“SANG HIYANG SRI JAYANAGA”
6 min readDalam Simulasi Wisata Budaya Dan Tradisi Seberang Kota Jambi
Ditulis Oleh: Ali Surakhman
JURNAL PUBLIK – Sabtu, 4/10/2021, Saya menjajal tapak kaki di jembatan Gentala Arasy, jembatan yang didesain berliku dengan tiang tiang menara menjulang tinggi seolah olah akan menembus langit, jembatan ini membelah sungai Batanghari, salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Sumatera, saya ikut dalam simulasi wisata budaya dan tradisi yang di laksanakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jambi, yang di gagas Kepala Dinas Sri Purnama Syam, dan hadir juga PLT Gubernur Jambi Dr. Hari Nur Cahya Murni, M.Si, dan sejumlah jurnalis, simulasi ini bertujuan menghidupkan wisata lokal yang berbasis budaya.
Kembali kita ke jembatan Gentala Arasy, yang menapak Tanggo Rajo dan berujung di museum Gentala Arasy di Seberang Kota Jambi, kalau kita lihat dari arah Matahari terbit jembatan ini meliuk bak pinggang seorang gadis penari Zapin Melayu, gemulai indah, dan saat Matahari terbenam ia tetap cantik dalam selubung temaram senja mengikuti riak riak tenang Batanghari, saya sendiri tak tahu siapa yang mendesainnya, namun sedikit kita berkisah, sungai Batanghari menyimpan banyak sejarah, kisah peradaban, salah satunya yang disebut dalam tambo tambo tua Incung, kisah dua kakak beradik, yatim piatu, yang tinggal di hutan puncak pulau Perca, “Calungga dan Calupat”, perjalanan takdir memisahkan mereka berdua di alam yang berbeda, sang kakak berubah wujud menjadi Naga Calungga, saat sepi hutan rimba, si adik ingin merantau, dan memanggil kakaknya untuk mengantarnya, sang naga Calungga, saat itu “sungai adalah jalan raya, samudera adalah gelangangnya”, singkat kisah setelah sekian jauh mengikuti aliran sungai, sampailah mereka di sebuah kampung di pinggir sungai, yang mana penduduknya, sedang diserang oleh prajurit prajurit negeri seberang dengan Jung jung besar, melihat seorang pemuda yang menunggangi seekor naga besar, bergombak emas, maka prajurit yang menyerang orang kampung, tersebut lari tungang langang, sebagai wujud terima kasih, sang pemuda diangkat menjadi raja, ia bergelar “Sang Hiyang Sri Jayanaga”, raja gunung penguasa sungai, dan ini bukan sekedar cerita lisan, namun terpahat di prasasti prasasti tua, pulau Perca, ini kisah sungai Batanghari yang tak banyak diketahui orang banyak.
Kembali kita ke kisah inti, ide mengangkat wisata lokal yang berbasis budaya sangatlah logis, dimana konsep pemberdayaan itu mesti di mulai dari akar rumput, selama ini kita kebablasan dalam mengcopy paste konsep pariwisata, seolah ingin mengubah negeri ini seperti eropa, atau kiblat wisata kita Bali dan Yogyakarta, sah sah saja, namun kita lupa, Bali adalah Bali, Yogya adalah Yogya, tak bisa disamakan, Jambi adalah Jambi dengan segala potensinya, seolah kita tak percaya diri, bahwa kita bisa menjual potensi kita, di mulai dari hulu sampai hilir negeri Tanah Pilih Pusako Bertuah ini, sudah punya aset objek wisata yang lengkap, beragam, dari wisata alam sampai budayanya, namun belum menemukan konsep yang pas dan cocok, “Jangan Menanam Bibit di Tanah Yang Tak Cocok”, tak akan tumbuh dengan baik ia.
Pada situasi pembangunan normal pariwisata dapat digunakan sebagai alat yang efektif dalam memberantas kemiskinan dan memberikan kontribusi bagi upaya perbaikan (redevelopment) berbagai kegagalan pembangunan pedesaan dan perkotaan. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari pembangunan pariwisata sering memberikan “benefit” bagi kelestarian budaya dan alam melalui program peningkatan alokasi sumberdaya publik yang tidak hanya signifikan mempengaruhi sosial ekonomi tetapi mampu melindungi warisan budaya.
