Museum Siginjei Pameran Peradaban Melayu Jambi Dalam Rangka Kenduri Swarnabhumi
13 min readJAMBIDAILY SENI, Budaya – Museum Siginjei gelar Pameran Peradaban Melayu Jambi Dalam Rangka Kenduri Swarnabhumi “Mengangkat Batang Terendam, Lestarikan Budaya, Lestarikan Sungai Batanghari” Pada 10 s.d 28 September 2022.
Pada prosesi pembukaan pameran Teater Tonggak pergelarkan fragmen Peradaban Melayu Jambi di Museum Siginjei, Kota Jambi (Sabtu, 10/09/2022). Cuplikan atau petikan cerita tersebut disajikan berkonsep teater gerak.
“Ini menceritakan peradaban melayu di Jambi, mulai dari Zaman batu, zaman klasik, ada juga masa hindu budha dan islam dalam bentuk cuplikan atau petikan sebuah cerita,” Terang Didin Siroz, pencipta karya dan sutradara.
Walaupun tanpa dialog atau kata-kata dari pelaku ada narasi pengantar yang diharapkan dapat dipahami. Selain itu, perubahan zaman atau transisi dari pergelaran dikuatkan dengan nuansa musik yang berbeda di setiap zaman.
Pameran diselenggarakan Pemerintah provinsi Jambi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jambi UPTD Museum Siginjei, didukung penuh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia melalui Dirjen Kebudayaan dalam bingkai Dana Alokasi Khusus (DAK).
Bersumber dari Museum Siginjei, berikut jejak Peradaban Melayu Jambi yang didapatkan jambidaily.com (Sabtu, 10/09/2022).
Prolog
Masyarakat Melayu Jambi adalah masyarakat yang terbuka, dengan peradaban yang telah lama berkembang, bahkan semenjak zaman prasejarah. Mata pencaharian masyarakat bersumber dari laut, sungai dan alam sekitarnya, sehingga mereka memilih membuat kampung bahkan pusat pemerintahan ditepi laut atau sungai. Akibatnya semua pengaruh dunia seperti agama, budaya, sosial politik dan ekonomi mempengaruhi budaya masyarakat Melayu Jambi.
Sejak dahulu, peradaban Melayu Jambi telah memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari tinggalan arsitektur seperti candi, masjid dan rumah-rumah tradisional yang memiliki keunikan dan nilai filosofis yang tinggi.
Kemajuan teknologi, khususnya dibidang komunikasi, informasi dan transportasi mempermudah individu dan masyarakat untuk orang saling berhubungan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan leluasa. Kontak-kontak antar budaya dengan dunia luar berpadu kearifan lokal telah memperkaya Peradaban Melayu Jambi
Masa Prasejarah
Masyarakat Melayu Jambi semenjak masa prasejarah wilayah Jambi telah memainkan peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tinggalan-tinggalan berbagai artefak lukisan pada goa-goa dan batu megalith yang tersebar di berbagai tempat antara lain di Sarolangun, Merangin dan Kerinci. Batu-batu tersebut berbentuk dolmen, batu bergambar, tempayan kubur dan budaya batu besar lainnya. Tinggalan budaya prasejarah berlangsung pada 970-140 BP atau 840-1120 M bahkan masyarakat pendukung budaya prasejarah sampai akhir abad ke-19 M masih berlangsung.
Masa Melayu Tua
Penduduk Jambi terbentuk dari perpaduan berbagai kelompok etnik, baik penduduk asli maupun pendatang. Penduduk asli Jambi terdiri atas Suku Bangsa Kubu, Kerinci, Batin, Orang Laut atau Bajau, Orang Penghulu, Suku Pindah dan Orang Melayu. Sedangkan penduduk pendatang berasal dari Palembang, Minangkabau, Jawa, Batak, Bugis, Banjar dan sebagainya. Selain itu orang-orang Tionghoa, Arab dan India juga merupakan bagian dari pengayaan suku atau asimilasi penduduk Jambi.
