Perjalanan Kemenangan Idul Fitri: Menggugah Spiritualitas, Emosi, dan Intelektualitas
4 min readOleh: Khotib Syarbini, SHI
Ketika Ramadhan berlalu, datanglah 1 Syawal yang menandakan datangnya Hari Raya Idul Fitri, yang juga disebut hari kemenangan bagi umat Islam yang sudah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan.
Ibarat menyambut para pejuang yang baru pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan, disambut dengan suka cita.
Demikian pula umat Islam dengan suka cita menyambut Hari Raya Idul Fitri tahun 2024/1445 H.
Namun muncul pertanyaan, kemenangan seperti apakah yang diraih oleh umat Islam hari ini?
Ada tiga bentuk kemenangan bagi umat Islam di hari raya ini.
Pertama,
kemenangan spiritual yakni kemenangan jiwa, jiwa yang menang adalah jiwa yang selalu bersih dan suci dari berbagai noda dan penyakit seperti syirik, sombong, hasad dan dengki, dan berbagai penyakit hati lainnya yang diharapkan melalui Ramadhan dapat terkikis habis.
Allah SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
“Sungguh telah menang dan beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)
Jiwa yang menang adalah jiwa yang selalu berupaya untuk membentengi diri dari berbagai bentuk penyimpangan dan penodaan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, dan itu adalah hakikat taqwa sesungguhnya yang ingin dicapai melalui ibadah puasa.
Apabila sifat taqwa itu sudah tumbuh subur dalam jiwa seseorang maka ia akan selalu rela dan senang hati untuk menerima dan melaksanakan aturan Allah, apapun konsekwensi yang akan dihadapinya, meskipun akan mengorbankan sesuatu yang paling dia cintai, atas nama cinta kepada Allah dan Rosulnya.
Jika itu berhasil ia lakukan maka saat itu ia sedang merayakan puncak kemenangan spritualnya.
Ada satu karakter jiwa yang ingin dibina oleh Ramadhan yaitu, jujur atau amanah.
Ibadah puasa adalah ujian bagi kejujuran kita, tidak ada yang mengetahui kepastian orang yang berpuasa selain daripada Allah SWT, berbeda dengan ibadah yang lain seperti shalat, haji, zakat dan lain sebagainya.
Kedua, ibadah Ramadhan akan membimbing umat Islam menuju kemenangan emosional.
Emosi adalah sifat perilaku dan kondisi perasaan yang terdapat dalam diri seseorang.
Ia bisa berupa rasa ingin marah, rasa takut, rasa cinta atau keinginan yang kuat untuk mencintai dan membenci, rasa cemas, rasa minder dan lain sebagainya.
Emosi yang menang adalah apabila ia terkendali, yang dalam istilah agama disebut dengan sabar.
Sabar dalam Islam bukanlah satu kelemahan, tetapi sabar justru merupakan satu kekuatan.
Kesabaran merupakan karakter yang sangat mulia dan ia bisa diraih dengan cara melatih dan membiasakan diri dengannya.
Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan yang besar bagi seorang Muslim untuk melatih kesabaran itu.
Ia dilatih untuk mengontrol jiwanya dari pengaruh hawa nafsunya. Dengan begitu ia bisa keluar dari bulan Ramadhan sebagai pribadi yang kuat dan pandai mengendalikan diri dan emosinya.
Dan terakhir ketiga, ibadah Ramadhan juga akan melahirkan sosok-sosok pribadi muslim yang menang secara intelektual.
Kemenangan intelektual ditandai dengan kecerdasannya dalam memahami realita yang selalu dapat memberikan keseimbangan pada diri dan pemikiran.
Kecerdasan intelektual dalam perspektif Islam ditandai dengan apabila selalu bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram.
Selalu mempertimbangkan antara manfaat dan mudhorat.
Selalu mengerti akan hak dan kewajiban.
Kecerdasan seperti inilah yang selalu ingin dibina oleh ibadah puasa pada setiap peribadi muslim.
Karenanya puasa selalu menuntut kita untuk selalu hati-hati dalam bertindak, bersikap dan berucap, agar tidak menodai nilai-nilai puasa yang sedang dikerjakan.
Inilah tiga kemenangan besar yang diharapkan dapat diraih pasca Ramadhan dan dapat pula di aplikasikan/diterapkan pada 11 bulan mendatang.
Marilah kita perhatikan sabda Rasulullah;
أيُّهَا النَّاسُ : أَفْشُوا السَّلامَ ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الْأَرْحَامَ،، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
“Wahai manusia, tebarkanlah salam, bagikanlah makanan, sambung silaturrahim,dan shalatlah pada waktu malam ketika orang-orang sedang tidur, niscaya kalian pasti masuk surga dengan selamat.” (HR. Tirmidz)
Inti dari hadits ini mengajarkan kepada kita untuk menguatkan hablumminallah dan hablumninnas dengan meneruskan amalan sholat Qiyamullail dan ibadah sosial pada 11 bulan ke depan, seperti zakat fitrah sebagai bentuk empati dan kasih sayang kepada sesama.
Untuk selalu menghubungkan tali silaturrhaim
Oleh karena itu, setelah shalat Id nanti, pulanglah dengan tenang, bersimpuhlah di hadapan ayah ibu kita, jabat dan ciumlah tangannya, akuilah kesalahan kita dengan tulus.
Bersyukurlah bagi yang masih punya ayah dan ibu sehingga di Hari Raya ini masih bisa menggengam tangannya. Jika ayah ibu sudah tiada berziarahlah kekuburannya.
Merenunglah di atas pusara mereka, Kenanglah-kenanglah kebaikannya dan lupakan keburukanya.
Ingatlah, Tatkala kita masih kecil dulu berhari raya bersama ayah dan ibu, Dia memandikan kita, dipakaikannya baju baru, disisirkannya rambut kita, dikasihnya minyak wangi, lalu diciumnya kita, diajaknya kita sholat idul fitri bersama, sungguh suasana idul fitri yang sangat indah.
Namun kini mereka telah tiada, mereka telah kembali kepada yang kuasa, semua hanya tinggal kenangan.
Hanya doa yang dapat kita panjatkan semoga kelak kita kembali dapat dipertemukan di Surga.
Marilah, kita rayakan hari kemenangan ini dengan bermaaf-maafan dan mempererat silaturrahim.
Lanjutkan amalia Ramadhan, pedulilah kepada orang miskin dan anak yatim, tegakkan sholat tunaikan zakat jauhi maksiat, semoga Allah memberi taufik hidayah serta maghfirohnya kepada kita semua, Amin. ( Sumber data: Dr H M Ridwan Djalil MPdI)
(*/Penulis adalah Jurnalis tinggal di Jambi)