21 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Nano Riantiarno, Wartawan yang Menjelma Jadi Legenda Teater Indonesia

3 min read

Nano Riantiarno, aktor yang sempat berkarier sebagai wartawan hingga menjadi legenda teater Indonesia dengan mendirikan Teater Koma. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)

JAMBIDAILY TOKOH – Aktor sekaligus pendiri Teater Koma Nano Riantiarno meninggal dunia pada Jumat (20/1). Kabar duka tersebut dikonfirmasi Almitra Pranawingtyas selaku menantu sang aktor.

“Iya betul. Tadi pagi, sekitar jam 7 lewat sedikit,” Almitra mengonfirmasi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/1).

Bernama asli Norbertus Riantiarno, pria kelahiran 6 Juni 1949 itu mengaku bergelut di teater sejak 1965 di tanah kelahirannya di Cirebon. Dalam wawancara bersama CNNIndonesia.com pada 2016, ia menceritakan awal mula ikut pementasan.

Usianya baru 16 tahun saat itu. Peran kecil di pementasan Caligula didapatnya berkat kemampuan menghafal naskah utuh, sekaligus menggantikan pemeran aslinya yang sedang sakit.

“Sepuluh hari saya digenjot sutradara, sejak itu pula tumbuh tekad saya untuk sekolah panggung,” kata Nano mengenang.

Setamat dari SMA pada 1967, Nano melangkahkan kaki ke ibukota dan melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta. Dia mengungkapkan saat itu dirinya merupakan generasi ke-lima bersama sineas Slamet Rahardjo.

Teguh Karya, senior sekaligus dosen Nano dan Slamet menjadi orang yang kemudian mengajaknya untuk ikut mendirikan Teater Populer pada 1968.

Dua tahun berjalan Teater Populer berubah haluan ke ranah film, merasa sudah tak sejalan dengan mimpinya di jalur teater, dia meminta izin untuk mundur dan berkeliling Indonesia sekitar enam bulan.

“Kalau ada kelompok teater saya masuk jadi pekerja. Di Nusa Tenggara salah satu teater bisa hidup tanpa uang,” ujar Nano.

Sepulang berkeliling, Nano bersama Ratna, yang kemudian jadi istrinya, serta saudaranya Saiful berencana untuk membuat kelompok teater sendiri. Kelompok itu yang didirikan pada 1 Maret 1977, kemudian dinamakan Teater Koma yang dikenal hingga kini.

Namun, ia sempat bekerja di media pada 1979 sampai 2004 dan memutuskan berhenti di usianya yang ke 55 tahun.
“Ditanya kenapa mundur? Saya mau nulis novel, ‘loh kenapa’, justru saat ini saya buat sandiwara, sandiwara tidak dihitung. Jadi sandiwara yang saya tulis mati-matian tidak dihitung sebagai karya sartra. Harus bikin novel dan puisi,” katanya.

“Saya tidak tahu itu diakui sebagai karya sastra atau tidak yasudahlah, umur sudah segini, akhirnya tidak penting juga. Novel tidak saya lanjutkan, tetap saya nulisnya sandiwara, terserah mereka mau mengakui sebagai karya sastra atau tidak silahkan saja,” kata Nano.

Nano Riantiarno tercatat telah mendapat sejumlah penghargaan berkat kiprah dan konsistensinya di panggung teater Indonesia.

Pada 1993, ia dianugerahi Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K, atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Lima tahun berikutnya, ia menerima Penghargaan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.

Menteri Pariwisata dan Budaya juga pernah memberikan Piagam Penghargaan sebagai Seniman dan Budayawan Berprestasi pada 1999. Di tingkat internasional, Nano meraih Sea Write Award dari Raja Thailand di Bangkok atas karyanya Semar Gugat pada 1998.

Nano yang juga dikenal sapaan kecil seperti Jendil dan Nakula itu sedikitnya sudah membuat 35 naskah panjang. Sementara, dirinya juga sudah menulis naskah sandiwara pendek untuk panggung dan televisi.

Tak hanya membuat naskah teater, Nano juga pernah sedikitnya menulis tiga buku kumpulan puisi, 25 naskah adaptasi, tujuh novel (limanya diterbitkan), 30 naskah film dan televisi. (CNN Indonesia)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 68 = 77