Kakek Pedagang Cilok di Jambi, Berjuang Keras Menghadapi Pandemi Covid-19
6 min readJAMBIDAILY EKONOMI – Ditengah pandemi Coronavirus disease (Covid-19) yang melanda Indonesia saat ini membuat seluruh masyarakat kesulitan dalam menjalani usaha mereka. Banyak orang bahkan jatuh bangkrut atau gulung tikar usahanya setelah pendapatan mulai berkurang.
Seperti yang dialami kakek Ibrahim, pria tua berusia 71 tahun itu kini sangat merasakan dampak kekurangan pendapatan setelah mewabahnya Corona di Indonesia. Kakek penjual cilok itu kini harus berjuang lebih keras dalam berjualan agar laris pembeli.
Dengan mengayuh sepeda mininya, Ibrahim harus berkeliling berpuluh-puluh kilometer agar dagangan ciloknya terjual. Bahkan ditengah pandemi yang melanda penghasilan Ibrahim ikut merosot tajam atau pernah tak laku dagangannya.
“Sekarang makin payah, dagangan cilok banyak tidak terjual, karena virus ini apa-apa semua jadi susah. Apalagi jualan dari pagi sampai sore yang beli hanya beberapa orang saja, itupun meski keliling dari lorong rumah ke rumah terus di jalan-jalan raya baru ada yang beli, tapi itu tak banyak, jadi kalau pulang ke rumah ciloknya banyak tersisa tidak laku,” kata Ibrahim saat berbincang dengan media ini ketika ditemui di kawasan Talangbanjar, Jalan Kolenel Pol M Taher, Jambi Selatan, Kota Jambi, Rabu(03/12/2020).
Ibrahim tinggal di Kasangpudak, Tanjungnangko Kabupaten Muarojambi emang selalu kerap dijumpai di kawasan Talangbanjar Kota Jambi. Selain menjadi rute lokasi jualan cilok nya, di kawasan itu terkadang Ibrahim bahkan sempat mencari tempat berteduh di pohon rindang untuk dapat beristirahat setelah lelah berkeliling berjualan.
Sehari-hari selama pandemi Corona ini, kakek 71 tahun itu tetap terus bersemangat dalam berjualan cilok. Walau kerap jualan cilok nya tak banyak terjual namun sang kakek tetap terus berjuang berusaha agar kehidupannya terpenuhi, apalagi sang istri tercinta tak dapat lagi banyak bisa berusaha karena kondisi tubuh yang kerap sakit-sakitan.
“Ya mau tak mau jualan cilok lah bisanya, kalau jualan yang lain tak tahu, apalagi kalau bekerja menggunakan tenaga sudah tidak kuat lagi, ya maklum sudah tua tenaga sudah tidak dibutuhkan lagi oleh orang,” ujar Ibrahim sambil tertawa kecil, sembari memperbaiki masker yang terpasang di wajahnya.
Diceritakan Ibrahim, ia berjualan cilok sudah hampir 3 tahun lamanya. Pada awal sebelum pandemi Corona melanda, si kakek selalu punya tempat untuk ia dapat menghabiskan dagangan cilok yang dibuatnya. Lokasi tempat jualan yang kerap Ibrahim datangi untuk menghabiskan dagangan cilok nya itu di sekolah-sekolah.
Selain makanan cilok banyak diminati oleh anak-anak, makanan cilok yang terbuat dari tepung kemudian direbus menyerupai bakso itu juga murah meriah harganya. Akan tetapi, tempat sekolah itu kini tak dapat ia datangi lagi lantaran sekolah-sekolah sudah tidak berpenghuni ketika banyak anak-anak sudah tidak tatap muka lagi karena pemerintah melarang sebagai salah satu cara mencegah penyebaran Corona.
“Biasanya kalau cilok sudah dibuat, pagi-pagi berangkat jualan langsung tujuannya ke sekolah dasar gitu, karena disitu anak-anak masih banyak yang menyukai makanan cilok. Selain harga murah, cilok juga menjadi makanan ringan yang dapat terjangkau oleh anak-anak. Tetapi sekarang tidak lagi jualan ke sekolah, soalnya sekolah sudah diliburkan karena Corona,” ujar Ibrahim sambil menyediakan cilok buatannya yang dipesan.
Diketahui, makanan cilok adalah makanan ringan yang terbuat dari tepung aci yang dicampur air dengan berbentuk bulat seperti bakso. Sebelum dikonsumsi cilok ini mesti direbus dulu yang kemudian diberi tusuk layaknya sate, diberi saus atau kuah kacang dan kecap. Makanan ringan khas Jawa Barat ini di jual Ibrahim dengan harga per satu buah cilok 500 rupiah.
Biasanya, Ibrahim membuat cilok bersama istri tercintanya di rumah papan berukuran 6×10 meter. Di rumah itu Ibrahim selalu membuat cilok pada malam hari, selain cara pembuatannya yang mudah, membuat cilok terkadang tak begitu banyak. Ia kini mulai mengurangi pembuatan cilok karena jualan ciloknya jarang laku setelah pandemi Corona melanda.
