21 Desember 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Lamunan Pedagang Nasi Goreng, Telan Rindu Melawan Covid-19

9 min read

Oleh: Hendry Nursal

JAMBIDAILY JURNAL – Seperti malam-malam biasanya lelaki paruh baya duduk menikmati segelas kopi dipelataran belakang kontrakan setiap pulang hingga dinihari dari berdagang nasi goreng bersama sang istri dan anak lelakinya nomor dua, sementara anak tertua serta si bungsu berada di rumah.

Satu pagar area belakang menyatu bersama 10 pintu kontrakannya, kami tepat bersebelahan dinding. Membuka pintu depan hingga aktivitas di kamar mandi dapat terdengar saat larut malam. Kami jarang berjumpa, dia pulang rata-rata pukul: 02.00 Waktu Indonesia Barat (wib), bergegas di pagi hari menuju pasar membeli kebutuhan dagang. Tak terdengar, setelah itu dia sepertinya melanjutkan tidur sesaat, lalu barulah ada aktivitas memasak untuk dagangan. Kemudian pukul: 17.00 wib menuju lokasi dagangan yang berjarak kisaran 5 kilometer atau sekira 15 menit durasi tempuh menggunakan dua kendaraan bermotor miliknya.

Sehingga minim sekali perjumpaan kami, hanya saja sejak diumumkan kasus pertama tanggal 2 Maret 2020 di Indonesia dan 23 Maret 2020 di Provinsi Jambi, perjumpaan kami lebih sering dan lebih lama. Itu seperti kebiasaan sebelumnya, pembicaraan tidak banyak, intensitas saya di perangkat gawai (gadget) ataupun Komputer jinjing (Laptop) begitu tinggi.

Namun malam ini berbeda, malam ini terlihat penuh renungan tergambar dari raut wajahnya, jauh mata memandang begitu dalam pikirannya menjelajah angkasa. Sesekali dia melirik purnama yang begitu terang bercahaya berteman langit cerah malam. Tidak terlihat awan, hanya kerlipan bintang disekitar kemolekan dan cantiknya purnama bersama alunan kecil suara kendaraan dikejauhan.

Malam yang tenang, tanpa sedikitpun desiran tiupan angin, tetapi kesejukan suhu tetap terasa menusuk, hal wajar karena jarum jam telah menyentuh pukul: 01.00 wib. Pria yang biasa kami sapa Pak de’ tak sedikitpun gentar, tanpa berbaju walau suhu terasa tajam.

Mungkin biasa bagi dirinya, bukankah sebelumnya jauh lebih larut malam, tercepat pukul: 02.00 wib terkadang hingga pukul: 03.30 wib baru sampai di rumah. Menyesuaikan habis belumnya dagangan, atau karena akhir pekan.

Dibawah tumpahan cahaya purnama, Pak de’ sembari melihat kebun kecil berisi tumbuh-tumbuhan yang dirawatnya bersama Bu de’, berisi berbagai sayur mayur, cabe, pisang dan beraneka ragam tanaman hias. Ini menjadi penghibur waktunya, sebab pukul: 21.00 wib sudah pulang dari aktivitas satu-satunya untuk mencari rezeky, bahkan terlihat sering berada di rumah.

Tapi satu pertanyaannya yang tidak pernah berubah, setiap berjumpa dengan saya yaitu bagaimana perkembangan terkini kondisi covid-19 di provinsi Jambi. Ketika saya sampaikan ada penambahan kasus, terselip rasa khawatirnya beriring dengan do’a agar wabah ini segera berakhir, Jika tidak ada penambahan kasus, tersenyum mewarnai wajah lelaki yang tidak pernah patah keinginan dan semangat menanti pandemi berakhir. Hanya rona wajah tanpa kata dengan sedikit anggukan kepala setiap mendengar penjelasan saya.

Awal pandemi, dia begitu terpukul dia tidak bisa berdagang ketika adanya aturan adanya jam malam. Pergi berdagang pulang dengan hasil yang merontokkan semangatnya, “rasanya tidak masuk dengan pengeluaran dan modal untuk berdagang, sementara waktunya sangat singkat. Biasanya didapat hingga 300ribu per malam, saat ini saya pernah hanya ada yang beli satu bungkus. Jadi ya sesekali saja,” Ujarnya bercerita.

Impian untuk pulang ke pulau Jawa di momen lebaran hari raya Idul fitri tertunda, rasa rindu akan kampung kelahiran harus dipendam lebih jauh dari benaknya.

Dia mematuhi aturan pemerintah untuk tidak pulang kampung, dia tak sungkan bertanya pada saya, seperti apa penularan covid-19, bagaimana sebaiknya dia menyikapi,? Pak de’ menelaah kata demi kata, kalimat demi kalimat penjelasan saya.

Akhirnya tersemat pertimbangan dan rasa cemas dapat membawa covid-19 serta menularkan pada keluarga di kampung, keputusan berat pun diambil dengan tetap berlebaran di kota Jambi Tanah Pilih Pesako Betuah.

