Harapan Pemangku Adat, Pertambangan Rakyat di Batu Kerbau Segera Dilegalkan
3 min readJAMBIDAILY BUNGO – Para pemangku adat di Desa Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo memohon dan berharap kepada pemerintah untuk segera melegalkan pertambangan rakyat di wilayah mereka.
“Saya atas nama Pemangku Adat Datuk Sinaro Putih Nan Selapan Dusun Baru Pelepat dan Dusun Batu Kerbau memohon kepada Pemerintah Daerah, Provinsi dan Pusat untuk segera melegalkan menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat di Kawasan adat Batu Kerbau,” ujar Yusri.
Yusri yang baru berusia 35 tahun merupakan keturunan penguasa Wilayah Adat yang bergelar Sinaro Putih Nan Selapan di Batu Kerbau.
Puluhan tahun berkelana di negeri orang, Yusri kembali pulang menjadi pewaris sebagi Pemangku Adat, untuk menegakkan pranata adat warisan nenek moyang khususnya aturan yang mengatur tatanan kehidupan sehari-hari dan tata cara adat dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan di Desa Batu Kerbau yang berjarak 80 kilometer dari Kota Muarabungo.
Datuk Sinaro, demikian Yusri biasa disapa, membeber desanya dulu dikelilingi hutan, namun dalam rentang 1990 sampai 2000, tercatat satu juta hektare hutan hilang, dari 2,4 juta hektare menjadi 1,4 juta hektare.
Selain itu, banyak hutan alam yang perizinan dikeluarkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) tanpa sepengetahuan pemangku kepentingan hutan.
Pada 2013, ada 3 lokasi hutan alam telah beralih fungsi menjadi tanaman industri akasia, pertukangan, dan karet. Akibat peralihan hutan alam tersebut, masyarakat tidak bisa lagi bertanam padi untuk melanjutkan kehidupan.
Datuk Sianaro mengisahkan, dalam Tambo Adat diceritakan selain mengelola hasil hutan, masyarakat juga menambang. Secara tradisional terdapat 99 tambang adat yang diwarisi oleh pemangku adat terdahulu.
Namun sejak hutan beralih fungsi menjadi HGU dan HTI, maka masyarakat lokal kehilangan lahan, dan juga tidak bisa menikmati hasil hutan.
Permasalahan muncul di awal 2020, dimana terjadi kericuhan antara masyarakat penambang dengan aparat penegak hukum yang berlanjut ke pengadilan. Namun kegiatan penambangan tetap berlangsung, bahkan semakin banyak.
Imbauan camat dan kepala desa/rio telah dilakukan. Bahkan cara preventif dari forkompimda sudah dilakukan, namun aktivitas pertambangan tetap jalan.
Melihat kondisi ini, masyarakat diselimuti kebimbangan; trauma melawan hukum dan jika dibiarkan wilayah desa bisa habis dan hancur oleh penambang dan kerusakan lingkungan semakin parah. Di sisi lain, ribuan masyarakat bergantung mencari emas dengan cara mendulang yang membuat kehidupan masyarakat sangat terbantu.
Dari kegelisahan tersebut, maka tokoh masyarakat dan tokoh agama serta pemangku adat mengambil sikap melalui rapat adat mencari solusi. Pranata Adat, Sinaro Putih “Keateh Babungo Kayu, Ke Air Babungo Pasir” satu-satunya hukum adat yang dapat ditegakkan.
Untuk menyelamatkan lingkungan dan mengganti biaya jaminan reklamasi dan membagun sumber air bersih maka dilakukan musyawarah adat, dengan beberapa poin-poin kesepakatan dan kewajiban yang harus ditaati.
“Namun, masyarakat Adat memahami bahwa jika dibiarkan dan tidak segera diurus oleh pemerintah maka kekayaan alam akan habis, negara akan dirugikan, PAD tidak akan masuk ke daerah, Desa tidak akan mendapatkan retribusi. Hasil Tambang Rakyat masuk ke pasar gelap, pungli merajalela. Penambang tidak akan merasa nyaman, dan lingkungan akan rusak. Karena itu kami meminta dan berharap pemerintah segera melegalkan pertambangan rakyat tersebut,” tandas Datuk Sinaro.(*)