Zoon Politicon dan Kekuatan Bahasa
6 min readOleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
Tenaga Ahli Gubernur Bidang Tata Kelola Pemerintahan
Zoon politikon adalah frasa Yunani yang diterjemahkan sebagai “makhluk politik” atau “hewan politik.”
Frasa ini berasal dari pemikiran Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno dalam karyanya Politika.
Aristoteles menggunakan konsep ini untuk menjelaskan sifat esensial manusia yang hidup dalam masyarakat dan memiliki kecenderungan alamiah untuk berinteraksi dalam kehidupan bersama.
Secara harfiah, zoon politicon menggarisbawahi pandangan bahwa manusia, sebagai makhluk sosial, tidak hanya eksis sebagai individu yang hidup sendiri, tetapi juga sebagai anggota komunitas yang terlibat dalam interaksi sosial yang kompleks.
Konsep ini merangkum ide bahwa manusia secara alamiah cenderung hidup dalam suatu bentuk organisasi sosial, berpartisipasi dalam kehidupan bersama, dan terlibat dalam aktivitas politik.
Bentuk interaksi sosial seperti dialog, berjabat tangan, tanya jawab, dan kerjasama telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia.
Namun, pergeseran zaman ke era digital membawa dimensi baru dalam interaksi sosial.
Dalam dunia maya, pertukaran komunikasi telah meluas, memungkinkan manusia berinteraksi tanpa memerlukan kehadiran fisik. Panggilan suara atau video melalui telepon serta pengiriman pesan melalui aplikasi adalah contoh konkret dari evolusi cara interaksi sosial.
Di tengah kompleksitas interaksi ini, pernyataan filosofis bahwa manusia mempermainkan bahasa dan sekaligus dipermainkan oleh bahasa memberikan perspektif mendalam.
Gagasan ini melibatkan pemikiran umum tentang peran bahasa dalam kehidupan manusia, sering kali dikaitkan dengan konsep zoon politicon Aristoteles, dan ditemukan dalam pemikiran beragam filosof dan teori linguistik.
Pernyataan ini mencerminkan keunikan manusia dalam menggunakan bahasa dan mengeksplorasi bagaimana bahasa membentuk dinamika kompleks interaksi sosial. Dalam proses ini, manusia juga dapat dipengaruhi dan terbentuk oleh bahasa itu sendiri. Ada beberapa cara untuk memahami pernyataan ini:
1. Kemampuan Manusia untuk Memanipulasi Bahasa: Manusia memiliki kemampuan unik untuk menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyusun kata-kata, merancang kalimat, dan menciptakan narasi. Dengan kata lain, manusia dapat memanipulasi bahasa untuk menyampaikan pesan atau menciptakan efek tertentu dalam komunikasi.
2. Pengaruh Bahasa terhadap Manusia: Di sisi lain, pernyataan tersebut juga menyoroti bahwa bahasa memiliki kekuatan untuk memengaruhi pandangan dunia, membentuk persepsi, dan bahkan mempengaruhi tindakan manusia. Bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk membentuk budaya, norma sosial, dan identitas kolektif.
3. Kesadaran akan Permainan Bahasa: Pernyataan tersebut juga mencerminkan kesadaran bahwa dalam berkomunikasi, terdapat unsur permainan atau strategi dalam penggunaan bahasa. Manusia sering kali memilih kata-kata dengan hati-hati untuk mencapai tujuan tertentu, baik itu untuk meyakinkan, mempengaruhi, atau bahkan memanipulasi.
4. Penggunaan Bahasa dalam Konteks Politik atau Sosial: Dalam konteks politik atau sosial, bahasa dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik, mengubah naratif, atau bahkan mengontrol pemikiran kolektif.
Oleh karena itu, manusia dapat menjadi “pemain” dalam arena bahasa ini, sementara juga menjadi “korban” dari pengaruh bahasa yang digunakan oleh orang lain.
Dengan demikian, pernyataan tersebut menyoroti kompleksitas hubungan antara manusia dan bahasa, di mana manusia tidak hanya menjadi pengguna bahasa tetapi juga terbentuk oleh dinamika bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa menjadi kendaraan bagi manusia untuk menyampaikan gagasan, nilai, dan pengalaman mereka kepada orang lain.
Kemampuan untuk mengolah kata-kata, membangun kalimat, dan menciptakan narasi memberikan manusia kekuatan untuk memahami kompleksitas dunia, merancang masyarakat, dan mengembangkan budaya.
Dengan bahasa, manusia dapat mentransmisikan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menciptakan warisan budaya yang kaya.
