Penjajahan Itu Dimulai dari Atas Meja Makan
6 min readOleh: Adhyra Irianto*
JAMBIDAILY JURNAL – Sejumlah catatan sejarah menyebutkan 1500 tahun sebelum masehi, pedagang dari Cina dan India membawa padi ke Indonesia dan mulai menanamnya. Tapi, padi yang dibawa varietasnya masih cukup sensitif dan kurang tumbuh dengan baik. Berikutnya, padi tercatat telah ditanam sejak era Majapahit, setidaknya hingga abad ke-13. Sampai saat itu, padi masih bukan makanan utama Indonesia. Makanan utama masyarakat Indonesia adalah thiwul, sagu, dan ubi-ubian (singkong, ubi jalar, dan sebagainya).
Kenapa padi masih belum menjadi makanan utama? Penyebabnya, seperti diungkapkan oleh sejarahwan dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Fadly Rahman bahwa beras yang ditanam di era Majapahit adalah beras dengan nama latin Oryza glaberrima yang berwarna hitam pekat. Setelah sekamnya terkelupas, bagian dagingnya berwarna kemerahan. Beras ini telah membawa pedas alami, sehingga banyak disukai oleh masyarakat sekitaran Afrika Barat. Tapi, tidak begitu menarik untuk menjadi makanan utama di Nusantara. Selain itu, beras ini juga lebih hancur, dan rapuh. Sagu masih memegang juara sebagai makanan utama. Sehingga makan “utama” di dalam bahasa Jawa masih disebut “nyego” (asal dari kata Sego yang berarti sagu). Saat makanan utama beralih ke padi atau nasi, masyarakat Jawa masih menyebut “sego” atau “nyego” hingga saat ini. Sedangkan di Jawa Barat, nasi disebut dengan sangu yang lebih dekat dengan kata “sagu” ketimbang “nasi”.
Makanan utama masyarakat Nusantara berganti ke nasi, dimulai sejak abad ke-18. Satu abad kemudian, nasi berhasil menjadi makanan utama mayoritas penduduk Nusantara. Saat itu, padi yang dibawa oleh pemerintah kolonial adalah jenis padi asal Cina dengan nama latin Oriza Sativa. Jadi, kita bisa simpulkan bahwa pemerintah kolonial yang melakukan ekspansi besar-besaran pertanian padi, dilanjutkan dengan sejumlah penelitian untuk menemukan varietas unggul. Hasil akhirnya adalah, makanan utama Nusantara berhasil diubah oleh pemerintah kolonial.
Apakah cuma perubahan sagu ke padi yang terjadi di atas meja makan kita?
Mayoritas masyarakat Nusantara, akan terasa kurang selera makannya bila tidak ada sambal di atas meja makan. Untuk menjadikan makanan terasa pedas, maka orang Jawa dulu menggunakan lombok atau sekarang disebut sebagai cabai jawa (nama latinnya piper retrofractum vahl). Cara mengolahnya adalah dengan dikeringkan terlebih dulu sampai berwarna kehitaman. Baru kemudian ditumbuk dan dicampurkan dengan makanan utama (saat itu masih sagu). Rasa pedas yang timbul disebabkan ada kandungan piperin sebanyak 4,6% persen.
Namun, kemana cabai jawa atau lombok itu sekarang? Cabai jawa dengan semua khasiatnya tersebut, sekarang menjadi bahan untuk membuat jamu. Sedangkan untuk makanan utama, diganti dengan cabai “capsicum annum L” yang tetap disebut “lombok”. Bila cabai jawa itu berasal dari genus “piper” (sirih) sirih, lada, pala, dan kemukus. Maka, cabai yang baru datang ini berasal dari genus “capsicum” (cabai). Bahkan keduanya berasal dari genus yang berbeda.
Cabai awalnya dibawa oleh Portugis, sekitar abad ke-16. Pelan-pelan, makanan yang tadinya berbahan dasar cabai jawa, berganti ke cabai yang sebenarnya berasal dari Amerika Selatan. Maka, cabai dan nasi menjadi “tamu” yang akhirnya menyingkirkan tuan rumah di atas meja makan kita.
Tentunya, makanan akan terasa kurang bila tidak ada yang digoreng di atas meja makan, bukan? Orang Indonesia terbiasa menggunakan minyak kelapa (bukan kelapa sawit!) untuk menggoreng makanan. Maka, abad ke-19, Belanda membawa kelapa sawit ke Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama di Nusantara itu dibuka pada tahun 1911. Tapi, orang-orang di Sumatera maupun Jawa masih terbiasa dengan mengoreng makanan menggunakan minyak kelapa.