Menurut Carney (1998) pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari pembangunan ekowisata sering memberikan “benefit” bagi kelestarian budaya dan alam melalui program peningkatan alokasi sumberdaya publik. Pembangunan pariwisata tidak hanya signifikan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat tetapi juga mampu melindungi warisan budaya setempat. Pada kondisi pembangunan normal, pariwisata dapat digunakan sebagai alat efektif dalam memberantas kemiskinan dan memberikan kontribusi bagi upaya perbaikan (redevelopment) kegagalan pemerataan pembangunan perdesaan dan perkotaan. Ekowisata merupakan upaya meningkatkan proteksi terhadap kawasan alamiah melalui peningkatan benefit ekonomi komunitas lokal, organisasi dan pengelola kawasan konservasi, peningkatan kepedulian komunitas lokal dan pengunjung (turis) terhadap aset-aset konservasi alam dan sosial budaya, penyusunan konsep yang efisien dan adil untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan budaya, dan perhatian dan monitoring lebih untuk kawasan yang sensitif serta pengakuan terhadap hak indogenous dan tradisional pada areal yang suitable dalam pembangunan ekowisata (WTO-UNEP, 2002).
Perencanaan dan desain pariwisata membutuhkan kehati-hatian dengan memperhatikan kepentingan masyarakat lokal sehingga mampu meningkatkan dampak positif bagi kehidupan, dan dalam memaksimalkan manfaat membutuhkan pengertian yang baik apakah masyarakat benar-benar perlu dan ingin (prioritas kehidupan mereka) dan apakah pariwisata menjadi opsi yang mereka pilih untuk memperbaiki kehidupan mereka karena memiliki dampak langsung atau tidak langsung. Dampak pengembangan pariwisata terhadap kehidupan masyarakat pedesaan untuk setiap komunitas tidak seragam dan bervariasi antar komunitas.
Simulasi wisata budaya dan tradisi Seberang Kota Jambi, merupakan langkah awal memulai proses menggerakkan wisata lokal yang berbasis budaya, walau banyak sekali catatan, seperti yang disampaikan PLT Gubernur Jambi yang mengkritik, masih banyaknya sampah di area museum Gentala Arasy, sampah di sungai Batanghari, dan sering tutupnya Museum Gentala Arasy, sehingga pengunjung tak bisa melihat koleksi koleksi yang ada di museum, padahal, museum merupakan salah satu pusat pendidikan masyarakat, dimana museum mengembalikan memori ingatan akan pengetahuan masa lalu, dan ini dapat menangkal pengaruh budaya negatif budaya luar, dan mengembalikan karakter anak bangsa yang paham akan sejarah dan nilai nilai kearifan lokalnya.
Simulasi wisata budaya dan tradisi Seberang Kota Jambi merupakan ide yang tepat, karena memeratakan spot spot wisata lokal dan pemberdayaan akar rumput, dalam manajemen pemerintah sebuah desain konsep yang baik oleh seorang pimpinan mesti bisa di jabarkan dan di tangkap stafnya, dan idealnya dapat pula dikembangkan, namun pada kenyataannya, walau tak semuanya, konsep tersebut menguap dan tersumbat, ini salah satunya disebabkan kurang kapasitas staf yang duduk di bidangnya, tak memahami fungsi dan tugasnya, dan saat diterapkan “pekerjaan yang berbasis kinerja” seharusnya komunikasi dua arah ini tidak buntu dan menguap, karena semua aktivitas yang di kerjakan dibuat dan disusun sendiri oleh pekerjaanya. Menyikapi kritikan dari PLT Gubernur Jambi, sebelum pelaksanaan mesti di kaji dan disurvei di lapangan, apakah masyarakat setempat siap, dan betul betul di petakan baik sosial maupun fisik spot spot yang bisa diangkat sebagai objek wisata yang punya nilai jual.
Terlepas dari itu semua, setiap proses tentulah tidak bisa sempurna, begitu pula kegiatan simulasi wisata budaya dan tradisi Seberang Kota Jambi, bagaimanapun ini langkah awal yang luar biasa dalam mengangkat spot spot wisata lokal, intinya jangan sampai semangat untuk perubahan dan kemajuan itu padam, dan kita tidak menjadi anti kritik, karena untuk membentuk program padat mutu dan semua aktivitas mesti ada review dan evaluasi,
“Batanghari meliuk indah dari puncak pulau Perca, mengalir sampai ke Berhala, walau kuning, tak bening, disitu pernah ada tapak Sang Hiyang Srijayanaga, anak gunung penguasa sungai, marwahnya sampai samudera Hindia dan laut Cina Selatan”.