Jelang Festival Gong Sitimang di Danau Sipin, Tim Kerja Mengikuti Program Pendampingan Kenduri Swarnabhumi
7 min readJAMBIDAILY SENI, Budaya – Komunitas dan Sanggar seni dari berbagai genre bersinergi di Kota Jambi yang akan menggelar Festival Gong Sitimang pada 4 s.d 6 Agustus 2023 di kawasan Danau Sipin.
Maka tim kerja sebelum pelaksanaan mendapatkan Program Peningkatan Kapasitas Rangkaian Pendampingan Kenduri Swarnabhumi 2023 Festival Gong Sitimang Kota Jambi yang berlangsung 3 dan 4 Juli 2023 dan diiikuti 40 peserta.
Kemenristek RI melalui Dirjen Kebudayaan menghadirkan 4 Pemateri, yaitu Wicaksono Adi (Dramaturgi dan Visi Festival Kebudayaan), Fauzan Mubarok (Tata Bunyi dan Sound Engineer), Dimas Jayasrana (Strategi Publikasi), dan Eko Prawoto (Tata Ruang dan Tata Artistik).
Festival Gong Sitimang turut mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Jambi melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Jambi, nantinya memiliki 4 kegiatan besar yaitu: Bersih-bersih Danau Sipin, Lomba Umbul-umbul, Bazar UMKM dan Pergelaran Teater secara kolosal.
Selain itu, direncanakan hal lain yaitu: Lomba mewarnai, Pembacaan Dongeng, Lomba Masak bertema Ikan, pameran karya Photograpy dan pemutaran Film pendek.
Kenduri Swarnabhumi dirumuskan sebagai rangkaian kegiatan bersama pada wilayah-wilayah Daerah Aliran Sungai Batanghari di Provinsi Jambi dan daerah hulu, Sumatera Barat. Kenduri Swarnabhumi dirumuskan melalui kesepakatan bersama unsur pemangku kepentingan kebudayaan di wilayah Provinsi Jambi, dengan berpijak pada penghormatan peradaban akuatik yang diwariskan nenek moyang kita.
Pada masa dahulu, peradaban dibangun di wilayah pesisir. Baik di pesisir laut maupun sungai, kebudayaan kosmopolitan terbangun melalui kontak antarkebudayaan berbeda, melalui aktifitas perdagangan, penyebaran agama, dan lain-lain, yang memungkinkan terbentuknya pusat peradaban itu. Sungai Batanghari yang berhulu di wilayah Sumatera Barat, membelah Provinsi Jambi, hingga bermuara ke Selat Malaka, di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sebagai sungai terpanjang di Pulau Sumatera, ia telah melahirkan pusat-pusat peradaban di masa lalu, yang peninggalannya kita warisi hingga masa kini.
Sayangnya peradaban modern mendasarkan dirinya pada industrialisasi dan percepatan. Demi semua ini, kebanyakan orang dibuat memunggungi laut, memunggungi sungai. Rumah-rumah masa kini biasa dibuat menghadap ke jalan, demi efisiensi masa kini. Kalaupun rumah dibuat menghadap ke sungai atau ke laut, itu demi panorama turistik, dan bukan karena mendasarkan dirinya pada peradaban akuatik.
Kenduri Swarnabhumi dirumuskan bersama antar pemangku kepentingan wilayah di Provinsi Jambi dan perbatasan Sumatera Barat, dengan berpijak pada penghormatan warisan leluhur. Kenduri Swarnabhumi juga diupayakan sebagai cara untuk menghidupkan kembali kebudayaan akuatik yang lebih arif dan ramah lingkungan.
Kota Jambi, pada periode 2023 mengajukan Festival Gong Sitimang, sebagai bagian dari rangkaian Kenduri Swarnabhumi 2023. Lokasi festival adalah tepian Danau Sipin berdekatan dengan situs Candi Solok Sipin. Pemilihan lokasi, tentu berkaitan dengan pijakan peradaban akuatik tersebut di atas. Danau Sipin adalah area serapan air bagi Kota Jambi masa kini.
