Kalaulah Mimpi Masuk Wilayah Pidana, Bagaimana dengan Mimpi “Basah”?
6 min readOleh : Prof. Dr. H. Adrians Chaththab, S.Hum, M.Hum (*)
MIMPI bukan sesuatu yang nyata, tetapi absurd. Minimal ada 4 kata yang sering berhubungan dengan mimpi; khayalan; ilusi; angan-angan; dan imajinasi ( 4 in 1 atau the four’s brother).
Keempat kata ini mengandung makna bahwa adanya suatu kejadian yang tidak jelas, tidak pasti, samar-samar, sulit membuktikannya; bahkan tak mungkin dibuktikan. Sebab mimpi itu, bukan permainan pisik verbalistik, akan tetapi ia lebih cenderung pada ajang intuitif dan persekongkolan imajinatif; bahkan ada yang menyebutnya dengan dramatisasi dan demontrasi pikir, hati dan tidur. Maka tidak ayal sering kita dengar ungkapan “ pikir itu pelita hati; mimpi itu permainan tidur”.
Membicarakan mimpi di ruang publik adalah hal yang biasa-biasa saja. Ia menjadi luar biasa ( exstra خارج العادة رؤية atau ) action ordinary bila ia disangkut-pautkan dengan masalah hukum yang bukan sekedar hukum, tetapi hukum pidana. Ini yang menarik untuk dikaji dan diutarakan, karena selama ini keduanya berada pada 2 kutub yang berseberangan, namun akhir-akhir ini diseret-seret menjadi berada pada 1 kutub yang sama yang menyulut pertanyaan-pertanyaan ; apakah ada hubungan ‘gens dan kewarisan’ antara mimpi di satu pihak dan pidana di pihak lain dan dapatkah seseorang yang bermimpi berbuat jahat, dipidana?
Kecuali mimpi para Nabi, bagaimana cara menyelidiki, menyidik dan menjadikan seseorang tersangka? Dimanakah pengadilan mimpi beradanya dan siapa saja ahli hukum pidana mimpi, adalah sangat menarik perhatian untuk dikaji.
*
Hakekat Mimpi dan Domainnya Empat kata yang masing-masingnya bermakna sama atau berkemiripan dengan mimpi yakni angan-angan, khayal dan ilusi serta imajinasi yang pada intinya adalah sesuatu yang terlihat atau dialami ketika tidur atau angan-angan ( KBBI, 2007: 744 ).
Lalu angan-angan adalah menerawang ke langit atau mencita-citakan segala sesuatu tinggi-tinggi; bersusah hati karena memikirkan yang bukan-bukan ( KBBI, 2007: 47 ). Adapun ilusi adalah sesuatu yang ada di angan-angan; pengamatan yang tidak sesuai dengan penginderaan atau tidak bisa dipercaya atau palsu ( KBBI, 2007: 425). Sedangkan imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan sesuatu di angan-angan ( KBBI, 2007: 425 ).
Jadi keempat kata itu mengandung unsur kebohongan ; tidak realistik dan tidak empirik. Justeru, apa yang dialami seseorang dalam mimpi, sangat sulit membuktikannya untuk tidak mengatakan mustahil. Bagaimana mungkin sesuatu yang mustahil dapat dicari faktanya, karena ia tidak ada di alam empirik. Maka dapat dikatakan bahwa domainnya di luar jangkauan indera yang lima ( baca: mata, telinga, hidung, lidah dan mulut). Dapat dikatakan bahwa mimpi dengan gens yang sejenis dengannya seperti khayal, ilusi, imajinasi dan angan-angan merupakan 4 ‘bersaudara’ yang payah menguji dan membuktikannya sebagai realita.
Oleh sebab itu sulit menyatukan wilayahnya dengan wilayah hukum , kecuali mimpi basah sebagai petunjuk bagi anak laki-laki menginjak dewasa, maka predikat mukallaf disandangnya yang menyebabkan konsekwensi hukum sudah bertengger di pundaknya.
*
Hukum Pidana dan Domainnya Hukum secara harfiah atau etimologis adalah : 1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah ; 2) undang-undang peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3) patokan ( kaidah, ketentuan mengenai peristiwa yang tertentu) ; 4) keputusan yang ditetapkan oleh hakim ( KBBI, 2007: 410). Sementara yang dikatakan hukum pidana adalah hukum yang menentukan dan berkaitan dengan peristtiwa perbuatan kriminal atau kejahatan. Dilihat dari pengertian hukum pidana secara terminologis dapat didefinisikan bahwa hukum pidana adalah peraturan atau undang-undang yang mengatur pergaulan hidup bermasyarakat dalam domain kriminal atau kejahatan yang keberadaannya dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah yang sifatnya mengikat warga masyarakat atas putusan hakim berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan manusia di wilayah kriminal.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dibedakan antara wilayah mimpi dengan wilayah hukum pidana. Lain halnya dengan hukum pidana yang berbau atau bernuansa politik, maka bisa saja sesuatu yang bukan kriminal dikriminalisasi supaya bernuansa kejahatan, seperti mimpi yang secara spontan tanpa direncanakan menjadi fakta hukum.
