Payung Terakhir: Politik dan Kritik
4 min readPayung Terakhir: Politik dan Kritik
Oky Akbar*
Payung merupakan alat pelindung badan supaya tidak terkena terik panas matahari atau hujan. Sampai di situ, fungsi payung dianggap selesai. Dalam pemanfaatan lainnya, payung dapat dimaknai beragam apalagi jika dimanfaatakan dalam pertunjukan teater. Tanggal 13 dan 14 Januari 2024, Teater Tonggak berkarya dengan judul Payung Terakhir. Payung (statis dan dinamis) menjadi properti utama pertunjukan. Karya Didin Siroz ini cukup menarik untuk diuraikan lebih jauh. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai respon atas pertunjukan Payung Terakhir.
Pertama, payung saya maknai sebagai simbolisasi perangkat hukum yang berfungsi melindungi atau menjadi dasar suatu aktivitas. Di atas panggung, peraturan dan undang-undang digantungkan pada sebuah payung yang berukuran agak tinggi. Payung itu saya anggap sebagai payung hukum. Dalam pertunjukan itu, tak seorang aktor pun menyentuh atau menyebutkan apa yang sudah tergantung di payung. Sutradara seperti sengaja membiarkan payung dan segala aturan tertulis di sana sebagai onggokan benda mati. Sutradara memberi pesan bahwa peraturan dan undang-undang (yang ada sekarang) hanya dijadikan sebagai aturan tertulis, pemanis tata kelola tanpa eksekusi nyata.
Kedua, payung saya maknai sebagai simbolisasi penghormatan. Payung yang digunakan kepada raja-raja, pejabat, dan petinggi negara misalnya. Dalam konteks itu, fungsi payung tidak sekadar pelindung dari panas atau hujan, tetapi sebagai penghormatan. Kadar penghormatan kepada raja dan pejabat negara berbeda dengan penghormatan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di lintasan balap. Dalam pertunjukan itu, simbolisasi penghormatan ditujukan bagi manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Penghormatan kepada manusia divisualisasikan dengan kemunculan pengantin laki-laki beserta rombongan dengan segala arakannya. Pengantin laki-laki dianggap sebagai sehari, sedangkan penghormatan kepada manusia yang telah meninggal divisualisasikan dengan pemayungan kepala jenazah yang hendak diantar ke pemakaman.
Ketiga, warna payung saya maknai sebagai simbolisasi keterwakilan partai politik. Semula, hanya tiga penari yang muncul dengan payung berwarna merah, kuning, dan hijau. Ketiga warna itu merupakan keterwakilan partai besar pada zaman orde baru, yakni PDI, Golkar, dan PPP. Setelahnya, barulah bermunculan warna-warna lainnya sebagai keterwakilan warna partai politik yang kita ketahui sekarang.
Keempat, payung dimaknai sebagai simbol protes. Di Hongkong dan Indonesia, misalnya. Payung (hitam) dijadikan sebagai simbol protes rakyat terhadap pemerintah. Kaitannya dengan pertunjukan ini, protes divisualisasikan dengan ‘pertarungan’ antar penari dengan penari, rakyat dengan rakyat atau rakyat dengan penari. Pertarungan tersebut menggambarkan keriuhan, keributan, kekisruhan antar partai politik. Gesekan kepentingan antar golongan justru menggerus kepentingan rakyat. Pada intinya, rakyat hanyalah penonton sandiwara partai politik.
Unjuk Rasa di Panggung “Payung Terakhir” Teater Tonggak Ingatkan Kita Akan Kematian
Semula, saya menduga pertunjukan ini mengarah kepada bencana banjir yang terjadi di Jambi. Pada awal pertunjukan, tokoh Pak Tua sedikit menyinggung persolan banjir. Namun, persoalan itu tidak diungkap selanjutnya, menguap begitu saja. Justru, sekelumit persoalan partai politik yang kemudian digagas oleh tokoh Anak Muda. Seterusnya, topik itulah yang menjadi permasalahan.
Saya memaknai, sutradara berupaya mengkomparasi persoalan banjir di Jambi dengan segala aturan yang sudah dibuat. Tentunya, aturan-aturan itu dibuat melalui mekanisme di lembaga-lembaga pemerintah yang digerakkan oleh partai-partai politik. Artinya, bencana banjir tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, tetapi juga karena kegagalan partai politik mengawasi implementasi peraturan yang ada. Oleh karena itu, kurang tepat rasanya jika bencana banjir hanya diarahkan atas kelalaian masyarakat. Pesan itulah yang saya tangkap.
Akan tetapi, dari keempat simbolisasi yang saya uraikan di atas, saya meyakini bahwa protes dan kritik terhadap partai politiklah yang menjadi tematik utama. Konstelasi politik pada masa pemilu hanyalah sandiwara telenovela, yang menjanjikan kisah berakhir bahagia. Akhirnya, rakyat larut di dalam premis-premis persoalan klise terkait menang kalah, lebih-lebih dapat ‘apa’. Rakyat telibat politik pratis. Di warung kopi, kantin, pos ronda, rakyat mendadak menjadi ahli politik yang serba tahu segalanya.
Payung-payung yang semula dipegang, kemudian digantung. Simbolisasi payung tergantung saya maknai sebagai kenyataan bahwa partai politik adalah ‘payung’, yang berfungsi sebagai pelindung dan melindungi rakyat. Partai-partailah yang menentukan kebijakan, keputusan, dan ketetapan aturan-aturan. Rakyat terpaksa memilih atau menetapkan pilihan pada partai mana akan berlindung. Akan tetapi, perlu disadari bersama bahwa payung-payung itu tergantung di atas ‘tanah’ yang sama. Payung mana pun yang menjadi pilihan sebagai tempat perlindungan, semoga benar-benar melindungi tanah kita bersama, hingga kembali ke tanah.
Payung Terakhir menyingkap persoalan duniawi yang tak berujung. Perebutan kekuasaan dan kehormatan hanyalah fragmen hiasan dunia. Persaingan antar partai politik untuk mendapatkan hati masyarakat justru membuat kita terkotak-kotak. Warna-warna kemudian menguat dan menghentikan silaturahmi dalam kekeluargaan yang beragam etnis dan suku. Padahal, keindahan pelangi dikarenakan kombinasi warnanya. Singkatnya, Payung Terakhir mengungkapkan kekecewaan bahkan terkesan antipati atau pesimis terhadap partai-partai politik.
*Penulis Ialah: Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jambi