Berganti hari, berganti minggu, berganti bulan seiring dengan mereda tidak adanya peningkatan kasus di provinsi Jambi dan penetapan tata kehidupan baru (New Normal) dengan syarat patuh protokol kesehatan, memberikan ruang kembali dia berdagang. Kembali pulang pada pukul: 01.00 wib kembali bangkit semangatnya selain terpenuhi kebutuhan sehari-hari juga dapat mengobati rindu terhadap kampung halaman.

Hanya beberapa waktu saja, lonjakan kasus di provinsi Jambi menunjukan grafik yang signifikan bahkan kepala daerah yaitu Walikota Jambi terpapar bersama keluarga intinya, tak luput juga kalangan insan pers turut tercatat positif. Aturan pengetatan termasuk pemberlakuan jam malam kembali berulang, semua usaha di malam hari wajib tutup pukul: 21.00 wib, Pak de’ terlihat duduk dibangku buatan tangannya dengan sesekali berbaring menatap purnama.

Sabtu (03/10/2020) malam, sepanjang jalan di bilangan Sipin kota Jambi terlihat begitu padat oleh kendaraan roda empat dan dua. Mungkin karena akhir pekan, namun tetap saja terasa mengganjal dihati ditengah terus meningkatnya kasus baru positif covid-19. Terdata secara kumulatif 571 Kasus positif, 276 sembuh dan 14 kasus kematian.

Coba kita menilik data perkembangan jumlah kasus positif per bulan secara kumulatif di provinsi Jambi; 23 Maret: 1 Kasus, 1 Mei: 32 kasus, 1 Juni: 97 Kasus, 1 Juli: 117 Kasus, 1 Agustus: 168 Kasus, 1 September: 302 Kasus, 2 Oktober: 558 Kasus, 3 Oktober: 571 Kasus dan terbaru 4 Oktober sudah mencapai 593 Kasus.

Saya tidak berani menyimpulkan, pun berandai-andai jika warga tidak mengetahui maupun tidak peduli dengan peningkatan kasus. Cuma sedikit melegakan, sebagian besar pengendara terutama roda dua terlihat memakai kain penutup wajah (masker).

Berada diantara padatnya kendaraan, artinya saya termasuk melanggar. Saya tidak berlama-lama dijalanan itupun terpaksa berada dikerumunan menuju pulang ke rumah dari suatu tempat yang saya jadikan kantor darurat dan ternyaman selama covid-19, karena untuk mempermudah dalam mengingat perjalanan setiap harinya.

Jelang sampai ke rumah, sempat lah mampir di gerobak jualan roti bakar demi memenuhi pesanan istri yang sedang hamil muda. Sedikit terenyuh, sesosok anak perempuan sedang tidur beralaskan tikar didepan rumah toko (ruko) dengan bantal dan selimut yang tersingsing hingga kaki. Dia bukan anak jalanan, tetapi buah cinta pemilik dagangan roti bakar. “Dia anak saya berusia 3 tahun,” Tukas pria muda, hanya tersenyum saat ditanya nama.

Bersama sang istri, dia melayani setiap pembeli sembari berkejaran, akibat terdengar suara apel dari kantor kecamatan yang hanya berjarak 100 meter dari lapaknya, sebab waktu telah melewati pukul: 21.00 wib. Sedikit saya berbincang terkait aturan jam malam, dia akan menutup setelah seluruh pembeli termasuk saya dilayani “Setelah semua pesanan yang ada saat ini, kami langsung menutup dagangan,” tutupnya.

Terbesit di hati, kasihan lihat anak tertidur seperti itu di luar rumah malam hari pula. Semangat dan kekuatan anak itu menjadi pemacu debaran jantung orang tuanya, demi penghidupan masa depan “Ini pesanannya bang, terima kasih,” Kata istrinya.

Suara pintu belakang rumah saya terbuka, Pak de’ bergegas bangkit ditambah tatapan serius sang istri dan bertanya seperti apa kasus covid-19 hari ini,? tidak hanya perkembangan, saya juga jelaskan aturan pengetatan dan menyelipkan pesan untuk bersabar demi kebaikan orang banyak terutama keluarga di rumah.

Saya juga tak henti-hentinya mengingatkan Pak de’ agar sama-sama mematuhi anjuran pemerintah, mengikuti protokol kesehatan; rajin mencuci tangan, selalu pakai masker, menjaga jarak, hindari menyentuh area muka jika tangan belum tercuci dengan bersih serta tidak bersalaman. Sebab tidak ada yang mengetahui virus tersebut ada dimana dan sedang menghinggapi tubuh siapa,? Dia kuatkan penantian dengan segala keterbatasan.

Penantian itu, kini dia isi dengan berkebun memanfaatkan tanah kosong, area belakang rumah yang diberikan kebebasan oleh sang pemilik kontrakan. Berkali-kali diubahnya letak dan susunan bersama istri, mungkin sebagai cara mengobati pikiran bosan sehingga terlihat selayaknya pergantian tempat, termasuk posisi kandang kecil berisikan seekor kelinci yang cantik diberi nama ‘koko’.

