Musri Nauli : Penganan
3 min readJAMBIDAILY OPINI – Menurut kamus Bahasa Indonesia “Penganan” adalah segala macam kue. Atau juga sering disebut kudapan.
Tradisi menikmati kudapan dengan kopi atau teh adalah tradisi untuk menyambut tamu yang datang. Baik di pagi hari maupun sore hari.
Namun tradisi ini mulai hilang. Selain waktu bertamu di pagi maupun di sore hari sudah jarang dilakukan, juga berbagai penganan sudah mulai hilang.
Berbagai kue khas Jambi dan tradisional hanya ditemukan pada pasar bedug, kue-kue khas hanya dijual di tempat tertentu.
Pasar bedug adalah pasar yang diadakan pada bulan Ramadhan. Tradisi yang mulai hidup sejak 20 tahun terakhir.
Hampir di setiap tempat keramaian, tempat yang luas sudah mulai dibuka pasar bedug.
Di Jambi dulu, pasar bedug hanya dikenal di pasar lamo pusat kota. Parkir semrawut, pendatang ramai berdatangan. Menumpuk sehingga memerlukan energi untuk melewati berbagai jualan yang menjual kue-kue.
Berangsur-angsur kemudian berbagai tempat kemudian membuka pasar bedug. Entah di Komplek Setia Negara (Kosera), dekat polsek Jelutung, The hok. Bahkan akhir-akhir ini -mungkin 5 tahun terakhir-, pasar tumpah juga terdapat di Universitas Muhammadiyah.
Selain itu sepanjang jalan, trotoar sering digunakan untuk berjejer meja pedagang kue-kue.
Dengan mulai tersebarnya berbagai pasar bedug, penumpukkan pasar bedug membuat berkurang. Bahkan beberapa kali Ramadhan justru tidak membuka lagi pasar bedug di pasar lamo.
Namun alangkah kagetnya saya ketika menunggu di rumah calon Gubernur Al Haris, berbagai kue justru terletak di meja makan di ruang belakang.
Yang datang maupun tim pendukung -entah ajudan, asisten maupun kru pendukung-, tinggal membuka tudung saji memilih makanan.
Tidak ketinggalan ubi rebus, kacang, bakwan menjadi pilihan panganan sembari menunggu jadwal keberangkatan Al Haris. Ataupun tamu yang datang untuk bertamu.
Sembari menunggu, berbagai pilihan dapat menjadi “obat penghilang bosan”.
Tidak lupa nasi putih, telur dadar-kadang kala ada juga telur mata sapi, sambal dan kerupuk-.
Kadangkala ada teriakkan, “ada kurma. Silahkan dimakan, Bang,” teriak ibu-ibu di dapur.
Para tamu ataupun kru pendukung tinggal memilih. Mau makan nasi ataupun cukup menikmati kue-kue.
Sementara tersedia pula berbagai cerek berisikan teh ataupun kopi. Tergantung selera.
Semuanya bercengkerama. Tidak ada sama sekali “kesan” Pilkada. Ataupun rumah yang dihuni adalah Al Haris.
Semuanya berbaur.
Kadangkala terdengar “candaan” antara satu dengan yang lain.
Suasana kekeluargaan dan akrab terasa sekali. Semuanya adalah kekeluargaan.
Persis pasar malam. Tidak ada protokoler ataupun aturan ketat.
Semuanya lalu Lalang.
Suasana di rumah dan suasana kekeluargaan sering disampaikan oleh Al Haris di berbagai tempat. “Kita adalah keluarga. Bukan tim sukses”.
Ya. Kekeluargaan membuat waktu-waktu begitu cepat berlalu.
Mataharipun mulai meninggi.
Tidak lama kemudian terdengar salah satu asisten Al Haris berujar “Bang, ditunggu, Bapak”.
Sayapun bergegas masuk ke dalam, meninggalkan bakwan yang belum selesai dimakan.
Sembari menghabiskan kopi. Sayapun masuk. (*)(*/Advertorial)
Penulis adalah advokat dan Direktur Media Publikasi Haris-Sani