20 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Ada Ricuh Ada Kocak dan Ada Juga Mirip Wisatawan, (Bukan) Sisi Lain Arena Demo Tolak ‘Omnibus Law’

13 min read

Oleh: Hendry Nursal

KOPI RAINA – SUARA memekakkan telinga terdengar dari alat pengeras suara (megaphone/toa) maupun alat pelantang suara mirip acara dangdutan, kerumunan massa berbagai warna pakaian memenuhi halaman gedung terhormat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi Jambi di kawasan ‘elit’ perkantoran negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, disana juga berdiri Kantor gubernur.

Yang saya dengar menolak Omnibus Law Cipta Kerja, sudah tau belum arti kata Omnibus Law? dari beberapa referensi (bahasa Inggris: Omnibus bill atau omnibus law) adalah istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain. Konsep undang-undang itu umumnya, ditemukan dalam sistem hukum umum seperti Amerika Serikat (berarti boleh dikata sebagai Undang-undang Sapu Jagat).

Nah…yang lagi ramai diributkan (Mungkin ditolak/digugat lah yang tepat, nanti salah pula saya menyebut kata meributkan, wkwkwkwkwkwkwk) salah satu bagiannya ialah Undang-undang cipta kerja. Wajar saja sebab menyentuh banyaknya hajat hidup warga negara di republik ini (kata pengunjuk rasa, beda pasti kan,? ya kan ya kan….kalau saya belum bisa berkata-kata karena belum mendapat isi pasti dari undang-undang tersebut).

Walau peluh mengucur, tidak mengurangi garangnya wajah-wajah yang sedang meminta didengar, meminta dipenuhi tuntutannya, karena dianggap tidak adil, tidak berpihak pada masyarakat banyak bahkan bakal menyengsarakan di masa depan.

Mereka datang bersama satu tujuan, bersama satu keinginan, yel-yel turut pula didendangkan agar dapat membakar semangat (tapi bukan terdengar seperti Odading Mang Oleh ya….hmmmmmmm) lah tentu, ini sedang aksi demo alias unjuk rasa yaitu sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang dihadapan umum, dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan orang-orang atau kelompok tertentu atau masyarakat secara massal karena tidak setuju dengan pemerintah dan yang menentang kebijakan pemerintah.

Di Indonesia itu ada dasarnya bahwa warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E UUD 1945. Lebih jauh mengenai mekanisme pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”).

Terkadang tidak sedikit pula aksi unjuk rasa berujung ricuh, berujung adanya perbuatan merusak atau anarkisme, ada vandalisme berlebihan (itu tidak semuanya, tidak sedikit pula aksi berlangsung damai. Datang dan pulang dengan tertib bahkan bersih tanpa bekas tersisa).

(Sepanjang pengamatan saya) ingat pengamatan saya, kalau pengamatan anda berbeda lagi. Kita memiliki sudut pandang yang pasti berbeda; angka 6 disebut 9 atau sebaliknya tergantung posisi anda. Beberapa aksi tertangkap pandangan mata, dibumbui dengan pemantik kericuhan, alasan-alasan sepele (kadang tak perlu, maksudnya diminimalisir) hadir di lapangan.

Ketika dilarang memasuki suatu gedung, ya contohnya beberapa hari ini ada tiga kali gerakan massa besar (Sudah jelas dilarang, bukan tanpa alasan, ruang gedung yang terbatas, mana covid-19 masih ada disekitaran kita) lagian adakah yang bisa menjamin bakal tidak ada tangan-tangan liar (Eeeiiiittzz saya bukan membela pelarangan yang disampaikan ketua DPRD ya! saya berada ditengah).

Belum masuk saja, ada batu-batu beterbangan, ada botol mineral yang memenuhi udara (duhhh kalau kena jidat bisa berdarah bro). Bukan kah teriakan keras meluncur, yang melempar bukan bagian massa, terus keluar nyanyian “Hati-hati provokasi” (kembali lagi saya katakan wajar saja, sering ada dugaan-dugaan ditunggangi) oleh siapa,? ya mana saya tau.

