23 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Pemaparan Awam Pasca Arus Tangisan Batanghari: Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Dan Budaya Aek Ngalir

6 min read

Pergelaran Arus Tangisan Batanghari/Foto: Hendry Nursal-jambidaily.com

Oleh : Aldi Muheldi

JAMBIDAILY JURNAL – Mengangkat isu-isu alam memang tak ada habisnya dalam dunia seni. Alam yang menjadi tempat kita bernaung memang harus dijaga, namun tangan-tangan tak bertanggung jawab mencemar dan merusak tempat bernaung mereka sendiri, dengan mengangkat kondisi rusaknya alam dalam dunia teater sangat sering dipentaskan di panggung, mulai dari realis, kontemporer, dan berbagai bentuk dalam penggarapannya.

Tema-tema pencemaran alam selalu menjadi nilai tukar yang menggiurkan pagi penggiat teater selama ini, selalu menjadi suatu ladang emas yang bisa digali terus menerus, dikarenakan tema tersebut selalu menimbulkan hal-hal baru dalam peristiwanya yang memang harus diangkat faktanya kepermukaan dan langsung diberi ke wajah-wajah kekuasaan.

Pada tanggal 29 Maret 2022 Unit Kegiatan Mahasiswa Seni dan Budaya Aek Ngalir, selesai melakukan pertunjukan teater mereka yang berjudul Arus Tangisan Batanghari. Dalam pergelarannya di Taman Budaya Jambi kala itu membuat ekstensi Aek Ngalir menjadi tampak dipermukaan dalam proses pengkaryaan seni di Jambi pada khususnya Seni pertunjukan teater. Mengingat begitu minimnya aktivis teater kampus yang hilang-hilangan, diharapkan ini menjadi pecut keras bagi teater-teater kampus yang berada di Jambi untuk eksis kembali membawa karya-karya terbaik mereka kepermukaan. Untuk permulaan sedikit pengupasan pergelaran ini, pementasan ini merupakan pementasan pertama kali yang saya tonton untuk Unit Kegiatan Mahasiswa Seni dan Budaya Aek Ngalir Universitas Batanghari.

 

Mengupas frasa

Sedikit mengupas frasa Arus Tangisan Batanghari. Ini merupakan judul besar dalam pementasan Aek Ngalir kali ini di Taman Budaya pada saat itu. Ide cerita yang dibuat oleh bang Hendry Nursal adalah judul yang mengandung ironi mengingat pembahasan eksistensi Sungai Batanghari yang tak ada habisnya untuk dikuras ceritanya. Ada dua kata yang saya coba ulas secara awam dalam judul tersebut, yaitu ‘Arus’ dan ‘Tangisan’.

Kata “Arus” mengambil artiannya dalam KBBI merupakan gerak air yang mengalir atau aliran, namun pada judul, kalau diulik pada pemaknaan yang berbeda, “Arus” bukan secara harfiah adalah suatu gerak air atau air yang mengalir, tapi pada konteks judul ini kata ‘Arus’ lebih menjelaskan kisah, cerita, peristiwa-peristiwa pada Sungai Batanghari. Sungai Batanghari yang menjadi ikon Jambi dari dulu dan sekarang adalah suatu bentuk “keindahan” tidak bisa kita pungkiri, karena sungai terbentang sepanjang Provinsi dihadapan kita serta fakta sejarahnya sedikit tidak banyak dalam perkembangan Provinsi pernah kita dengar dari mulut ke mulut.

Kemudian, kata tangisanlah yang membuat saya berani bilang bahwa judul tersebut sudah membuat ironi tergambar dalam otak saya. Mengingat kondisi sungai tersebut menjadi sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya, tapi tidak bisa kita elak pencemaran juga terpampang di sana. Pencemaran yang bias dalam pemaknaanya, yang selalu kita cari deduksi penyebab tercemarnya Sungai ini. Jadi saya simpulkan secara awam juga, dari pemaparan tentang frasa Arus Tangisan Batanghari, bahwa ini mengimplikasikan kehidupan ironi orang-orang di sekitar sungai serta tentang pencemaran yang terjadi di Sungai Batang, lalu secara tersirat mengkritik pencemaran tersebut.

Pergelaran Arus Tangisan Batanghari

UKM Aek Ngalir membangun citra mereka dalam pementasan ini dengan membawa isu pencemaran sungai Batanghari. Upaya yang mereka lakukan adalah mengedepankan rasa kepedulian terhadap sungai tersebut, membawa isu ini kedalam pementasan agar kita terbawa dengan orasi mereka untuk berhenti mencemarkan sungai, dan ikut mengorasikan agar membuka mata penguasa sadar bahwa air di sungai Batanghari dalam kondisi buruk berkepanjangan tanpa ada penanganan serius dari pemerintah.