Suku Bangsa Kubu atau disebut Suku Anak Dalam (SAD) merupakan suku bangsa yang paling awal datang ke Jambi sekitar 4.500 tahun sebelum masehi. Asal usul Suku SAD masih belum dapat dipastikan, ada yang berpendapat bahwa SAD merupakan penduduk Sriwijaya yang diserang oleh Kerajaan Chola India, Kerjaan Singosari dan Majapahit. Suku Bangsa Kerinci merupakan penduduk kedua yang datang ke Jambi. Mereka diperkirakan berasal dari Hindia Belakang yang datang melalui Semenanjung Malaka terus ke hulu menyusuri Batanghari.
Banyak istilah yang digunakan dalam memberikan lebel tentang Suku Anak Dalam. Penulis dari Belanda, seperti Hagen dan Winter menamai mereka “Orang Kubu”, kemudian Muntolib di dalam disertasinya menyebut mereka “Orang Rimba”, pemerintah menyebut mereka Suku Anak Dalam, masyarakat Jambi menyebut mereka “Orang Kubu”, “Orang Rimbo” “Sanak” atau “Dulur”. Suku Anak Dalam sendiri tidak senang dengan sebutan “Orang Kubu” karena artinya terlalu negatif. Mereka lebih senang dengan sebutan “Orang Rimba”, “Sanak” atau “Dulur”. Secara umum bentuk kehidupan Orang Rimba tidak jauh berbeda dengan beberapa komunitas masyarakat adat terpencil yang ada di Indonesia. Kehidupannya masih bersifat nomaden (mengembara) atau semi nomaden (setengah menetap) dengan bentuk mata pencaharian berburu dan meramu yang bersumber dari alam.11 Mereka tinggal secara semi nomaden di kawasan hutan Bukit 12 Propinsi Jambi. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya disebabkan oleh beberapa hal seperti: melangun, menghindari musuh, atau membuka ladang baru. Mereka tinggal di pondok-pondok yang mereka sebut sesudungon, yaitu bangunan sederhana yang terbuat dari kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam merupakan penyebutan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya Jambi. Penyebutan ini menggenarilisasi dua kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan. Kubu berasal dari kata ngubu atau ngubun dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri dari
beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal di pondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suku anak anak dalam biasanya melakukan kegiatan berburu atau meramu, menangkap ikan, dan memanfaatkan buah-buahan yang ada di dalam hutan namun dengan perkembangan zaman dan adanya akulturasi budaya dari masyarakat luar, kini beberapa suku anak dalam telah mulai mengenal pengetahuan tentang pertanian dan perkebunan.
Budaya Orang Rimba
Rumah Di Tano Artinya rumah di atas tanah, merupakan tempat hunian orang rimba yang di diami oleh satu bubungon (sekeluarga). Rumah ini terdiri dari hatop (atap) dari daun Serdang/benal, tiang hatop ( tiang atap) dan glogo (kayu alas rumah) dari kayu-kayu di hutan. Alas rumah di buat dua tingkat lantai, lantai atas tempat bepak (bapak), anak laki-laki dan tamu laki-laki, sedangkan lantai bawah tempat induk (ibu), anak perempuan dan tamu perempuan. Ketika anak laki-laki dan perempuan beranjak dewasa, di wajibkan untuk membuat rumah sendiri, susudungon kekulopon (rumah remaja laki-laki) dan susudungon keupikon (rumah remaja perempuan).
Perkawinan
Dalam hal perkawinan suku anak dalam memiliki aturan tertentu misalkan, calon pengantin laki-laki juga harus melengkapi syarat perkawinan yaitu; mas kawin (berupa kain panjang atau kain sarung sebanyak 140 lembar), bahan makanan/ selemak-semanis (ubi, beras, dan lain-lain), dan lauk-pauk (berupa daging binatang hasil buruan). perkawinan bisa dilaksanakan bila semua persyaratan telah terpenuhi dan diselesaikan oleh calon pengantin laki-laki. Syarat lain yang harus dipenuhi sebagai bagian dari sahnya perkawinan adalah ujian ketangkasan. Calon pengantin laki-laki harus menunjukkan ketangkasannya, seperti; ia harus dapat meniti kayu yang telah dikupas kulitnya (licin) dan atau membangun balai 1 (bangsal) dalam waktu setengah hari dan dikerjakan sendiri. Jika ia dapat melakukannya, maka dianggap lulus dan perkawinan dapat dilangsungkan. Akan tetapi, jika dia gagal, calon pengantin laki-laki masih diberi kesempatan untuk mengulanginya pada hari berikutnya.