Jadi, dimulailah black campaign. Ahli gizi dan ahli kesehatan kolonial menyebutkan bahwa minyak kelapa adalah sumber dari semua penyakit. Karena itu, perlahan-lahan minyak kelapa mulai ditinggalkan. Berganti dengan minyak kelapa sawit yang dibawa oleh Belanda. Meski telah berganti, masyarakat Indonesia tetap menyebutnya sebagai “minyak goreng”. Setelah itu, apapun gorengan yang dibuat, semuanya menggunakan kelapa sawit.
Baik, sampai saat ini, bahan-bahan makanan di atas meja sudah berganti. Tapi, masyarakat Indonesia masih duduk melingkar dengan daun pisang sebagai piringnya. Bangsawan Eropa adalah “kaum terhormat” dan makan di atas piring keramik. Sedangkan masyarakat Eropa yang sederhana, akan makan di atas piring kayu. Makan di atas alas daun pisang seperti banyak orang di Nusantara, dianggap tidak baik dan harus diubah.
Pelan-pelan, mayoritas penduduk Indonesia mulai terbiasa dengan makan menggunakan piring keramik. Meski keramik dan porselen sebenarnya banyak datang dari Cina, tapi piring berbahan keramik sebenarnya terpengaruh oleh “piring” Eropa (yang awalnya berbahan kayu). Sebelum ke keramik, orang Eropa telah mencoba almunium sebagai bahan piring mereka.
Belum cukup dengan piring, kebiasaan makan menggunakan tangan yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara juga dianggap tidak beretika. Di Eropa, bangsawan akan makan menggunakan sendok. Sendok mencerminkan status sosial yang tinggi. Semakin kaya seseorang, maka sendoknya akan semakin mewah dan dibuat dari bahan yang lebih mahal.
Garpu awalnya digunakan sebagai alat masak, setidaknya hingga abad ke-9. Awalnya, garpu diperkecil untuk membantu lebih mudah memakan mi. Abad ke-11, garpu dikaitkan dengan iblis, karena garpu besar yang dipegangnya. Namun, hal itu perlahan berubah, sehingga abad-abad berikutnya, garpu menjadi alat untuk makan, mendampingi sendok. Berikutnya, abad ke-16, garpu menunjukkan status sosial di Eropa. Maka, bangsawan di Indonesia mulai diajarkan di sekolah Belanda untuk makan menggunakan tiga serangkai ini: piring keramik, sendok, dan garpu.
Makan juga tidak bisa dilakukan dengan lesehan. Makan harus dilakukan di atas meja. Itu juga bukan meja biasa, tapi harus meja khusus untuk makan. Membicarakan meja makan, akan membicarakan pula dengan etika di atas meja makan dan tata hidang ala Eropa. Posisi duduk kepala keluarga, dan lain-lain juga diatur dengan aturan Eropa. Karena aturan itu artinya beretika, sedangkan masyarakat Nusantara saat itu dianggap oleh kolonial tidak beretika di atas meja makan.
Meja makan akhirnya menjadi budaya makan baru di Nusantara. Tidak ada makan lesehan, tidak ada alas daun pisang, dan makan dengan tangan lagi. Tidak ada sagu, cabai jawa, dan gorengan dari minyak kelapa lagi. Semuanya telah berubah, 100 persen. Maka, proses penanaman ideologi baru dimulai.
Tidak ada logika tanpa logistik, kata penganut pandangan ekonomistme. Thorstein Veblen mengatakan, manusia harus mampu menentukan sebuah proses ekonomi (dari produksi, distribusi, hingga konsumsi) didasarkan dari nilai kebudayaan dari lingkungan sekitarnya. Kolonial melihat hal tersebut dengan serius. Bukan sebuah proses ekonomi berdasar kebudayaan, tapi kebudayaan yang diubah dulu berdasarkan kebutuhan ekonomi. Kebudayaan “konsumsi” dimulai dari atas meja makan. Maka apapun produk yang disiapkan kolonial, masyarakat akan membelinya karena membutuhkannya.
Padi yang mereka ekspansi besar-besaran, cabai yang dibawa Portugis, minyak kelapa sawit, piring, garpu, sendok, dan sebagainya telah menjadi komoditi wajib yang harus dibeli masyarakat Nusantara. Apakah karena mereka butuh? Tidak begitu tepat. Karena, kebutuhan tersebut dikonstruksi dan didesain untuk membutuhkan hal itu.
Hingga hari ini, prosesnya masih sama. Bukan proses ekonomi yang disesuaikan dengan kebudayaan. Tapi, kebudayaan-nya yang dikonstruksi dan didesain agar cocok dengan produk yang disiapkan. Sejak era kolonial, Nusantara dibiasakan dengan konsep tersebut.
Karena itu, agar bisa menguasai suatu bangsa, semuanya dimulai dari menguasai perut mereka. Ketergantungan untuk urusan perut, akan merambah ke ketergantungan yang lain. Bagaimana ketergantungan dengan media sosial, game online, dan sebagainya.
*Catatan ini ditulis sebagai proposisi naskah teater berjudul Meja Makan. Dan artikel telah terbit di pojokseni.com