Adab
3 min readOleh: Musri Nauli
JAMBIDAILY JURNAL – Suatu hari, ketika saya didatangi seorang tua.. Tergopoh-gopoh menceritakan kasus yang menimpanya. Sembari menangis, dia tidak rela tanahnya dirampas..
“Demi Allah, Bang.. Saya sendiri yang membuka Rimbo ini.. Kapalan tangan Sayo,” katanya geram. Suaranya meninggi. Dia memperlihatkan surat gugatan.
Saya diam. Sembari membaca gugatan, saya tersentak. Bukan gugatan yang menarik perhatian saya, tapi kop surat dan penerima kuasa penggugat.
Setelah menerima surat kuasa, saya bergegas ke rumah kuasa hukum penggugat. Tidak lupa membawa makanan dan buah-buahan.
Sembari memperkenalkan resmi sebagai kuasa hukum tergugat, saya membatasi diri untuk membicarakan kasusnya.
Kasus kemudian bergulir, sidang demi sidang terus berlangsung.
Ketika putusan dibacakan, lagi-lagi saya malam ke rumahnya sambil makan martabak Bangka. Saya sama sekali tidak membicarakan perkara.
Atau kisah yang lain, ketika saya menerima kuasa, saya pun bergegas ke rumah kuasa hukum penggugat, seorang senior yang jam terbangnya mungkin tidak pantas saya sejajarkan.
Istilah Jambi, “saya masih ingusan, dia sudah praktek jadi pengacara”.
Atau kisah lain. Dalam acara seminar di sebuah hotel…
Seorang pembicara berapi-api menerangkan tentang pasal KUHP. Dengan semangat 45, dia berujar, “Pasal ini bertentangan dengan negara Indonesia sebagai negara merdeka”. Atau “pasal ini sudah tidak relevan dengan kondisi zaman sekarang”.
Padahal saya tahu.. Pasal yang disebutkannya sudah dicabut MK. Seluruh argumentasinya sudah dipertimbangkan oleh MK.
Apakah pada saat itu kemudian saya sanggah?
Tidak.
Saya hanya menghampiri setelah acara selesai. Saya katakan bahwa pasal itu kemudian sudah dicabut MK.
Seluruh peristiwa di atas apakah kemudian membuat saya harus jumawa. Menang perkara kemudian dengan bangga berkata, “Saya mengalahkan guru saya di sidang perdata”. “Saya mengalahkan senior saya”. “Saya menyanggah guru saya di forum seminar”.
Tidak… semuanya sama sekali tidak saya lakukan..
Saya kemudian mendatangi guru saya.. Saya mendatangi senior saya. Bahkan saya diam ketika guru saya (walaupun salah) berbicara di forum seminar.
Apakah cara saya salah?
Yap. Semua setuju cara yang lakukan itu salah.
Namun saya menempatkan di sebagai seorang adik. Saya menempatkan diri sebagai murid yang menghormati guru saya.
Tidak perlu saya menunjukkan “jagonya saya bersidang”. Tidak perlu saya membusungkan diri ketika mengalahkan senior ataupun guru saya.
Dan tidak perlu menunjukkan argumentasi yang cerdas dalam forum seminar.
Cara yang saya lakukan kemudian dikenal sebagai “adab”.
Menghormati senior (orang yang lebih tua) dan guru.
Semuanya saya lakukan semata-mata hanya mengharapkan “tuah”. Tuah dari senior saya.
Terutama “tuah” dari guru saya.
Yang paling ditakutkan, “kualat kepada guru”. “Kualat kepada yang tua”.
Sekali saja saya kualat kepada guru saya, justru seluruh ilmu yang diberikan akan hilang percuma..
Atau kualat kepada yang tua, justru menimpa nasib yang tidak mesti terjadi.
Bukankah sering diingatkan, adab di atas segala-galanya.
Masih ingat kisah Junaidi Al Baghdadi, seorang tasawuf, panduan Islam sedunia?
Keenggannya mengajar disebabkan masih banyak gurunya hidup. Namun ketika kemudian bermimpi dan diperintahkan mengajar, setelah restu dari gurunya sendiri, karena mimpi dan perintah gurunya sendiri, dia kemudian baru berdakwah.
Tidak penting ilmu yang mumpuni. Justru adablah yang menempatkan. Intelektual tetap meletakkan akal Budi.(*/advertorial)
* Penulis adalah advokat tinggal di Jambi