Kenapa begitu,? saya tidak mengetahui, ada di hati masing-masing. Cuma satu yang pasti, saya yakin semua tidak menginginkan kericuhan. tidak ingin adanya perbuatan-perbuatan melanggar hukum (Benar gak kawan-kawan, Hidup Mahasiswa! eeehhh kok saya jadi mirip orator demo, hihihihihi).

Masuk suatu tempat tanpa izin sang penghuni mana bisa, apalagi ini adalah gedung publik. It’s Oke, itu adalah milik rakyat, tapi alasan diatas sangat jelas. Berkerumun saja sudah salah di masa pandemi yang belum usai, ancaman bagi yang berkerumun Pasal 14 Ayat 1 UU No. 4 Thn 1984 dan Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2016 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tersebut menjelaskan tentang tindakan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah dan diancam pidana penjara selama 1 tahun. Sedangkan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berisi keterangan tentang setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan hingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana penjara 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta.

Tidak hanya itu, bukankah di kota Jambi khususnya juga terdapat Instruksi Walikota Jambi tentang Pembatasan dan penghentian sementara kegiatan pada area publik, usaha kepariwisataan, keagamaan dan sosial kemasyarakatan dalam upaya antisipasi dan pencegahan terhadap penularan covid-19 berlaku 28 September – 12 Oktober 2020 dan kembali diperpanjang hingga 25 Oktober 2020 Instruksi Walikota Jambi Nomor: 15/INS/X/HKU/2020.

(Sorry Gaesss, saya bukan menggurui bukan pula menyalahkan. Saya baru belajar juga, ampunnn Ndorooooo) kalau-kalau saja bisa menambah pengetahuan. Tenang….tenang yok diminum dulu kopinya, biar terasa lebih plong dan tidak kalut.

Pagi hari saya bergegas bangun menuju kamar mandi, kopi hangat pun tersaji dengan cepat dari Bunda Raina. Padahal kondisinya kurang stabil bertarung dengan rasa mual, rasa ingin muntah (ya…wajar sedang hamil muda, raina bakal punya adik yang kedua). Dia persiapkan karena sudah mengetahui saya akan menuju arena unjuk rasa menjalankan tugas selaku kuli tinta, turut mengawal juga perjalanan aksi, mengawal proses demokrasi (ada kekhawatiran tersemat di rona wajahnya, cemas jika ada kericuhan. Terlebih lagi covid-19, so pasti jarak tidak akan terjaga).

Sesampainya di arena aksi, cuaca sangat bersahabat langit terlihat mendung. Terasa dingin dan sejuk ditambah lagi saat melihat wajah-wajah muda mahasiswa dan mahasiswi.

Sang pria datang dengan ganteng-ganteng, rapi, rambut tersisir licin dan berkilau (Itu kalau ada lalat hinggap langsung tergelincir). Sang wanita datang dengan wangi, walau tanpa polesan Make-Up tetap anggun diantara kerumunan, berkaca mata hitam, bagai artis holywood berjalan di hamparan karpet merah, aduhai cantiknya (Geulies pisan euy).

Mereka sembari membawa kertas karton, bertuliskan tuntutan dan suara mereka. Tapi ada saja yang membuat kita senyum-senyum sendiri terlihat tulisan-tulisan yang dibawa menggelitik hati (Bisa juga ngelawak atau jadi komedian, wkwkwkwkwkwkwkwkwk….)

Sedih rasanya si ganteng dan si cantik itu, terlihat berlarian, terlihat kocar kacir. Sembari batuk, berurai air mata bahkan tertuduk diam ngos-ngosan dipojok-pojok halaman dinas yang menutup pagarnya, atau di lorong kecil disekitaran arena, menghindari gas air mata (saya juga merasakannya, mata terasa pedih seperti habis menangis berjam-jam, terasa bengkak ditambah lagi hidung terasa perih meler-meler cairan mirip sedang pilek diiringi dengan batuk).