Di masa lalu, diyakini Sultan Thaha bermukim di wilayah Danau Sipin, sebelum hijrah ke Tebo. Sementara Candi Solok Sipin jelas adalah peninggalan peradaban Hindu—Buddha masa lalu. Perairan Danau Sipin pada gilirannya menyatu dengan aliran Sungai Batanghari.
Festival Gong Sitimang, dirancang untuk mengundang para pemangku kepentingan dan unsur warga agar hadir dan merawat wilayah perairan danau. Kegiatan dimulai dari pembersihan lingkungan danau, ritus, hingga pertunjukan massal yang dirancang untuk membangkitkan kembali ingatan akan peradaban akuatik di Danau Sipin.
Lantas mengapa Danau Sipin?
Membaca korpus perjalanan panjang peradaban Melayu Jambi sebagai entitas kultural, keberadaan sungai Batanghari selalu meneguhkan narasi tentangnya. Seakan, hanya sungai Batanghari-lah satu-satunya penanda Melayu Jambi sebagai peradaban akuatik (perairan). Narasi-narasi yang berkembang lalu mengendap dalam ingatan kolektif generasi Melayu Jambi hari ini, seakan melupakan keberadaan bentuk perairan yang lain. Benarlah, jika simpul tersebut berpangkal dari uraian kajian bahwa seluruh peradaban akuatik di dunia mulai menapak pijakan perdana peradabannya di tebing-tebing sungai atau pesisir pantai. Namun, konsensus itu menjadi tidak sepenuhnya tepat, karena masyarakat Melayu Jambi, khususnya yang bermukim di Tanah Pilih-Kota Jambi hari ini-beroleh berkah kultural dengan keberadaan bentuk perairan lain, yakni Danau Sipin.
Batanghari adalah gerbang terbuka menuju lautan, yang menghubungkan bangsa Melayu Jambi dengan dunia luar yang jauh dan asing, juga sebaliknya. Sedangkan tebing-tebing sungai dan pesisir pantai adalah tanah-tanah persemaian peradaban baru yang dibawa kapal-kapal yang melemparkan jangkar, singgah. Keberadaan Danau Sipin menjadi sangat Penting. Ia seakan menjadi sela. Keberadaannya menjadi perantara, antara perairan dengan daratan yang lebih jauh ke dalam. Seakan ia menjadi penyaring awal bagi segenap apa yang singgah.
Maka terbayanglah hipotesisnya; pada malam-malam yang senyap, ketika manusia-manusia Melayu Jambi terlelap, sungai Batanghari memperbesar riak. Berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kapal membuang jangkar di perairannya tanpa sesiapa bisa mencegah. Lalu, riuhlah bumi Melayu Jambi keesokan harinya, beragam-ragam manusia turun ke daratan. Ada yang datang untuk berdagang, ada yang berbekal misi profetik dengan membangun rumah-rumah ibadah, ada juga yang sekadar mementaskan berbagai seni pertunjukan.
Bangsa Arab dan Persia membawa Zapin beserta marwas dan gambusnya; bangsa-bangsa Eropa memainkan akordion dan menggesek biolanya; Bangsa Cina dan Hindi beradu keterampilan tiupan seruling dan petikan kecapi. Di panggung lain, manusia Melayu memainkan alat-alat idiofon tembaga seperti gong, talempong, dan canang; atau berbahan kayu seperti gambang dan kelintang yang telah lebih dulu singgah. Kekayaan lain dari peradaban Melayu Jambi adalah khazanah tradisi lisannya, selain pantun, petatah-petitih dan seloko, juga berkembang tradisi naratif. Bahkan beberapa diantaranya, diyakini sebagai legenda bermulanya Tanah Pilih, tanah pilihan Orang kayo Hitam yang ngilir dari hulu sungai berbekal sepasang angsa (angso duo).
