Takjil Ramadan “Diburu” Semua Kalangan, Titik Temu Antar Agama
3 min readOleh: Khotib Syarbini, SHI
Fenomena “takjil diburu nonis” mencerminkan sebuah perubahan budaya yang menarik dalam masyarakat.
Tradisi takjil, yang dulunya dihadirkan secara khas oleh pedagang-pedagang muslim menjelang waktu berbuka puasa, kini telah menarik minat dari berbagai kalangan, termasuk non-Muslim, sebutan nonis.
Hal ini menunjukkan adanya inklusivitas dan saling penghargaan antaragama dalam masyarakat Indonesia.
Tradisi berbagi takjil sekarang telah menjadi semacam pemandangan umum yang meriah di sepanjang bulan Ramadan, di mana pedagang takjil bersiap menyajikan hidangan lezat bagi semua orang yang berpuasa, tidak peduli apa pun latar belakang agamanya.
Fenomena ini juga menunjukkan semangat persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat.
Ketika non-Muslim juga aktif mencari takjil untuk berbuka, itu bukan hanya tentang mencicipi makanan yang lezat, tetapi juga tentang membangun hubungan yang lebih dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja yang berpuasa.
Namun, kita juga perlu memastikan bahwa dalam mengadopsi tradisi takjil ini, kita tidak melupakan nilai-nilai asli dari Ramadan, seperti keikhlasan, kedisiplinan, dan kepedulian terhadap sesama.
Ini adalah kesempatan bagi kita semua, tidak hanya umat Muslim, untuk merenungkan makna Ramadan dan mendekatkan diri pada Tuhan dengan amal perbuatan yang baik.
Fenomena “takjil diburu nonis” merupakan contoh bagaimana budaya dan tradisi bisa menjadi titik temu antaragama dan menguatkan ikatan sosial dalam masyarakat.
Tradisi takjil, yang dulunya eksklusif bagi umat Muslim, kini telah melampaui batas-batas agama dan menjadi semacam perayaan kolektif yang menyatukan semua orang, termasuk non-Muslim, dalam semangat Ramadan.
Perubahan ini mencerminkan inklusivitas yang kuat dan rasa hormat antaragama dalam masyarakat.
Ketika non-Muslim turut serta dalam mencari takjil untuk berbuka, itu bukan hanya tentang mencicipi hidangan lezat, tetapi juga tentang membangun hubungan sosial yang lebih erat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja yang berpuasa.
Ini menjadi momen untuk merayakan kebersamaan dan saling berbagi dalam semangat persaudaraan yang menyentuh semua lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, sambil menikmati takjil, penting bagi semua orang untuk merenungkan makna Ramadan dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama.
Ini adalah contoh bagaimana budaya lokal dapat menjadi titik temu bagi semua orang, tanpa memandang agama atau latar belakang.
Dalam suasana Ramadan, semangat saling menghormati dan bekerjasama untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik menjadi semakin nyata.
Aktifitas ini menandai langkah maju dalam mewujudkan masyarakat yang inklusif, berempati, dan saling mendukung.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Quran Surah Al-Hujurat ayat 13
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.
Ini adalah gambaran positif dari pluralitas Indonesia yang kaya akan keberagaman dan toleransi antarumat beragama. (*)