Melantak
Adalah memanjat pohon sialang yang ada sarang lebah untuk di ambil madu nya. Rata-rata tinggi pohon sialang 100 meter. Untuk memanjatnya orang rimba terlebih dahulu membuat “lantak” (pasak) dari kayu yang berfungsi sebagai tangga. Kemudian lantak disalai ( di keringkan) agar menjadi ulet dan kuat. Melantak di laksanakan pada malam hari agar si pemanjat aman dari sengatan lebah. Lantak ditancapkan ke pohon dengan jarak sesuai
dengan pijakan si pemanjat. Selama pemanjatan, rombongan bernyanyi melantunkan pantun yang berisikan mantra-mantra, agar si pemanjat kebal terhadap sengatan lebah. Bagi orang rimba, pohon sialang sangat berharga, memiliki nilai sama dengan “sebangun nyawo “, artinya sama dengan seorang manusia apabila ada orang yang menebang pohon sialang tanpa seizin pemiliknya, maka di denda mebayar sebangun nyawo berupa 500 lembar kain
Orang rimba
Merupakan satub kelompok masyarakat tradisional di provinsi Jambi dan biasa juga di sebut suku anak dalam (SAD). Mereka memiliki kearifan terhadap hutan; menjaga, memelihara, dan melestarikan sambal memanfaatkan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Hutan merupakan kawasan hidup, sekaligus sumber penghidupan mereka. Berladang, berburu, dan mencari hasil hutan non kayu lainnya merupakan aktivitas rutin yang mereka lakukan setiap hari.
Keunikan orang rimba adalah pola hidup berkelana atau di kenal dengan istilah mobilitas residential, yakni berpindah dari satu lokasi lain, diikuti perpindahan tempat tinggal dengan membawa semua dfasilitas hidup. Mekanisme perpindahan ini dalam Bahasa mereka di sebut melangun atau tabu kematian.
Mobilitas ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan. Seperti rotan, jemang, jelutung di daya gunakan sesuai dengan siklus waktunya. Karna itu orang rimba sering berpindah tempat yang di sebut dengan merayau. Karena pola kehidupanya yang demikian, orang rimba tidak memiliki kebudayaan materil yang spesifik sebagai mana di miliki suku lain, seperti asmat.
Dengan keunikan nya itu, mereka membagi secara tegas dunia rimba dengan dunia terang yang di control oleh bermacam larangan; tabu makan ternak dan tanaman orang terang.
Masa Klasik
Berita pertama tentang Jambi datang dari kitab sejarah Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan kerajaan Mo-lo-yue ke Cina pada tahun 644 dan 645 Masehi (Pelliot 1902:324). Nama Mo-lo-yeu ini dapat dikaitkan dengan sebuah kerajaan tua bernama Malayu di pantai timur Sumatera yang berpusat di sekitar kota Jambi (Sartono Kartodirjo 1976:51). Negeri ini menghasilkan lada dalam jumlah besar, berita Arab masa pemerintahan Khalifah Muawiyah (661-681) menyebutkan, dikatakan bahwa bandar lada terbesar di Sumatera bagian selatan terletak di Zabag Sribusa. Semula nama tersebut diduga identik dengan Sriwijaya (Krom 1931), namun para pengamat sejarah akhir-akhir ini lebih condong menyamakan Zabag dengan daerah Muara Sabak, sebuah daerah pesisir sekitar 46 kilometer sebelah timur Muarajambi (Satyawati Suleiman 1976:87). I-tsing seorang pendeta buddha mengisahkan bahwa pada tahun 671 M dia tinggal untuk sementara di Mo-lo-yeu sambil memperdalam bahasa sansekerta ketika dalam perjalanan dari Kanton sebelum ke Nagapattam di India. Kemudian I-tsing singgah lagi di Mo-lo-yeu ketika pulang dari India pada tahun 685 M.