Tak hanya itu, selain mengurangi pembuatan cilok, pendapatan Ibrahim bahkan juga turut merosot tajam. Selama pandemi Corona, si kakek hanya mampu menjual cilok buatannya itu kurang lebih 50 biji atau sesekali 100 biji bahkan pernah hanya terjual 20 biji selama Corona ini.
Kata Ibrahim, sebelum Corona melanda, dulu ia mampu menjual cilok nya itu kurang lebih 300 biji setiap hari karena selain sekolah-sekolah masih dibuka. Roda ekonomi masih berjalan normal seperti biasa, sehingga ia dapat membawa pulang setiap harinya 100 ribu sampai 150 ribu, namun kini untuk mendapatkan uang 50 ribu per hari saja susah. Apalagi pernah cilok jualannya itu cuman terjual 10 ribu untuk dibawanya pulang ke rumah.
“Sekarang kan jualannya keliling pakai sepeda tua. Jualannya tak nentu mau kemana aja, karena keliling-keliling biar laku. Tapi kadang dak laku juga, biasanya kalau sebelum Corona bisa laku banyak pulang bawa uang 100 ribu kadang 150 ribu jadi terpenuhi. Sekarang semenjak Corona itu cuman laku tak banyak, pernah bawa uang cuman 10 ribu itu sudah jalan keliling-keliling bersepeda, pakai sepeda mini yang sudah tua inilah, capek juga karena banyak ruginya,” ucap Ibrahim sambil sesekali mengusap matanya yang sudah mulai berkaca-kaca.
Memang, selama Corona Ibrahim mesti mengayuh sepeda mini tuanya atau memapah sepeda mini berisikan cilok jualannya itu kurang lebih puluhan kilometer agar dapat terjual. Kata Ibrahim, saat ini ia hanya bisa melakoni berjualan cilok saja. Bukan tak ingin berusaha lain, namun ia sudah tak dapat bekerja lain lagi karena usia pun sudah tua.
Walau sudah lanjut usia, namun penglihatan Ibrahim dan pengingatan masih terbilang tajam, walau tubuh sudah banyak terasa sakit-sakitan, akan tetapi ia tetap masih berjuang berjualan cilok keliling, sebab harus memenuhi kebutuhan keluarga, ia juga harus sesekali membeli obat, untuk istrinya.
“Kalau dulu sebelum jualan cilok masih kuat jadi kuli bangunan lah, atau bekerja bersih-bersih kebun orang lah. Tetapi sekarang itu sudah tidak kuat lagi, jadi jualan cilok lah. Ya untung-untung bisa terpenuhi kebutuhan keluarga. Kadang juga dapat belas kasih orang, namun bukan berarti harus minta-minta dengan jadi pengemis, tetapi kalau ada orang yang mau beli cilok saja. Apalagi pernah dari pagi jualan, lalu sore bawa pulang uang 10 ribu karena cilok tidak habis,” kata Ibrahim sambil minta solusi pemerintah agar Corona dapat terselesaikan.
Tak banyak yang diinginkan Ibrahim saat ini, ia hanya berharap dan berdo’a agar persoalan virus Corona dapat terselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, angka penambahan Corona saat ini bukannya makin dapat diatasi melainkan semakin melonjak sehingga makin menyulitkan dan memperparah perekonomian.
Sejuah ini, dari data Pemprov Jambi per tanggal 3 Desember 2020, secara kumulatif kasus Corona di Jambi sudah diangka 2.168 orang yang positif, 1.467 sembuh, dan 39 meninggal.
Berdasarkan pengumuman terbaru dari pemerintah melalui laman covid19.go.id, kabupaten Batanghari dan Muarojambi berada di zona merah covid-19.
Peta risiko yang diperbaharui per 29 November 2020 sebagaimana dikutip jambidaily.com (Rabu, 02/12/2020), selain dua kabupaten diatas, data menunjukan hanya kabupaten Merangin yang berada di zona kuning.
Selebihnya zona oranye yaitu Kota Jambi, kota Sungaipenuh, kabupaten Sarolangun, kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tanjungjabung Timur, Kabupaten Tanjungjabungbarat, dan kabupaten Kerinci.
Selama ini, Pemda Jambi telah membuat aturan-aturan seperti meliburkan sekolah tatap muka, lalu memperketat aturan berjualan, meminta tidak membuat kerumunan, aturan jaga jarak, menggunakan masker dan selalu mencuci tangan. Aturan itu kerap disosialisasikan pemerintah untuk menghindari penambahan kasus.
Akan tetapi, Pilkada yang dikhawatirkan akan mengalami penumpukan massa dan menjadi klaster baru masih tetap diadakan. Bahkan, setiap paslon di Pilkada Jambi ini juga terus melaksanakan kampanye pertemuan langsung dengan masyarakat.
(*/Ferdy/Hendry)