Dalam pandangan Aristoteles, manusia adalah makhluk politik yang terlibat dalam interaksi sosial kompleks, dan bahasa adalah instrumen sentral yang membentuk dinamika hubungan sosial dan politik mereka.
Bahasa, sebagai alat komunikasi utama, menjadi fondasi dari interaksi manusia dalam masyarakat politik. Manusia tidak hanya individu yang hidup sendiri tetapi juga anggota komunitas yang berinteraksi, berdiskusi, dan saling memengaruhi.
Dalam konteks politik, misalnya, bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk memanipulasi opini publik, mengendalikan naratif, dan memanfaatkan kekuatan politik.
Tentu, ada banyak aspek yang dapat dijelajahi terkait pemikiran Aristoteles tentang manusia sebagai “zoon politicon” dan peran bahasa dalam kehidupan sosial.
Salah satu hal yang dapat ditekankan adalah hubungan antara bahasa dan kebijakan publik. Dalam masyarakat politik, kebijakan publik sering kali diartikulasikan melalui bahasa.
Bahasa digunakan untuk merancang undang-undang, menyampaikan visi politik, dan merinci program-program pemerintahan.
Dalam hal ini, pemilihan kata, penekanan, dan nuansa bahasa dapat memiliki dampak besar pada cara masyarakat memahami dan merespons kebijakan.
Selain hubungan bahasa dengan kebijakan publik, kita juga dapat menjelajahi bagaimana peran bahasa berubah seiring waktu dan kemajuan teknologi.
Dalam dunia modern yang terus berkembang, teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah lanskap komunikasi manusia secara signifikan.
Penggunaan media sosial, misalnya, memberikan platform baru untuk ekspresi dan interaksi publik.
Bahasa yang digunakan di media sosial seringkali lebih singkat, cepat, dan dapat memiliki dampak yang besar dalam menyebarluaskan informasi.
Tren “meme” dan kata-kata kunci (hashtags) menjadi bagian dari bahasa digital yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk opini publik.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa bahasa tidak hanya bersifat statis tetapi dinamis.
Perubahan dalam teknologi komunikasi membentuk cara kita menggunakan dan memahami bahasa.
Sementara teknologi memberikan kemungkinan baru untuk menyampaikan pesan dan berinteraksi, juga membawa tantangan baru terkait kebenaran informasi, privasi, dan etika komunikasi.
Salah satu hal yang menarik untuk dipertimbangkan adalah bagaimana bahasa tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga dapat menjadi alat untuk mengubah realitas itu sendiri.
Dalam politik, retorika memiliki peran kunci dalam mempengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat.
Pemimpin politik dan orator yang mahir dapat menggunakan bahasa untuk merancang naratif yang memotivasi, menginspirasi, atau bahkan memobilisasi massa.
Dalam hal ini, bahasa bukan hanya sebagai cermin yang mencerminkan ide dan nilai, tetapi juga sebagai pendorong perubahan sosial dan politik.
Sejarah menunjukkan bahwa pidato-pidato besar dan kata-kata yang kuat memiliki potensi untuk menjadi pemicu perubahan sosial yang signifikan.
Bahasa yang digunakan untuk memperjuangkan hak asasi manusia, kesetaraan gender, atau perubahan sosial lainnya, dapat menjadi kekuatan penggerak bagi gerakan-gerakan penting.
Namun, perlu diakui bahwa kekuatan bahasa juga bisa disalahgunakan, terutama dalam konteks politik, seperti dalam propaganda atau retorika yang menyesatkan.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengembangkan pemahaman kritis terhadap bahasa yang digunakan dalam wacana politik. Mampu membedakan antara komunikasi yang jujur dan manipulatif menjadi esensial dalam menjaga integritas informasi.
Dalam pemikiran Aristoteles tentang manusia sebagai zoon politicon, bahasa muncul sebagai pilar utama dalam kehidupan sosial dan politik.
Bahasa tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai kekuatan yang membentuk pandangan dunia, mendefinisikan kebijakan publik, dan bahkan menjadi sarana untuk memperjuangkan perubahan sosial.
Namun, dengan kekuatan tersebut, muncul juga tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa secara bijaksana, etis, dan bertanggung jawab.
Dalam era modern yang dipengaruhi oleh teknologi, bahasa terus beradaptasi, menciptakan tantangan baru dan peluang dalam dinamika masyarakat politik.
Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang peran bahasa dan kemampuan untuk menggunakan, memahami, dan menganalisis bahasa dengan bijaksana menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan berkeadilan.
Dengan demikian, melibatkan diri dalam analisis kritis terhadap bahasa tidak hanya merupakan kebutuhan intelektual, tetapi juga suatu upaya konstruktif untuk mencapai masyarakat yang lebih baik.***