Menggugat Eksistensi Teater Kampus
4 min readOleh: Oky Akbar
JAMBIDAILY JURNAL PUBLIK – Kamis dan Jumat, 10—11 Juni 2021, Teater Arena Taman Budaya Jambi menjadi gelanggang kemunculan teater kampus, Sanggar Seni dari Universitas Batanghari. Naskah lawas milik Usmar Ismail Ayahku Pulang, digarap oleh Regi Ananda Winardo yang didukung oleh aktor-aktor yang berstatus mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia. Garapan ini juga dikomandoi langsung oleh Ketua Prodinya, Erlina Zahar, M.Pd.
Kemunculan sanggar seni/kelompok teater kampus bukan hal baru di Jambi. Jauh sebelumnya, beberapa kelompok teater telah bermunculan. Tahun 1990 berdiri Teater Aek Ngalir Unbari, Teater Hijau IAIN Jambi, Pusat Studi Teater Universitas Jambi, Teater Orange dan Cindaku dari Universitas Jambi. Hingga sekarang, tak kurang dari 20 komunitas teater kampus telah menasbihkan dirinya. Baca https://jambidaily.com/2020/10/01/perkembangan-teater-di-jambi/.
Dikesempatan ini, saya tidak ingin begitu menguliti, mendedahkan kajian, atau mengungkap kelebihan dan kekurangan secara mendalam dari pertunjukan Ayahku Pulang. Secara substansi, pertunjukan Ayahku Pulang dapat dikategorikan berhasil. Pernyataan ini berdasar pada wawancara secara terbuka terhadap beberapa penonton yang telah menyaksikan pertunjukan. Penonton yang diwawancarai bukanlah penonton aktif. Mereka adalah penonton yang baru pertama kali menonton teater. Pertanyaan sederhananya adalah apa yang kamu rasakan dari tontonan tadi? Jawabannya adalah sedih. Bila dikaitkan secara teks, naskah yang dibawakan memang tergolong jenis naskah drama tragedi. Dengan begitu, alih wahana dari teks menjadi bentuk pertunjukan telah dilakukan secara baik oleh sutradara.
Meskipun begitu, hal-hal teknis dalam pemanggungan tetap saja menjadi perhatian. Komposisi panggung dan dimensi setting yang kurang seimbang serta keaktoran dan kekompakan antar aktor dengan pemusik masih menjadi catatan. Namun demikian, ini adalah bagian dari proses. Seni adalah proses tanpa henti. Begitulah yang disampaikan oleh guru saya, EM Yogiswara, kuantitas menjanjikan kualitas. Terus saja berproses, kualitas akan mengiring dalam setiap hasilnya.
Keberanian dan semangat yang diusung oleh kawan-kawan menjadi lebih penting daripada itu (hal-hal di dalam panggung). Keberanian untuk masuk ke gelanggang seni pertunjukan tentu diiringi dengan risiko dan tantangan yang muncul. EKSISTENSI! Kawan-kawan mampu tidak menjawab itu. Apa yang dilakukan sekarang bukanlah akhir melainkan awal dari komitmen yang dibangun. Apa yang akan dilakukan selanjutnya. Seperti apa teknisnya. Apakah Sanggar Seni dari Unbari ini hanya menambah catatan sejarah teater kampus atau akan terus bergerak? Ini akan dijawab oleh waktu.
Dari yang sudah-sudah, dengan semangat yang mulia, teater kampus muncul lalu hilang. Pada kejadian ini, kemunculan teater kampus biasanya didasarkan pada proyeksi jangka pendek; tugas akhir misalnya, nilai semester, lomba, promosi atau sebagai kelengkapan administrasi akreditasi. Setelah pentas, nama teaternya masih ada, tertempel di baju, tertempel pada struktur kampus yang dipajang di tembok, lengkap juga dengan nama pembinanya, tetapi gerakannya tidak terlihat. Anggotanya bercerai-berai, kepengurusan macet, generasi mandek, tidak mendapat anggaran. Akhirnya, jumlah teater tidak seimbang dengan jumlah karya yang dihasilkan.
Andai saja, teater-teater kampus ini mampu menjaga eksistensinya, bukan tidak mungkin, dalam satu bulan bisa hadir 3 sampai 4 pertunjukan. Jambi akan kenyang dengan tontonan. Ada banyak sajian yang bisa dipilih. Pedagang-pedagang kecil; penjual siomay, bakso bakar, bakso tusuk, sate, es krim, es tebu (ini adalah pedagang yang biasanya berjualan di Taman Budaya Jambi) pasti ikut bergairah, ikut merasakan dampaknya. Bukan tidak mungkin, Jambi punya kalender khusus pertunjukan teater. Mungkin? Mungkin saja!
Cita-cita di atas bisa terwujud apabila ada kesadaran dengan tugas pokok dan fungsi. Di kampus, ada satu badan yang membidangi seni, yakni Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI). Badan inilah yang mestinya bertanggungjawab terhadap kesenian di kampus. Namun sayang, badan ini, tampaknya hanya bekerja secara musiman. Acara rutin yang dilaksanakan yakni Pekan Seni Mahasiwa Daerah (PEKSIMIDA) dan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) yang berlangsung dua tahun sekali. Itu pun pelaksanaannya semakin semrawut.
Di luar kampus, Taman Budaya Jambi (TBJ) juga dapat ikut mendorong eksistensi berkesenian mahasiswa. Beberapa tahun belakang, TBJ sudah menghadirkan berbagai festival teater bahkan sudah dipersempit dengan batasan usia. Mestinya, ini menjadi ajang, menjadi kesempatan mahasiswa/teater kampus untuk terus eksis. Akan tetapi, beberapa mahasiswa justru bergerak sendiri, melahirkan teater baru bukan membawa teater kampusnya. Atau harus hadir Festival Teater Kampus?
Teater kampus sebenarnya punya modal untuk terus eksis. Bersandar pada modalitas yang diusung oleh Pierre Bourdieu, ada empat modal yang dimiliki. Pertama, modal ekonomi. Setiap kampus pasti punya anggaran. Entah itu dari BLU entah dari uang kas entah uang pendaftaran yang diperoleh dari mahasiswa baru, anggota tetap, sumbangan atau hibah. Kedua, modal budaya. Kemampuan menampilkan diri di depan publik. Pengetahuan dan pendidikan yang didapat lewat buku atau diskusi yang dibangun antar mahasiswa, antar dosen dengan mahasiswa. Ketiga, modal sosial. Mahasiswa punya banyak akun media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk publikasi atau mencari sponsor, tinggal bagaimana memanfaatkannya secara optimal. Keempat, modal legalitas. Teater kampus dikawal oleh orang-orang yang punya otoritas di kampus.
Akhir kata, selamat datang Sanggar Seni Universitas Batangahari.
berkumpul bersama adalah permulaan
tetap bersama adalah kemajuan
dan bekerja bersama adalah keberhasilan
(Henry Ford)