Isi “Lemari” Hendry
4 min readOleh: Oky Akbar
Pertunjukan teater memiliki kompleksitas unsur seni yang lengkap mulai dari sastra hingga pemanggungan yang di dalamnya terdapat unsur seni pemeranan, penyutradaraan, penataan artistik, kostum, lampu, dan suara. Unsur-unsur itu kemudian dirajut seperti benang-benang halus yang saling menempel hingga menjadi kain. Kain itu pun kemudian dapat diolah lagi menjadi bentuk-bentuk yang lain. Proses itu terus berlangsung dan tidak akan mencapai puncak kesempurnaan. Dikatakan sempurna apabila teater telah mencapai pada bentuk yang diinginkan.
Sejauh ini, pertunjukan teater cenderung dinilai lewat sudut pandang visual (apa yang disuguhkan di atas panggung). Teater seolah diperhadapkan dengan tayangan menarik dan menjamur di sosial media sehingga visualisasi teater harus mampu menerobos pasar mata yang telah terbuai oleh kecanggihan proses editing. Teater harus pula menjadi objek yang instagrameble. Itu di satu sisi.
Di sisi yang lain, belakangan ini, tayangan-tayangan di media sosial justru mengalami pergeseran. Yang awalnya fokus kepada bentuk visualisasinya bergeser kepada konten (isi). Orang-orang tidak lagi menilai visualnya, tetapi isi yang sampaikan. Katakanlah siniar milik Deddy Corbuzer. Apa yang menarik dari siniar itu? Secara visual hanya tampak dua atau tiga orang yang sedang berbicara. Mereka duduk-duduk saja. Tidak mengalami proses editing yang lebih rumit seperti film. Jadi, apa yang membuat orang betah menyaksikan siniar itu?
Melanjutkan unsur seni pertunjukan di muka, maka isi naskah menjadi pondasi kekuatan pertunjukan teater. Tulisan ini lebih kepada apa yang disampaikan bukan bagaimana cara penyampaiannya. Lantas, apa “Isi Lemari Hendry? dari pertunjukan “LEMARI” oleh Teater Tonggak di Taman Budaya Jambi?
Transformasi Sosial Budaya
Pertunjukan Lemari karya Hendry Nursal dan disutradarainya langsung mengetengahkan persoalan eksistensi manusia. Manusia adalah mahluk Tuhan istimewa. Keistimewaan manusia dengan kemampuan akalnya mampu menjawab fenomena alam dan kesadarannya. Dua hal mendasar keistimewaan manusia adalah bahasa dan penalaran. Lewat keistimewaan bahasa, manusia mengomunikasikan informasi dan jalan pikirannya, sedangkan lewat penalarannya, manusia mampu mengoptimalkan pengetahuan.
Di samping itu, hakikat manusia sebagai mahluk sosial sangat memungkinkan munculnya percikan-percikan konflik baik terhadap dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Keinginan-keinginan manusia untuk mencapai sesuatu seringkali mengabaikan bahkan mengobral norma dan aturan-aturan yang berlaku. Rasa ingin diakui di tengah hidup bermasyarakat menjadi dorongan hasrat yang paling sering terlihat. Sampai-sampai, manusia harus tampil mencolok untuk merebut perhatian.
Dalam pertunjukan Lemari, persoalan harta dan tahta dipersonifikasikan dengan pakaian. Setiap pakaian itu bermakna tingkat strata sosial yang berbeda. “Jas” merasa lebih baik dari “kemeja”, pun “celana dalam” juga merasa lebih berati daripada “jas”. Namun, rasa ‘lebih’ dari setiap pakaian memberi arti bahwa, apapun pakaian yang menempel pada tubuh manusia, manusia itu berhak diakui. Ia berhak atas hidup dan pilihannya. Maka tak ada alasan untuk menghina, menghakimi jabatan, pekerjaan, status sosial, atau derajat hidup manusia.
Persoalan strata sosial dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat telah mengalami transformasi yang nyata. Keangkuhan pejabat-pejabat yang merasa mewakili suara rakyat terkadang ‘bergerak’ membelakangi masyarakat itu sendiri. Masyarakat menerima dengan mudah kebudayaan “luar”. Tanpa filter, kebudayaan itu dipaksakan menjadi kebudayaannya sendiri. Dalam lemari yang pengap, pakaian-pakaian akan terus menguap ‘keakuannya’.
Rumah dan Keluaraga
Api-api terebang malam
Inggap di ujung jagung mudo
Biar dunio tujuh kali karam
Balik ke rumah jugo
Pantun dalam kehidupan masyarakat Jambi ini sering didengungkan. Intinya, mengutamakan kebersamaan. Kebersamaan hidup berkeluarga terhimpun dalam satu tempat yang disebut rumah. Rumah bukan hanya tempat berhimpun, melainkan juga sebagai mercusuar, pemandu ke mana kita akan kembali. Lalu, bagaimana dengan rumah yang berhimpunya keluarga justru menjadi masalah?
Konflik seperti di atas dialami oleh tokoh Levon, Rian, dan Mahesa. Setiap pertemuan mereka selalu memicu problema tak berujung. Problemanya ada pada lemari di dalam rumah. Rian dan Mahesa bertahan pada wasiat untuk tidak menggeser, memindahkan lemari apalagi menjualnya, sedangkan Levon berjuang mencari kebenaran atas kematian orang tuanya. Konteks cerita yang asurd ini dapat dimaknai sebagai rahasia lambang. Lemari menyimpan misteri sebuah keluarga. Di dalam lemari tersimpan ‘dokumen-dokumen’ penting bahkan sejarah yang menguak fakta. Rian dan Mahesa berusaha meyimpan rapat-rapat. Levon terus memberontak.
Dalam faktanya, konflik keluarga seringkali terjadi saat orang yang dituakan tiada. Kalau rumah idak lagi berajo, kandas segalo urusan. Tak ada lagi penengah, tak ada tuah dari petuah. Mencullah keegoisan, berebut untuk berkuasa. Darah yang sama membaur jadi amarah. Rumah dan keluaraga kehilangan cinta. Dendam membara!
Isi “Lemari” Hendry mengingatkan saya pada Rumah Tua.
Rumah Tua
Oky akbar
Sewaktu kecil, kita tidur bersama
Di atas ubin yang condong
Bersama hitam manis asap semprong
Jika hujan turun, mata enggan terpejam
Sebab air menerobos atap seng tak beraturan
Masih ingat itu?
Meski kutahu
Kita tidak lagi merasakan tempat yang sama
Kecuali saat berlebaran
(Rumah Cinta, Antologi Puisi Penyair Jambi)