Sanggar Pinang Selayang, Pentas Seni Musik dari Tradisi Dinggung Kabupaten Muarobungo
5 min readJAMBIDAILY SENI, Budaya – Pentas Seni Musik dari Tradisi Dinggung Kabupaten Muarobungo dipergelarkan Sanggar Pinang Selayang di Gedung Teater Arena, taman Budaya Jambi (Minggu, 13/11/2022).
Penanggung jawab: M. Ali Surakhman, Pimpinan produksi: Zam Zami Akbar, Pemusik: Afriansyah Putra, Zidan Aok, Andi Muharam dan Ahmad Junaidi.
Pentas ini diselenggarakan Pemerintah provinsi Jambi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jambi UPTD Taman Budaya Jambi, didukung penuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dirjen Kebudayaan dalam bingkai Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dalam undang-undang pemajuan kebudayaan seni merupakan bagian dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan, yang perlu mendapat pengkajian dan pengembangan sesuai dengan strategi pemajuan kebudayaan. Seni yang dimaksud dalam undang-undang pemajuan kebudayaan adalah ekspresi artistik individu, kolektif, atau komunal, yang berbasis warisan budaya maupun berbasis kreativitas penciptaan baru, yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan dan/atau medium.
Seni tradisional mampu menembus zaman, dalam sebuah perjalanan waktu yang sangat panjang dan hadir di era sekarang ini, tak dapat dipungkiri bahwa itu adalah hasil kerja keras yang dilandasi oleh pemikiran mendalam serta kreativitas dari orang-orang yang peduli.
Konsep upacara dalam pergelaran ini menurut Kepala Taman Budaya Jambi, Eri Argawan Sesuai kesepakatan seniman, bahwa tahun 2022 semua karya eksperimentasi, pengolahan dan Apresiasi di Taman Budaya Jambi wajib bertema Upacara.
“Inilah program pengembangan seni tradisional, kegiatan pembinaan kesenian yang masyarakatnya pelaku lintas daerah kabupaten/kota pada sub kegiatan peningkatan kapasitas tata kelola lembaga kesenian tradisional dan sub kegiatan peningkatan pendidikan dan pelatihan SDM kesenian tradisional,” Tandas Eri Argawan.
Karya ini berangkat dari Sastra Lisan Dinggung, berdasarkan hasil kajian vitalitas mengalami kemunduran. Hal ini ditandai masih adanya penutur tradisi di atas sepuluh orang, tetapi semuanya berusia lanjut (di atas enam puluh tahun), diwarisi dalam keluarga, hanya beberapa generasi muda sudah menguasai pertunjukan, jarang ditanggap, masih digunakan dalam ranahnya, tidak ada aturan pelindungan, dan bersaing dengan sastra lisan yang lebih menarik.
Sastra Lisan Dinggung, warisan leluhur ini menunjukan kearifan masa lalu dalam menjaga ekosistem, untuk mengambil madu tidak harus menebang batang sialangnya. Akan tetapi sebelum madu sialang diambil terlebih dahulu diawali mempersiapkan perkakas, menentukan pemanjat batang sialang, mengajak bujang-gadis sebagai pengambil madu sialang rayo (kebiasaan di Desa Rantau Pandan), tuo gadih (mak gadis, induk gadis) mengajak gadis untuk mengambil madu sialang bersama-sama. Anak gadih berpamitan untuk mengambil madu, setelah disetujui oleh tuo gadis maka sudah bisa berangkat.
Sesampai di batang sialang, pemanjat mulai mempersiapkan perkakas seperti membuat tunam untuk mengusir sialang, menyiapkan tempat madu atau wadah, ambung sebagai perkakas untuk tempat barang-barang, tikar, rantang atau lengkat dan membersihkan di sekitar pohon.