Gas Apa itu,? Gas air mata adalah senjata kimia yang berupa gas dan digunakan untuk melumpuhkan dengan menyebabkan iritasi pada mata dan/atau sistem pernapasan. Gas air mata bisa disimpan dalam bentuk semprotan ataupun granat. Alat ini sangat lazim digunakan oleh kepolisian dalam melawan kerusuhan dan dalam penangkapan.

Gas air mata juga bisa membuat gangguan pada kulit seperti nyeri, alergi, dan luka bakar kimia. Meski begitu, gas air mata tidak memiliki efek jangka panjang bagi kesehatan. Setelah terkena paparan gas, setelah beberapa menit efeknya akan menghilang secara perlahan (Keterangan itu, saya kutip dari berbagai referensi).

Mengapa ditembakkan kepolisian, ditengah kerumunan massa unjuk rasa,? ada pemicu pastinya “ada asap pasti ada api” tidak akan ada akibat jika tanpa sebab (Kopinya seruput lagi juragan, tambah gorengan biar semakin tenang dan tidak emosi membaca pemikiran saya).

Aparat keamanan saat aksi biasanya kepolisian, ialah garda terdepan mengawal agar setiap unjuk rasa berjalan tertib, berjalan kondusif sehingga masyarakat umum tidak dirugikan, tidak pula rusak fasilitas umum akibat ricuhnya unjuk rasa (Semua pasti tau kan, fasilitas itu dibangun menggunakan uang rakyat, uang dari kita-kita juga) makanya kepolisian menjadi ‘penyambut tamu’ pertama kali.

Mereka berhadapan langsung dengan pihak yang diberikan pemerintah amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Artinya anda datang unjuk rasa mewakili suara rakyat yang dijamin oleh Undang-undang, kepolisian melaksanakan tugas juga perintah dari Undang-undang untuk melindungi rakyat.

Lantas ada pernyataan, kepolisian melakukan tindakan represif,? itu salah sudah pasti salah, tidak ada hukum yang membenarkannya, ada pelanggaran disana, ada tindakan yang dapat menciderai proses demokrasi sebagaimana dianut negara kita.

Tapi coba perhatikan, kepolisian datang berbaju khusus juga tebal menggunakan pelindung kepala lengkap dengan Tameng. Kalau menilik Aturan penggunaan dan standar tameng yang digunakan dalam pengendalian huru hara diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian No 8 tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara.

Dalam penjelasan dan Pasal 22 ayat 2, tameng yang digunakan memiliki dua variasi, yaitu Tameng Sekat setinggi 160 cm lebar 80 cm dan Tameng Lindung setinggi 90 cm dan lebar 60 cm. Yang biasanya menggunakan tameng seperti ini adalah Brimob, yang memang memiliki spesialisasi penanganan huru hara.

Itu baru tameng ya, jangan ditanya gerah dan panasnya karena memakai baju lengkap dalam waktu yang tidak sebentar,? mana ada unjuk rasa yang hanya 5 menit, lagian pasukan keamanan sudah bersiap di lokasi jauh lebih dulu dari kedatangan massa.

Ketika sudah mendapat gambaran tadi, jika terpantik kesabaran mereka (mungkin ini mungkin ya…) bisa menyebabkan tindakan represif, walaupun tetap salah dan tidak dibenarkan secara hukum. Namun kalau massa sudah kelewatan batas,? (coba pikirkan sendiri saudara ku sebangsa setanah air).

Karena kepolisian juga manusia biasa, mereka bukan malaikat yang diturunkan dari langit. Buktinya ketika ada peristiwa kekerasan (diduga dari tindakan represif aparat) dan terlihat pengunjuk rasa cidera, kepala berdarah atau minimal terbaring lemas akibat menghirup gas air mata. Sesungguhnya begitupun yang dialami oleh aparat keamanan, mereka mengalami hal yang sama persis. Seimbang Bukan,? kerugian akhirnya pada kita bersama bukan,?

Saya yakin aparat keamanan saat melihat pengunjuk rasa itu adalah mahasiswa, mereka terbayang anak-anaknya atau mereka terbayang adik, sepupu, ponakan yang seusia kalian (berdosa Lho, tidak sopan sama yang tua) mereka bertarung di dalam hati, mereka berkelahi batin (Kalau tidak percaya, coba duduk bersama mereka kumpul dan tanya dari hati ke hati), mereka polisi sama adalah manusia, bukan hasil racikan baut dan besi alias robocop (jadi keingat film).

