pada IKP 2016-2018 menjadi “Cukup Bebas” pada IKP 2019-2020. Penilaian saya pribadi, IKP 2020 lebih rendah dari hasil resmi yang diumumkan, yaitu 75,27.

Hal-hal seperti tekanan pemilik perusahaan terhadap kebijakan redaksi, intervensi arah politik pemilik terhadap kebijakan editorial, intervensi pemerintah daerah terhadap pemberitaan, kekerasan terhadap jurnalis pada tahun politik 2019, kesejahteraan jurnalis, kepatuhan menjalankan kode etik jurnalistik masih jadi soal besar.

Di masa pandemik, banyak jurnalis jadi korban pemutusan hubungan kerja pula.
Politisi dan partai politik menjadikan sejumlah media massa sebagai alat propaganda politik. Itu terjadi tahun 2019, saat pemilihan presiden, dan rawan terjadi saat Pilkada serentak 2020.

Di mana peran Dewan Pers? Ini bagian yang perlu ditulis tersendiri.

Apakah UU Pers Nomor 40/1999 perlu direvisi agar lebih menjamin pemberdayaan Dewan Pers? Saya tidak setuju. Revisi UU untuk satu pasal berpotensi membuka kotak pandora, membawa hasrat politik ke revisi pasal-pasal lain, mengancam prinsip kemerdekaan pers yang menjadi roh dari UU Pers saat ini.

Pertarungan politik yang kian pragmatis, kedodoran dalam penanganan pandemik, sampai masih ngototnya legislatif dan eksekutif menjalankan Pilkada pada 9 Desember 2020, membuat saya tak bisa mempercayai “niat baik” politisi. Termasuk memberikan peluang revisi UU Pers.

 

Oleh: Uni Lubis/Pemimpin Redaksi IDN Times

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

31 − = 30