Jalur-jalur dagang dan pusat perdagangan tumbuh berkembang dengan memanfaatkan jalur sungai yang banyak ditemukan di wilayah ini. Tidak terbatas dilakukan di sepanjang Sungai Batanghari, namun juga anak sungainya hingga sampai pedalaman. Komoditi lokal seperti madu, kayu gharu (Gharuwood), damar, gading, serta emas yang didapat dari hasil mendulang (goldwashing) menjadi komoditi andalan pada waktu itu.
Emas yang sangat banyak ditemukan di sepanjang aliran Sungai Batanghari menjadi populer di kalangan pedagang asing yang kemudian menberi nama “Swarnabhumi” atau “Swarnadwipa” yang berarti pulau emas. Kemajuan Jambi pada masa klasik terlihat dengan ditemukannya Kawasan Percandian Muarajambi, yang terletak di tepi Sungai Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi.
Masa Kesultanan Jambi
Secara geografis, Kesultanan Melayu Jambi berkembang di wilayah cekungan aliran Sungai Batanghari, yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera. Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya ke hulu merupakan tulang punggung transportasi dan perekonomian wilayah Jambi sampai ke pedalaman. Perkembangan Kesultanan Melayu Jambi terbantu dengan pertumbuhan dan mitra perdagangan di perairan dunia Melayu pada abad ke-16 M. Ekspor dan impor perdagangan Jambi cukup intens dengan Johor, Singapore, dan Siam (Thailand). Sejak pertengahan abad ke-16 M, Kesultanan Melayu Jambi melakukan kegiatan perdagangan rempah besar-besaran dengan Portugis, Inggris dan VOC (Belanda).
Kesultanan Melayu Jambi memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Wilayah Jambi sangat di untungkan oleh aktifitas perdagangan yang berkembang saat itu. Kesultanan Melayu Jambi disinggahi oleh negara-negara asing, karena letaknya yang sangat strategis yaitu di wilayah Timur Sumatera yang dekat dengan Selat Malaka. Pada tahun 1615 M sampai
1643 M Kesultanan Melayu Jambi berada dibawah pemerintahan Sultan Abdul Kahar, sistem perdagangan di perairan sungai Batanghari semakin aktif. Hal ini ditandai dengan berdirinya loji dagang Belanda di Muara Kumpeh. Bagi rakyat Kesultanan Melayu Jambi perdagangan mendatangkan kemakmuran, hasil pertanian mereka dengan mudah di ekspor keluar melalui perairan Sungai Batanghari
Sebelum kedatangan bangsa Barat, Jambi telah dikenal sebagai penghasil lada dan hasil hutan. Lada Jambi ini pula yang menarik perhatian bangsa Barat datang ke Jambi. Dari pertengahan tahun 1550 M hingga akhir abad ke-17 M, Kesultanan Melayu Jambi diuntungkan oleh perdagangan lada. Pada 1670 M Kesultanan Jambi sama berpengaruhnya dengan wilayah-wilayah tetangganya seperti Kesultanan Johor dan Palembang. Seiring dengan merosotnya perdagangan lada dan mulai ditanamnya karet secara-besaran yang didukung oleh oleh Pemerintah Kolonial Belanda, mulai awal abad ke 20 Jambi muncul sebagai daerah penghasil dan pengekspor karet yang penting di Nusantara.
Pada naskah yang berbahasa Melayu beraksara jawi (Arab Melayu gundul) di ceritakan kisah kedatangan Akhmad Salim atau Akhmad Barus II yang semula akan ke pulau Jawa. Dari Turki, dua beradik kapalnya di terjang badai di perairan selat malaka dan terdampar di pulau yang berada di ambang ujung Jabung. Pulau ini oleh para petani di kenal sebagai Pulau angker atau Pulau hantu, sehingga banyak sesaji dan patung-patung untuk keberkahan keselamatan bagi para pelaut yang melewatinya. Kapal sang adik tercampak ke pulau Jawa di selamatkan Ratu Majapahit sedangkan Akhmad Salim/Akhmad Barus II setelah terdampar di pulau dan menghancurkan berhala-berhala di sana, di ajak berdiam di Istana. Singkatnya maka nikahlah dia dengan penguasa Jambi dank arena sikapnya menghancurkan berhala, mendapatkan gelar Paduko Berhalo
Sampai pertengahan abad ke-15 sepertinya Jambi masih sepi dari tinggalan Artefak dan bukti kesejarahan Islam. Munculnya Akhmad Salim atau Akhmad Barus II yang kemudian di kenal dengan gelar sebagai Datuk Paduko Berhalo, barulah di toreh sebagai awal bertapaknya kerajaan Melayu Islam.