Legenda inilah yang kemudian dijadikan patokan lahirnya kota Jambi. Berkaitan dengan Danau Sipin, dalam keragaman kolektif masyarakat, ada legenda Cik Upik seorang perempuan kaya yang tak mampu menahan amarah, lalu menendang perahunya hingga tertelungkup. Maka jadilah daratan yang kemudian menjadi pembatas antara sungai Batanghari dengan Danau Sipin.
Setakat ini, maka sadarlah, melupakan Danau Sipin dari berbagai forum yang berbincang tentang kebudayaan Melayu Jambi sebagai peradaban Akuatik, merupakan kelalaian yang meninggalkan satu bagian puzzle dari kosmografi kultural Melayu Jambi itu sendiri. Sebab, bagi orang Melayu Jambi segala bentuk perairan adalah rumah bagi kebudayaan. Perairan tidak semata sebagai pusat pertemuan orang-orang Melayu Jambi dengan peradaban asing nan jauh hingga hari ini membumi jejak-jejak akulturasi, perairan juga berfungsi profetik, niaga, sumber informasi, hiburan (kesenian), dan lain sebagainya.
Hari ini, selain menjadi berkah kultural, keberadaan Danau Sipin juga menjadi berkah secara geografis. Danau Sipin adalah alarm bagi Kota Jambi jika air tersentak naik di hulu sungai Batanghari. Juga harus pulalah disadari bersama, bagaimana kota-kota besar lain terpaksa menggelontorkan dana yang banyak untuk pengadaan area serapan airnya, Kota Jambi tinggal mensyukuri atas pemberian Tuhan. Kondisi hari ini, tinggal Danau Sipin satu-satunya area serapan air jika terjadi banjir di Kota Jambi. Maka keberlangsungan dan kelestarian ekosistemnya harus selalu dijaga dengan pelibatan semua pihak, khususnya masyarakat yang tinggal di sekeliling Danau Sipin. Hal tak kalah penting adalah meningkatkan kewaspadaan masyarakat Melayu Jambi dengan agenda-agenda kapitalis atau bahkan arogansi penguasa yang bisa saja melenyapkan Danau Sipin dari peta seketika. Sekadar menolak lupa, pada suatu rezim yang berkuasa di Kota Jambi, Danau Sipin pernah hendak ditimbun dengan berbagai argumentasi yang mengada-ada.
Ingatlah, sejarah punahnya beberapa area serapan air yang lainnya di Kota Jambi. Bagaimana masyarakat Sungai Maram dan Sungai Asam hanya bisa geram ketika melihat konspirasi para pengemban amanah memancangkan tiang-tiang jerambah dan gedung-gedung megah. Maka lahirlah jembatan Makalam yang menjadi sekat berbagai kesenjangan sosial antara masyarakat dengan penikmat gedung-gedung inap yang tinggi. Anak-anak Kampung Manggis hanya menahan tangis ketika aroma amis udang, ikan dan lokan berganti menjadi aroma amis peradaban di beberapa spot hiburan malam.
Beberapa pemikiran di atas melahirkan gagasan yang akan dilaksanakannya Festival Gong Sitimang. Rencananya, seluruh rangkaian kegiatan akan dipusatkan Danau Sipin, Kota Jambi. Adapun bentuk kegiatan, yakni pertunjukan kolosal dengan pelibatan seniman-seniman dari beberapa komunitas dan genre seni, gerakan peduli Danau Sipin dengan konsep bersih-bersih danau, pameran dan bazar UMKM, serta Lomba umbul-umbul budaya yang melibatkan seluruh kelurahan yang ada di kota Jambi. Segala bentuk dan konsep kegiatan tersebut dibuat atas dasar pelibatan masyarakat sebagai subjek kebudayaan, bukan sebagai penonton. (*/)