Memasuki pergelaran, usaha pengambaran patut diapreasiasi karena mungkin proses latihan yang begitu serius, dan konsep-konsep yang sudah disepakati begitu riweh untuk menjadi sebuah pergelaran itu sah untuk diberi ke penonton banyak. Memang pada praktiknya pada saat pergelaran terjadi sedikit banyak sesuatu tak begitu tertonjol pada sebagian maksud yang ingin disampaikan sutradara.

Pada pemaparan ini, saya akan menggunakan teori sendiri yaitu teori awam dan keresahan, serta memberi pertanyaan yang terpaparkan pada secarik tulisan ini.

Pembukaan awal dibuka dengan nyanyian Jambi yang saya bilang sebagai pengantar menuju pementasan, lalu dilanjutkan tari kreasi yang ditampilkan juga sebagai pengantar pementasan, yang saya kira tarian tersebut sebagian awal dari gambaran pementasan, namun perkiraan saya salah.

Ketika pementasan benar-benar dimulai, permulaan cerita menghadirkan dua orang wanita yang berdiri di depan sebuah pohon yang berada ditengah, satu wanita berdiri lebih tinggi mengisyaratkan gerak detak jam yang terus berputar, dan satunya lagi meliukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan yang saya isyaratkan sebagai arus sungai yang mengalir.

Kemudian ada empat orang wanita yang menggambarkan secara harfiah penggunaan Sungai Batanghari sebagai sumber kehidupan mereka. Penggambaran ibu-ibu yang mencuci pakaian, membersihkan sayuran, menjala ikan, dan menampi beras, gerakan ini kemudian juga dimasukkan ke dalam konsep sedikit tarian. Dalam fragmen ini timbul sebuah pertanyaan yang membuat saya sedikit resah dan tidak masuk di logika saya, apakah benar bahwa salah satu kegiatan yang dilakukan di daerah aliran Sungai salah satunya menampi beras ? kalau pada faktanya tidak, maka terjadi riset yang kurang atau terjadi kesalahan penganalisisan teks yang kurang mendalam.

Penggunaan setting yang tidak terlalu tereksplor, menjadi sebuah kesia-siaan penempataan setting dalam sebuah pergelaran. Seharusnya setting harus dieksplor sedemikian rupa agar sebuah properti menjadi hidup dan tidak menjadi hiasan panggung saja, dalam hal ini pohon yang berada ditengah dan di pinggir. Lalu penggambaran sungai yang tak secara harfiah dihadirkan dipanggung menjadi minus, pohon yang dibuat lebih menyiar kekeringan dibandingkan pencemaran, ditambah dengan daun berguguran disampingnya, membuat kesan pengambaran sungai tak harfiah.

Dengan ditambah lagi terjadi kecelakaan panggung pada saat itu. Pohon yang berada di tengah roboh akan handuk yang ditarik oleh seorang pemain lelaki yang habis membuat adegan mandi pada saat itu. Hal ini sangat fatal karena kecelakaan panggung itu tidak ditutupi dengan improvisasi pemain, melainkan crew panggung yang masuk ke dalam, disaat pertunjukkan sedang berlangsung.

Membicarakan pengeksploran yang tanggung dibuat oleh aktor-aktor yang hadir di panggung, membuat suasana yang harus dinikmati tak begitu tersampaikan pada penonton saya terkhususnya. Bingung mau menempatkan posisi suasana, hendak ke mana saya dibawa. Kepedihan dan keironian tak dapat kalau mau dikembalikan ke dalam kata ‘Tangisan’ tadi yang saya jabarkan di atas.

Pengangkatan isu Dompeng (Penambangan emas) di Sungai Batanghari, saya anggap agak berbeda fakta dan penyajiannya di panggung. Yang mana penambangan emas, sehingga sungai menjadi tercemar dikarenakan mesin bukan karena penambangan emas secara tradisional, dalam pergelaran menggunakan kuali sebagai alat tambang emasnya. Apakah ada penambangan emas secara tradisional di Sungai Batanghari ? atau pencemaran terjadi karena penambangan mesin ? pertanyaan ini muncul.

Saya mengira secara keawaman saya, sutradara perlu menganalisis lebih dalam naskah yang disediakan, mempelajari konsep, dan mendudukkan konsep sehinggal pengalihwanaan bisa dengan siap ditaruh dipanggung, dan kemudian mengolah aktor-aktor yang ada supaya pemberian materi ikhwal isu yang diinginkan sutradara sampai ke aktor.

Mungkin banyak hal yang harus dibenahi dalam pementasan ini, besar harapan tidak tenggelam dalam “Arus Kebahagian” setelah pementasan, dan tidak kecil hatinya terhadap ktitikan, serta masukkan yang diberi. UKM Seni dan Budaya Aek Ngalir mesti banyak berguru dengan berbagai orang yang paham dengan hal yang berkaitan teater, tidak terbentur akan pengetahuan yang di dapat sendiri maupun satu orang, agar kedepannya eksistensi menjadi teguh dalam “Arus Seni Teater”. Ditunggu karya selanjutnya, jangan mudah puas !

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 64 = 66