Kesultanan Melayu Jambi dengan dinamika perdagangan Lada dan karetnya, menngungkapkan bahwa Jambi memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Kekayaan alam, hasil pertanian dan perkebunannya terutama lada dan karet memberikan dampak yang sangat besar bagi kemakmuran rakyat Jambi dan jadi daya tarik bangsa asing untuk melakukan perdagangan ke Jambi. Pasang naik dan surut perdagangan lada dan karet di Jambi membuktikan bahwa Jambi memainkan peran penting dalam kancah perekonomian nusantara maupun mancanegara.
Masa Kolonialisme
Awalnya kedatangan Belanda ke Jambi sama seperti ketika mereka datang ke daerah-daerah lainnya di Indonesia yaitu untuk berdagang terutama rempah-rempah. Di tahun 1615 kapal dagang Belanda Wapen Van Amsredam di bawah pimpinan Abraham Streck untuk pertama kalinya tiba di Jambi.
Abraham Streck berhasil mengambil hati Sultan Jambi dan diizinkan mendirikan loji didaerah Muaro Kumpeh. Loji bagi Belanda sebenarnya lebih berfungsi sebagai benteng menyusun kekuatan yang nanti bila sudah waktunya akan digunakan untuk menyerang Kesultanan Jambi ketimbang sebagai kantor dagang.
Hadirnya Loji di Muara Kumpeh menandai dimulainya babakan baru dalam kehidupan masyarakat Jambi yang selama ini hidup dalam keadaan aman dan tentram kemudian berganti dalam suasana tidak tenang, cemas, gelisah karena monopoli dagang yang dipaksakan oleh Belanda. Masyarakat tidak lagi bebas menjual hasil buminya ke bangsa lain tapi harus kepada Belanda dengan harga murah. Hal ini lama kelamaan menimbulkan kebencian dihati masyarakat Jambi.
Ketidaksenangan terhadap Belanda tidak hanya dirasakan dikalangan masyarakat saja tetapi juga dilingkungan pembesar keluarga kesultanan Jambi. Dibawah pimpinan Sultan -Sultan Jambi, rakyat melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dimulai dari Sultan Abdul Kahar (1615-1643) sampai Sultan Thaha Syaifuddin yang gugur tahun 1904 di Betung Berdarah kabupaten Muaro Tebo. Suatu perjuangan panjang yang banyak menimbulkan pengorbanan tidak hanya harta benda tapi juga jiwa dan raga.
Kehadiran pedagang asing termasuk VOC dan kemudian pemerintah Kerajaan Belanda sebagai bukti kuatnya daya tarik tersebut. Dari perdagangan bebas sampai monopoli perdagangan yang dilakukan VOC dilanjutkan dengan kolonialisme kerajaan Belanda telah mewarnai sejarah Jambi yang penuh semangat patriotisme dan nasionalisme dalam upaya mensejahterakan masyarakat serta mempertahankan kedaulatan dan jati diri.
Epilog
Peradaban Melayu Jambi dengan dinamikanya memiliki sejarah yang Panjang, mulai dari prasejarah, melayu kuno, masa klasik, masa kesultanan, masa kolonialisme dan hingga kini memberikan gambaran kepada kita bahwa kebudayaan orang melayu Jambi memiliki keunikan dan budaya yang tinggi dan warna tersendiri memberikan pengaruh yang besar dalam perkembangan peradaban di nusantara maupun mancanegara.
Kebudayaan Melayu yang terbuka, akomodatif dan adaptif dengan nilai agama, adat dan tradisi yang dikandungnya telah teruji dalam membangkitkan semangat penyertaan masyarakat pendukungnya dalam pembangunan bangsa. Karena itu nilai-nilai itu dirasa perlu untuk terus dipelihara serta ditumbuhkembangkan dan disosialisasikan guna memacu pertumbuhan masyarakat, terutama dibidang budaya, ekonomi dan sumber daya manusia. (*/HN)