“Adik-adik mahasiswa kami sayang kalian, saya mencintai kalian, jangan terpancing oleh tindakan provokasi. Kami persilahkan menyampaikan aspirasi, kami disini bukan musuh, kalian adik-adik kami, anak-anak kami. Kalian terpelajar kalian penerus bangsa,” Teriak komandan pasukan yang bertugas menjaga aksi.

Awalnya tertib dengan suara yang bersautan antara orator dan massa, lalu akhirnya ada adegan dorongan-dorongan. Namun kelihatannya berat sebelah deh, karena aparat hanya menahan massa yang mendorong (Ehh itu pagar orang, bukan tembok….)

“Kami tidak akan mentoleransi setiap tindakan anarkis, kami atas nama Undang-undang. Pasukannnnnnnn maju dua langkah kedepan, Geraaakkkk,” Teriaknya, sementara massa terus saja mendorong yang juga terlihat lemparan batu dan botol air mineral (entah dari mana), puncaknya ‘Duaaarr’ sirine berbunyi, air menyembur keras dari mobil watercanon.

Pestanya langsung Buuubaarrrrrrrrrrrrrr….!!! ada yang terbirit-birit berlari tanpa konsentrasi dan panik menabrak antar temannya, tersandung saluran air, ada juga yang sibuk melindungi dan menarik sang pujaan hati (aku berlari kau ku tarik, eaaaaakkkkkk….cuit, cuit).

(Saya disini juga tidak sedang membela pihak kepolisian ya…) karena diatas sangat jelas tindakan represif itu salah, tapi ada sisi lain yang harusnya kita baca sama-sama, kita renungi sama-sama, kita hayati sama-sama agar lebih paham biar tidak salah jalur, Bukan kah malu bertanya jadi jalan-jalan (Ehhh…..malu bertanya sesat di jalan).

Apakah kopinya masih ada Lur,? kalau habis bikin lagi biar kembali hangat (hehehehheeee……karena ini bukan Arabika, Robusta atau Liberika), jadi repot kalau baca celotehan Kopi Raina, jika emosinya membara, membakar. Mendingan api unggun bisa bakar singkong bahkan ayam sembari memainkan gitar, bernyanyi bersama (Benar gak,?)

Jadi semuanya salah,? salah dalam penilaian saya, seperti ocehan saya diatas (kalau pendapat anda tetap pasti berbeda). Aparat tidak dibenarkan represif, massa aksi tak menerima walau sudah ditemui Ketua DPRD provinsi Jambi (Lah kudu piye).

Contohnya salah satu kelompok yang bukan Mahasiswa, datang dengan massa melebihi 4.000 orang, memenuhi jalanan saat menuju halaman kantor Gubernur Jambi. Sesampainya di arena demo, mereka orasi sementara massa nya duduk dengan tertib mendengarkan secara seksama (mirip workhsop atau pelatihan, xixixixixxi….)

Saat tiba waktunya makan siang, mereka pakai rehat menyantap makanan bersama (seperti lagi wisata keluarga), canda gurau ringan tersaji hingga usai makan, ya saya berpikir mereka seperti sedang temu kangan, atau reunian.

Mereka tetap fokus pada penyampaian tuntutan-tuntutan, tidak dengan berteriak, disampaikan secara tenang. Mereka tidak terpengaruh tidak juga bergabung dengan dua kelompok yang ada di depan kantor DPRD dan di simpang empat Bank Indonesia walaupun yang disuarakan sama.

Seusai makan siang kembali lagi orasi, dijumpai pejabat yang ada ditataran setda pemprov Jambi akhirnya mendapat tanda tangan pernyaan sikap bersama, lalu meninggalkan arena demo secara perlahan hingga tidak diketahui saat semua mata tertuju dengan riuh gemuruh massa di depan kantor DPRD Provinsi Jambi (saya malah berpikir, kapan bubarnya,? ada 4.000 orang lah…..hahahhaha).

