Ninik Rahayu: Penanganan Kekerasan Terhadap Pers dalam Liputan Pemilu Jangan Lebih 24 Jam
3 min readJAMBIDAILY JAKARTA – Dewan Pers berharap para jurnalis dan awak media mendapatkan dukungan penuh dari kementerian dan lembaga dalam menggali data dan informasi untuk publik. Penegasan itu dikemukakan Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, pada acara Dialog Pimpinan Lembaga: Mekanisme Respons Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Wartawan dalam Konteks Pemilu yang diselenggarakan Dewan Pers bekerja sama dengan UNESCO.
Ninik menambahkan, semua pihak tentu tidak menginginkan jurnalis dan awak media mengalami intimidasi atau kekerasan dalam menjalankan tugas liputan pemilu. “Kalau ada kekerasan atau intimidasi pada jurnalis dan awak media saat liputan pemilu, penanganannya harus lebih cepat dari 24 jam,” tutur Ninik, Senin (18/12) di Jakarta.
Ia juga mengajak semua pihak unutk memastikan tidak ada kekerasan terhadap wartawan. Sebaliknya, kata dia, kalau ada pemberitaan yang tidak patuh pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), itu artinya memang ingin memanipulasi informasi yang dibutuhkan oleh publik.
Menurut dia, masyarakat tidak lagi bodoh di tengah-tengah informasi yang banjir di media sosial. Ia pun mengingatkan, informasi yang disampaikan melalui media sosial bukanlah berita kecuali hal itu disajikan dan punya tautan dengan perusahaan media.
“Pers memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap informasi. Pers akan memastikan agar informasi yang diberikan adalah berita yang mengandung karya jurnalistik berkualitas,” paparnya.
Ia mengakui, dalam praktik di lapangan terkadang para jurnalis ada yang mengalami hambatan. Tidak menutup kemungkinan hambatan-hambatan itu diikuti dengan intimidasi dan kekerasan. Padahal fungsi pers adalah memberikan informasi, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial terhadap pelaksanaan demokrasi dan tugas-tugas pemerintahan.
Sedangkan anggota Dewan Pers, Asep Setiawan, dalam paparannya mengutarakan, pada survei terhadap 138 wartawan di 17 provinsi tiga bulan lalu ditemukan data beberapa hambatan terhadap wartawan. Sebanyak 36,9% mengaku pernah mendapat intimidasi atau ancaman terkait pemberitaan pemilu. Sekitar 32% tidak mengalami intimidasi atau ancaman. Sedangkan sisanya mengalami pelarangan liputan (15,6%), kekerasan fisik (6,6%), perampasan alat liputan (4,1%), dan serangan digital (3,3%).
Pelaku tindak kekerasan/intimidasi terhadap jurnalis, ujar Asep, juga bervariasi. Ada kekerasan yang dilakukan oleh timses/partai (33,3%), tidak tahu (29,4%), kandidat (11,9%), simpatisan (7,1%), penyelenggara pemilu (5,6%), dan preman/orang suruhan (4%).
Para jurnallis yang menjadi responden, kata Asep, umumnya juga menghendaki adanya perlindungan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Sebanyak 58% berharap ada pengamanan dan perlindungan, 45% mengharapkan pedampingan dan bantuan hukum, 9% memerlukan layanan pemulihan. Sedangkan sekitar 21% tidak membutuhkan apa-apa.
Dalam acara dialog tersebut hadir anggota Dewan Pers, Totok Suryanto; Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispen AU), Marsma Agung Sasongkojati; Kadispen AL, Marsekal Pertama I Made Wira; Kadispen AD, Brigjen K Sianturi; dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan. Hadir pula anggota Komnas HAM, Pramono Ubaid Tontowi; dari Komnas Perempuan, Olivia Salampessy, dan Kabag Humas Komisi Pemilihan Umum, Reni Rinjani, dan perwakilan kosntituen Dewan Pers. (*/dewanpers.or.id)