Bayangan Dara Petak dan Dara Jingga Dalam Ekspedisi Sungai Batanghari
3 min read“Buruk li jelipung li buruk puar jelipung tumbuh, hilang lenyap padam berita, entah kemana Perpatih pergi, maka berdirilah raja yang delapan, hendak tahu jalan teliti memudik Raja Membujur, sejak dimana saya berbilang, sejak Siulak melentuk hilir, sejak Temiai yang bersiku mudik”,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Keratan prosa diatas adalah isi dari naskah incung, yang di tulis diatas tanduk kerbau jantan berpusa putih, pusaka itu di pegang oleh salah satu klan atau kalbu di daerah Kerinci, secara keseluruhan ia menceritakan sepasang putri Dara Petak dan Dara Jingga, dan kisah perjalanan Sang Hyang Indarjati, sampai pada kisah Sri Hyang Jayanaga, sang raja sungai, saat prosa itu di ceritakan turun temuruin, ia tak ubah menjadi Tambo, kisah, legenda, namun saat ia di tulis diatas benda pusaka yang disimpan ratusan tahun, maka ia menjadi bukti, data sejarah, yang merupakan kunci kunci dalam mengungkap kisah masa silam.
Sebuah peradaban tak begitu saja muncul, tentu ia ada awal bagaimana ia lahir, berkembang, jaya hingga tenggelam, kehidupan kita pada saat ini tak lepas dari proses panjang mata rantai dari masa lalu, di masa di mana “sungai adalah jalan raya, lautan gelanggangnya”, dan saat itu sungai merupakan urat nadi peradaban antara hulu dan hilir.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelenggarakan kegiatan Ekspedisi Sungai Batanghari yang merupakan bagian rangkaian kegiatan Kenduri Swarnabhumi. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya bersama untuk memajukan kebudayaan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keterhubunganan antara sungai dan peradaban, serta menjaga ekosistem sungai di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari.
“Melalui Kenduri Swarnabhumi, Kemendikbudristek bersama masyarakat dan pemerintah daerah berupaya untuk menggerakkan kesadaran harmoni sungai dan peradaban yang semakin penting untuk dirawat dengan kearifan berbasis budaya,” tutur Direktur Perfilman Musik dan Media, Ditjen Kebudayaan, Ahmad Mahendra, Selasa (12/7).
Kegiatan Ekspedisi Sungai Batanghari berlangsung pada 11 s.d. 22 Juli 2022. Peserta dilepas oleh Direktur Ahmad Mahendra bersama Bupati Dharmasraya di titik awal Ekspedisi Sungai Batanghari pada Selasa (12/7), tepatnya di Jembatan Sungai Dareh, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Ekspedisi yang mengaliri sungai Batanghari dari hulu ke Hilir kita harapkan bisa memberi penguatan memori, pengetauhan dari masyarakat, dan bertanya mengapa sungai Batanghari ?, dari itu secara tak lansung kita berharap masyarakat terdorong untuk mencari tahu jawabanya, walau itu tak menapik proses prosesnya, setidaknya pemerintah telah membanggun tapaknya. Kita berharap dengan kegiatan ini bisa mendapatkan output, dan refleksi pada pemajuan kebudayaan.
Aliran Batanghari adalah saksi bisu kisah perjalanan peradaban, kisah dua kakak beradik Dara Petak Dara Jingga, hingga ia menjadi sebuah “Wangsa”, seperti yang di tulis leluhur di atas tanduk tanduk kerbau hingga kisah “Wangsa” di atas gading tunggal, sampai bagaimana saat ini sebuah naskah di temukan hingga ia menjadi naskah Melayu tertua di dunia yang dititip petaruhkan di dusun kecil Tanjung Tanah, dari Seleman Tanah Undang Kerinci.
Mengungkap rahasia sejarah butuh simpul simpul, kunci kunci, kunci yang digunakan salah maka pintu itu tak akan terbuka, dan hanya bisa di reka reka dari luar, maka mesti dengan kunci yang pas dan tepat, dan kunci itu kadangkala “jelek, berkarat, lusuh, penuh debu dan daki” tapi siapa yang bisa menebak tuah sebuah kunci ?. Semoga Alam Semesta Raya selalu memberkahi kita semua, selalu di restui ruh ruh leluhur sehingga “Kita dan kebudayaan bisa berdaulat di negerinya sendiri”.
Ditulis oleh: Ali Surakhman (Penggiat Budaya)