16 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

In Memoriam Artidjo Alkostar

4 min read

Bangsa ini berduka saat mantan Hakim Agung dan Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar meninggal dunia pada Minggu kemarin. Rasa duka bangsa ini terwakili dalam pernyataan duka Presiden Jokowi yang mengatakan Artidjo adalah salah satu putra terbaik bangsa. Jokowi menyebut Artidjo sebagai sosok yang jujur, berintegritas, dan rajin sehingga patut menjadi teladan bagi aparat penegak hukum di Indonesia.

Di luar dari apa yang disebut Presiden Jokowi, Artidjo juga dikenal sebagai pribadi dengan kehidupan yang sangat bersahaja, Kebersahajaan itu bukan semata saat bekerja sebagai dosen dan direktur LBH di Yogkarta melainkan juga saat sudah berprofesi sebagai Hakim Agung, Baginya, kemewahan, kekayaan materi, adalah musuh. Artidjo seperti sangat memahami bahwa nafsu ingin mewah dan kaya itu ibarat menggali kuburan sendiri lalu dia terperosok ke dalamnya.

Dengan kepribadian sebagaimana disebutkan di atas, tak mengherankan kembalinya Artidjo ke rumah Allah dikenang dengan baik oleh pemerintah, perguruan tinggi,  tokoh, kalangan media, mahasiswa, LSM, pengacara para koleganya sesama hakim dan oleh Dewas KPK sendiri.

Semua merasa kehilangan kecuali para koruptor yang permintaan kasasi mereka bukan dikurangi  sebagaimana diinginkan oleh mereka, melainkan ditambah sekian tahun tanpa belas kasih Artidjo. Karena sikap Artidjo yang tanpa kompromi itu, konon ada beberapa pengacara koruptor mencegah kliennya untuk kasasi.

“Sudahlah, terima saja lima tahun daripada jadi sepuluh. Nanti  Artidjo lho yang megang (perkara)” demikian kurang lebih kalimat pengacara saat membujuk kliennya.

Namun, para koruptor itu ada yang besar egonya, sehingga tetap kasasi. Tok! Artidjo pun mengoreksi hukuman tiga tahun untuk seorang koruptor menjadi 10 tahun penjara dan seterusnya! Dalam pandangan saya, Artidjo tak mau berkompromi karena dua hal.

Pertama, dia adalah pribadi yang bersih sedari awal sampai kemudian menjadi Hakim Agung. Ini modal penting yang membuatnya maju tak gentar. Dia tak punya hutang budi kepada eksekutif dan legislatif dan juga kepada pihak-pihak lain. Fakta ini membuat dia tak takut kepada siapa pun. Tak ada rekam jejaknya yang buruk yang suatu saat bisa dibongkar karena tak mau berkompromi.

Kedua, dia mahfum bahwa bangsa ini bisa hancur karena korupsi. Karena itu, koruptor harus dibuat jera. Korupsi yang sudah dinyatakan sebagai “extra ordinary crime” itu  harus juga diperlakukan secara ekstra keras dalam hal penjatuhan sanksi.

Efeknya harus dapat dirasakan para koruptor dan dapat menjadi pencegah munculnya kasus-kasus korupsi baru.  Saat mau menjadi anggota Dewas KPK, Artidjo berharap perangnya terhadap korupsi tetap bisa tersalurkan.

Tetapi dia mungkin “pergi” dengan penuh penasaran. KPK mendapat sorotan publik tetapi Artidjo mungkin merasa tak bisa melakukan banyak hal dalam posisinya sebagai anggota Dewas KPK. Bahkan tak kurang, Dewas KPK sendiri mendapat kritik dari masyarakat saat tak memberi sanksi apa pun kepada Ketua KPK atas tuduhan pelanggaran etik.

Dia mungkin juga kecewa saat sejumlah hakim agung mulai mengurangi hukuman kepada para koruptor pada tingkat kasasi. Lalu, walau pun sedang pandemi, sejumlah menteri, dan terakhir gubernur, terlibat pula korupsi, termasuk korupsi bantuan sosial.

Rasa takut untuk korupsi itu tak ada! Artidjo mungkin berpulang dengan dada sesak melihat fenomena di atas. Dia sepertinya bercita-cita terlalu besar atau terlalu tinggi: negeri bebas korupsi. Ternyata tidak, bahkan korupsi semakin memburuk. Ini bisa dilihat pada laporan  Transparency International Indonesia (TII). Dalam laporan mereka akhir Januari lalu, skor indeks persepsi korupsi Indonesia saat ini berada di angka 37 pada skala 0-100 (adapun skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih).

Skor ini turun 3 (tiga) poin dibanding 2019.Turunnya angka tersebut juga membuat posisi Indonesia melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya dari yang sebelumnya berada di posisi 85. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).

Kepergian kemarin membuat saya mengenang pertemuan saya dengan Pak Artidjo saat sama-sama menjadi narasumber dalam suatu diskusi di Pascasarjana UIN Ar-Raniry (kalau tak salah awal 2007).

Beliau diundang dalam kapasitas sebagai Hakim Agung dan tema diskusi adalah mengenai sebuah hasil riset. Kedua kami memberi respons atas hasil riset tersebut.

Saya menyorot aspek akses kepada keadilan. Kebetulan saya baru selesai menjadi konsultan capacity building Pengadilan Negeri di Aceh didanai UNDP bekerjasama dengan Pengadilan Tinggi Aceh.

Saya juga bersyukur dapat bertemu muka dengan sosok yang selama ini cuma saya lihat fotonya dan berita tentangnya di media massa.

Integritas keilmuan dan profesi terlihat nyata bukan hanya saat pertama saling menyapa melainkan selama beliau melakukan presentasi.

Di sana saya juga lihat kesederhanaan beliau dari segi pakaian, kacamata, sepatu, tali pinggang, dan tas kerja. Namun, semua itu tak mengaburkan sebuah fakta, bahwa beliau adalah orang yang kuat dan kaya. Kuat integritasnnya dan kaya dengan kebersahajaannya.

Selamat jalan Pak Artidjo, sang insipirator anak negeri! Semoga Allah tetapkan surga untuk mu!

Oleh: Saifuddin Bantasyam//Dosen Fakultas Hukum Unsyiah

Sumber: ajnn.net /ft:okezone

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

43 − = 41