Teater Sebagai Alternatif Terapi Kesehatan Mental Bagi Remaja
3 min readOleh: Galuh Tulus Utama ( Dosen Seni Drama Tari dan Musik Universitas Jambi)
Pada hari ini kita melihat perilaku remaja yang tidak stabil dan tidak terkendali, seperti tawuran, baper (terlampau sensitif merespon suatu peristiwa), perundungan, depresi, mengonsumsi minuman keras, obat-obatan, hingga bunuh diri. Perilaku-perilaku yang menyimpang (abnormal) tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan metode pembelajaran teater. Pembelajaran teater tidak hanya fokus pada bagaimana memerankan suatu naskah di atas panggung saja melainkan juga bisa sebagai upaya memperbaiki diri untuk individu dalam mengendalikan emosi, cara bertingkah laku, dan menyembuhkan trauma. Teater menjadi medium alternatif bagi psikologis subjek dalam mengendalikan diri dan pemahaman terhadap bagaimana diri merespon seluruh gejala yang dialaminya.
Hal tersebut selaras dengan pendekatan metode teater miskin Jerzy Grotowski dimana pada pendekatan keaktorannya lebih menyeimbangkan tubuh-pikiran-batin. Ajaran teater Jerzy Grotowski menekankan pada kedalaman jiwa individu dalam memahami dirinya,. Bagian ini menjadi titik pijak yang sangat penting sebagai upaya individu memahami kesadaran secara utuh. Melalui pola kerja teaternya kita bisa melihat ajaran Via Negativa, yaitu ajaran manusia kembali ke titik nol. Ajaran ini menjadi laku bagi individu sekaligus melatih pemahaman dirinya secara utuh dengan mengikuti kelas-kelas pelatihan tubuh, konsentrasi, hingga pelatihan kesadaran. Tahapan pelatihan ini berfokus pada pengendalian impuls-impuls sehingga individu mengalami transenden. Energi yang dikeluarkan saat latihan cukup banyak, hal ini sebagai- upaya melahirkan empati. Empati adalah bagaimana individu mampu merasakan apa yang dialami oleh orang lain dari sudut individu itu sendiri. Penempatan individu dalam proses latihan ini menjadi bagian yang sangat penting, yakni bagaimana individu melihat dirinya pada posisi orang lain sehingga kepekaan terbangun pada batin individu itu sendiri,. Pengembalian ingatan emosional atau pemanggilan ulang pengalaman memori individu ini adalah metode untuk menyembuhkan dan meningkatkan kesadaran individu agar ia kembali mampu bisa bersosialisasi secara lebih bertanggung jawab.
Dalam memahami ajaran Via Negativa, ada tiga tahapan penting, yaitu Pertama adalah Teater Laboratory. Pada tahapan ini individu menerima berbagai masukan dan kritikan sebagai upaya membuka diri sekaligus menghilangkan topeng-topeng (kepalsuan). Tujuan tahapan ini agar individu mampu mengenal dirinya sendiri, yang pada akhirnya membuka batas antara ranah artistik, kehidupan, dan aktivitas manusia. Kedua Metode Kerja Parateater. Metode dalam sesi kedua ini berupa Pertukaran pengalaman antar individu. Individu diarahkan untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang selama ini telah dilakukannya. Pengakuan sebagai sarana bagi individu untuk memahami dirinya secara utuh sehingga dengan sadar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuknya. Sedangkan yang Ketiga, yakni Drama Objektif. Pada bagian ini, individu diarahkan untuk memahami tubuhnya secara utuh, sebagai penyeimbang terhadap energi yang berlebih. Pemahaman terhadap bentuk-bentuk tubuh yang dieksplorasi secara baik akan menimbulkan kesadaran bagaimana individu mengerti kondisi, batasan, dan perlakuan untuk tubuhnya tersebut. Metode tahapan dalam ajaran via negativa secara konseptual dan aplikatif bisa dicoba pada remaja yang sedang berada dalam kondisi kejiwaan yang tidak stabil. Upaya ini secara reflektif dan psikologis menjadi terapi subjek, sekaligus juga menciptakan kontemplasi dalam mengenali diri, baik secara fisik maupun psikologis.
Teater dalam ranah psikologis bukan sekadar hiburan atau praktik pemeranan belaka, melainkan juga menawarkan suatu ruang kontemplatif bagi penyembuhan diri. Melalui teater, subjek (remaja) bisa menjangkau hal-hal yang selama ini mustahil diperoleh di tengah euforia disrupsi dan pascamanusia. Pada titik ini, ajaran Via Negativa, menjadi suatu titik balik untuk kembali memposisikan substansi humanitas manusia sebagai subjek, sekaligus sebagai bukan apa-apa. Mungkin bisa disebut sebagai “yang lain bagi dirinya”, subjek kecil di tengah jagad yang luas (residu disrupsi digital), dan menjadi minor. Memposisikan diri (subjek-remaja) dalam metode yang dimaksudkan di atas adalah suatu bentuk strategi resistensi, menunda, dan menghentikan diri dari pusaran dunia yang memabukkan. Suatu bentuk penundaan terhadap semesta keganjilan, keabsurdan, dan kegilaan yang menghabisi humanitas. (*/)