Hanya saja hal itu tidak mudah dilakukan, karena ada di dalamnya unsur pengebirian fakta hukum. Tanpa bermaksud melecehkan – berdasarkan uraian di atas – sulit sekali rasanya menyeret mimpi dan seluk-beluknya ke domain hukum pidana, termasuk mimpi basah.
Mimpi basah adalah wilayah hukum fikih yang memgandung arti bahwa seseorang sudah mukallaf/dewasa dapat dikenai atau dibebani pertanggungjawaban hukum agama ( baca: Islam), ketika melanggarnya. Kalau mimpi biasa adalah khayalan semata tidak dapat dimasuk ke wilayah hukum begitu juga wilayah pidana.
*
Angan-angan sama dengan Kenyataan? Jadi perdebatan antara keduanya ( baca: angan-angan dengan kenyataan) terletak pada kontens, dan cara menggiringnya ke perbuatan real kriminal. Kalaulah disepakati bahwa pidana itu adalah perbuatan empirik dan nyata adanya; sedangkan mimpi adalah sesuatu yang di alam angan-angan atau di alam khayal. Artinya, perbuatan.pidana ialah perbuatan yang landing di bumi, sementara mimpi sesuatu yang masih menggantung di langit. Dengan demikian betul teori Ibn Taimiyyah yang mengatakan: الذهن في ال العين في الحقيقة( kebenaran itu adalah sesuatu yang bisa dilihat mata; bukan sesuatu yang menggantung di otak). Atau there is some thing on action, not something in mind.
Tentulah, dengan demikian bahwa angan-angan tidak dapat disamakan dengan kenyataan. Selanjutnya, orang yang menggiring mimpi ke perbuatan tindakan adalah konsep pemikiran yang keliru dan bermuara pada kesimpulan yang sia-sia. Berbasis pada pernyataan ini, maka angan-angan bukanlah kenyataan yang sekaligus menepis bahwa mimpi sewilayah dengan pidana.
Dengan bahasa yang sedikit anekdot dapat dikatakan bahwa mimpi tidak satu ranjang dengan pidana. Juga, keduanya tidak satu keranjang.
*
Pembodohan Umat atau Pencerdasan? Dengan mengikuti diskusi di atas, maka dapat dikatakan bahwa orang yang membawa masalah mimpi ke permukaan alam nyata, sama halnya dengan menyejajarkan mimpi/angan-angan dengan kenyataan. Lalu, selanjutnya memberi ruang pada imajinasi untuk berada di alam konkrit. Bila hal ini terjadi samalah artinya tidak ada bedanya antara warna hitam dengan putih. Bisakah hal ini terjadi? Mungkin bisa dan mungkin juga tidak. Itu tergantung dengan kacamata yang digunakan. Kalau kaca mata gelap, maka gelaplah pula apa yang dilihatnya Dengan memakai memakai kaca yang bening dan terang, berapapun minsnya, ia tetap konsisten dan akurasi lihatnya tetap positif.
Dengan demikian bahwa menyamakan mimpi dengan pidana sampai dengan efek yang timbul sebagai akibat mengklaimnya adalah salah satu bentuk pembodohan terstruktur yang paradoks dengan tujuan kemerdekaan yang tertera pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945:“…mencerdaskan kehidupan bangsa …“ menjadi terciderai.
Manakala apa yang tersebut terakhir menjadi kenyataan, maka pesan founding father terabaikan serta terlalaikan yang secara estafet membuat erosi nilai-nilai luhur panutan anak bangsa. Bukan tidak mungkin erosi demi erosi membuahkan tsunami tanpa nilai ( being without value ) yang lazim di dunia Arab menyebutnya dengan كعدمه وجوده/ adanya sa ma dengan . bOleh seba, berpikir ulang untuk tidak menyejajarkan mimpi dengan pidana masih banyak waktu, sebelum semuanya terlambat. Kalau sudah terlambat atau terlanjur mengikuti arus yang merugikan, maka adagium adat tuo tengganai menjadi sirna sudah : “sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada gunanya”.
Untuk itu sebelum terlambat, langkah pertama sekaligus terakhir àdalah don’t till tomorrow what can you do today ( ال تنتظر الساعة غدا لما استطعت ان تنفذ اليوم )
*
Kesimpulan Menakar sesuatu memerlukan alat takar yang akurat, agar akurasinya tetap responsible. Secanggih apapun metoda yang digunakan oleh seseorang tapi keluar dari rambu-rambu kebenaran, maka ritme alunan yang seharusnya indah, kalau tidak menjadi bahan tertawa; paling tidak bisa saja panggungnya yang ogah melanjutkan dramanya. Allahu a’lam, innahu hua ‘alimun hakim.
(*) Penulis adalah Guru Besar dan Ketua Senat UIN Sulthan Thaha Jambi