Kok bisa tertib,? ya bisa karena tujuannya sudah tercapai mendapatkan tanda tangan pernyataan sikap menolak Omnibus Law Cipta Kerja, itu yang akan diteruskan ke pengurus pusat “Kami menyampaikan sikap dan meneruskan pernyataan bersama, urusan merubahnya bukan wewenang kami,” Tegas Koordinator.

Nahh, yang ricuh ini kenapa,? (jawab sendiri saja ya…kalau pendapat saya pasti berbeda dengan anda, sangat jelas berbeda nanti)

Kami yang wartawan harus ngomong apa,? dengan kondisi ketika ricuh. Kami juga tidak jarang terkena lemparan batu dari massa aksi (Apa kami harus mengejar kalian,?). Kalau gas air mata udah biasa (ya derita kami) maklumlah, gas air mata kan jelas namanya gas berwujud asap, sesukanya lah menyebar kemana saja (kemana angin bertiup, kesana pula dia berlabuh).

Tidak sebatas itu saja, tidak pula sedikit diduga mendapat tindakan dari oknum aparat yang melanggar kebebasan pers. Kami juga dijamin oleh Undang-Undang pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip, ketentuan dan hak-hak penyelenggara pers di Indonesia.

Ya gak usah datang melaksanakan peliputan aksi!!! Begini saudara ku, jika semua insan pers tidak dilapangan, tidak melihat kondisi aksi. Bagaimana kami tau kejadian sebab dan akibat, saat ricuh terjadi. Bagaimana kami tau sebab jika ada korban jiwa, jika sampai tewas di arena demo (seremm banget yak, duhh….). Sementara kami juga bagian dari empat pilar demokrasi, kalau kami tidak ada diantara anda, bisa miring tuh kubah demokrasi.

Tapi menyakitkan ketika kami ada yang mendapat kekerasan, peralatan kami dirampas, handphone dibanting karena memotret sesuatu (katanya salah, katanya tidak boleh di potret), kemudian ada juga diintimidasi (oknum ya…oknum) sudah banyak kemirisan di luar sana, menyangkut profesi wartawan, sering juga terjadi di saat ada aksi-aksi besar. Kami bisa berteriak kemana,?

Jawabnya:
bla
bla
bla
bla
bla bla
bla bla bla
(bagaimana bisa dimengerti kan jawab saya, jika tidak dimengerti,? berarti anda sama dengan saya)

Kalau di Jambi, sepengetahuan saya saat liputan demo tidak ada yang seperti itu, (tapi kenangan pahit tak bisa kami lupakan begitu saja, ketika dulu adanya peristiwa selongsong gas air mata nyaris mengenai mata salah satu wartawan di Jambi) akhirnya kini mengalami cacat permanen, amsih ada bekas terlihat.

Dan jangan pernah terjadi sampai kapan pun,!! (Maaf ya om, isi ransel kami cuma laptop, cuma kamera, cuma pena, ada sedikit kertas dan doa’a dari keluarga kami di rumah tidak ada yang lain).

Wah, langit mulai gelap malam tampak menjelang. Udahan ya, semua kembali pada diri kita masing-masing, menjalankan peran masing-masing. Membahas siapa benar dan siapa salah, tidak akan ada habisnya, mata kita sedang buram diselimuti kepulan asap putih bercampur asap hitam (ada gas air mata, ada juga bakaran ban bekas).  Ada hak dan kewajiban pada kita; menuntut hak,? tapi ingat kewajiban kita juga harus menghargai hak.

Kopi Raina walau Pahit namun Unik, Dengan segala kerendahan hati mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan, inilah celotehan kopi Raina, bukan sajian spesial, bukan pula ulasan khusus.

Salam Hormat Bagi Aparat Kepolisian Republik Indonesia
Salam Hormat Bagi seluruh Mahasiswa di Indonesia
Salam Kopi Raina, dari Jambi untuk Indonesia, dari Jambi untuk Dunia

Semoga Panjang Umur Perjuangan !!!

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 − 8 =