Si pemanjat mempersiapkan pasak, menyiapkan liyeh atau tangga untuk ke atas pohon Induk atau tuo gadis bersama anak gadih mempersiapkan bekal kemudian membentang tikar dan membuat ungun api sebagai penerang. Pemasangan pasak, kemudian doa bersama, mengentam pohon sialang untuk memberi kabar kepada sialang yang ada di atas, apakah pohon itu sudah bisa dipanjat atau tidak.
Ketika pohon sialang itu siap dipanjat maka pohon sialang itu akan mengeluarkan bunyi dentuman (berdengung) tetapi jika tidak berdengung maka kita tidak diizinkan untuk memanjat pohon itu. Setelah dua atau tiga kali mendengar dentuman atau berdengung, kemudian kita tahu dan dapat memastikan bahwa mendapatkan izin untuk mengambil madu maka pohon sialang siap untuk dipanjat atau dipanen.
Sebelum memanjat pemanjat pohon membaca doa sambil mengelilingi pohon sialang agar terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Setelah keliling sekitar tiga kali maka mulai memanjat, prosesi memanjat itu juga membaca pantun bertujuan untuk menyapa, atau berpamitan terlebih dahulu. Setelah pamit juga ada pantun-pantun di bawah.
Saat memanjat tuo gadis mulai berdinggung dan bersaut berdinggung, sampai pada dahan jerambang maka ada pantun lagi artinya hampir sampai pada manisnya atau madu. Setelah pantun disampaikan barulah menuju dahan-dahan yang dihinggapi sialang.
Setelah sampai di dahan dia melihat lagi apakah ada madu, sudah manis atau tidak. Jika ada manisnya maka dia akan mengabari yang berada di bawah pohon. Kabar juga diberikan melalui pantun. Jika ternyata ada madu dan madunya banyak dan siap untuk dipanen maka mulailah dia meminta dikirim peralatan atau wadah melalui tali kemudian ditarik ke atas. Setelah sampai di atas maka proses pemanenan baru dimulai.
Proses turun dengan mengabari dengan bahasa kita sendiri, bahwa pengambilan madu sudah selesai, walaupun mungkin yang lain masih ada atau tersisa di atas maka dilain waktu dapat diambil kembali. Setelah sampai di bawah maka gadis dan tuo gadis mulai mengisi bekal rantang atau lengkang tadi diisi madu sebagi bekal mereka untuk pulang, jadi ketika sampai di rumah ada buah tangan disamping ada pembagian madu dari tuan pohon, pemanjat, bujang-gadis.
Jadi untuk bujang hanya membawa sebatas sampai tuan pohon. Jadi untuk mengantar ke rumah adalah gadis yang mereka ajak untuk bekerja di pohon sialang tadi. Jadi tanpa sepengetahuan bujang tadi madu sudah ke rumah masing-masing. Nilai gotong royong dan kerja sama, nilai kepercayaan, dan prosesi memanjat juga ada pantunya untuk menyapa lebah (sialang) yang bersarang.
Beranjak dari tradisi Ba-Binggung ini, kami membuat pengolahan dalam bentuk musik dan instrument, dengan mencoba membuat irama dan nada yang mengangkat keselarasan alam raya, bagaimana nilai nilai Badinggung dapat memberi kosmologi antara alam dan manusia, serta dengan sang Penciptanya.
Salah satu unsur budaya lokal yang masih bertahan adalah musik tradisional yang tumbuh dan berkembang secara turun-temurun di suatu daerah dan menjadi ciri khas suatu daerah. Memakai gaya bahasa dan melodi yang berbeda-beda serta alat musik tersebut terbuat dari bahan kekayan alam dengan menggunakan nada pentatonis.
Dalam hal ini, musik merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Menurut Koetjaraningrat (2000:19) kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan pancainderanya.
Sedang menurut Yunus (1995:2) kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang penting karena kesenian memiliki daya ekspresi yang dapat merefleksikan secara simbolik kehidupan batiniah, sebagai media komunikasi dan penyampain pesan. Seni sebagai “media komunikasi untuk berekspresi, untuk menyampaikan pesan, kesan, dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari lingkungannya. (*/HN)