Bukan hanya Koko, ada juga Jumi, kucing jantan oranye peliharaan Pak de’ menjadi pelengkap hiburan matanya dibawah siraman cahaya sang purnama yang menyejukan hati ketika di pandang.

Malam berlalu fajar menjelang, bangkit dari tidur lelap saya bergerak memenuhi keinginan merapikan rambut yang tampak panjang. Ada keraguan, mengingat pemangkas rambut ialah profesi yang pasti menyentuh langsung secara fisik dibagian kepala, bukan satu tapi banyak orang setiap harinya. Yakinkan diri, yakin mereka turut waspada dengan penuh kehati-hatian dalam menjalankan pekerjaan.

Saya sampai di ruang pangkas rambut langganan paling tidak dua tahun belakangan. Sepi, tidak banyak antrian. Pemangkas yang saya tidak ketahui namanya, acap kali saya sapa dengan sebutan ‘Uda’ sebab logat Sumatera Barat dalam setiap perbincangann sangat kentara darinya.

Selama covid-19 sudah lebih 4 kali saya memangkas rambut disana, setiap datang tidak pernah saya melihat dia bersama rekannya tanpa masker, setiap pergantian pelanggan selalu mencuci tangan, mungkin jarak yang tidak mungkin bisa dipenuhi untuk profesi pangkas rambut “Adakah rasa cemas selama covid-19 yang belum berakhir dalam menjalankan pekerjaan ini uda,” tanya saya.

Uda yang sudah terlihat dipenuhi kerutan di wajah dan rambut yang semakin padat oleh uban tersebut, berkata bahwa dia meyakini setiap pelanggannya juga memiliki kewaspadaan yang sama “Saya yakin saja, ketika saya waspada, pelanggan saya juga waspada. Mereka saya yakin juga sama dengan pikiran saya punya kekhawatiran terhadap keluarga di rumah setelah bekerja di luar,” Jawabnya.

Dia tetap membuka pangkas rambut ditengah wabah, karena tak ada pilihan demi terpenuhinya kebutuhan keluarga di rumah, demi istri dan 6 orang anak lelakinya “Selagi tetap mematuhi protokol kesehatan, saya yakin tidak akan terpapar covid-19. Saya punya 6 orang anak, terkecil berusia 4 tahun paling besar 30 tahun. Hanya satu anak yang tidak di rumah, dia berada di pondok pesantren,” Imbuhnya.

Pedagang roti bakar dan pangkas rambut, memiliki kewajiban dan beban hidup yang sama dengan Pak de’. Bertarung hidup untuk dapur mengepul dengan penuh kewaspadaan ditengah wabah. Tidak satupun dari mereka kata mengeluh, kata menyalahkan siapapun bahkan menghujat keadaan, mereka punya keyakinan iman yang kuat dan berpikir positif.

Entah mengapa saya sering melihat sikap setiap pedagang dan segala profesi yang sempat saya temui selama covid-19 terutama Pak de’ hingga saat ini. Tanpa sepengetahuan dia, saya mempelajari secara tidak langsung kekuatan bathin dan pundaknya, tetap bersemangat ditengah kepungan covid-19 sementara perekonomiannya mulai terhimpit.

Tak pernah ada kata mengeluh terucap di depan saya, tak juga kata amarah terhadap pemerintah, kabar baik dia senyum kabar kurang mengenakan dia hanya diam. Lebih luar biasanya ketika ada bantuan covid-19 baik itu sembilan bahan pokok (Sembako) ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah, dia tidak berharap penuh “Dapat alhamdulillah, kalaupun tidak itu belum rezeky,” katanya.

Itulah lelaki yang kami sebut Pak de’, kisah dia mungkin satu dari puluhan juta penduduk Indonesia lainnya. Bisa jadi sama, bisa jadi jauh lebih menyesakkan dada menyaksikannya, maupun mendengar cerita dan tetesan air mata anaknya yang menangis minta susu ditengah malam.

Kita butuh gotong royong, sebagai jatidiri negeri ini terutama dalam menekan penyebaran hingga akhirnya pandemi tak lagi berada di Bumi Pertiwi, kita butuh satu visi dan misi yang sama demi kembali di kehidupan normal.

Mulailah dari diri sendiri berpikir untuk orang banyak, untuk saudara-saudara kita. Minimal untuk keluarga di rumah, patuh terhadap protokol kesehatan. Tidak berarti apa-apa sikap menyalahkan apalagi kasak kusuk mencari kambing hitam, tidak bermakna apa-apa hanya menggantungkan diri pada orang lain.

Buanglah ego, tak ada gunanya membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain. Kalau bukan kita yang berjuang untuk Bangsa Negara Republik Indonesia, siapa lagi,?

 

 

*Penulis adalah: Wartawan dan Pemimpin Redaksi jambidaily.com

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

57 − 48 =