Taman Budaya Jambi dan Ekosistem Kesenian
4 min readOleh: Halim HD. – Networker-Organizer Kebudayaan
Posisi dan fungsi TB Jambi yang favourable dalam pandangan kaum seniman menjadi suatu bukti yang sagat menarik, ketika pengelola lembaga kesenian menjadikan ruang publik yang menjadi kebutuhan ruang pertemuan bagi seniman dan warga peminat. Pertemuan itu bukan hanya untuk menyaksikan sajian. Tapi juga lembaga itu membuka dirinya bagi suatu proses kearah penciptaan, menjadikan TB Jambi sejenis labotarium dalam skala teknikal maupun idea, gagasan yang disampaikan yang saling bersambut antara pelaku kesenian dengan sesamanya, dan pelaku kesenian dengan pengamat dan jurnalis.
Jika dalam tulisan saya yang lalu mengupas masalah posisi-fungsi pimpinan dan staf TB Jambi dalam kaitannya dengan tatakelola yang bersifat de-birokratisasi, dan menciptakan suatu pergaulan akrab dan informal, yang menciptakan suasana kondusif dalam proses berkesenian, kali ini saya ingin menyinggung masalah, bagaimana dalam konteks ekosistem kesenian secara lebih luas dan mendalam. Kita tahu wilayah geografis Jambi yang strategis dalam perspektif sejarah dan kebudayaan telah menjadikan Jambi menjadi salah satu titik simpul penting dalam konteks penjadian kebudayaan nusantara yang makin beragam.
Kini kita dituntut untuk bagaimana melacak kembali berbagai khasanah yang pernah ada dalam lintasan sejarah dalam suatu ruang sosial yang pernah menjadi ruang bagi basis material kultural. Kota Jambi demikian pesatnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkonomian perkebunan karet, sawit, dan juga kini pertambangan batubara seiring dengan laju pembangunan yang nampaknya kian menekankan perekonomian sebagai pelatuk terpenting dalam praktek ideologi pembangunan sejak lima pukuh tahun yang lampau. Tentu saja di samping itu ada sector kehidupan lain, yang justeru sebenarnya menjadi bagian terpenting dalam kaitannya dengan identitas Jambi sebagai geografi provinsi maupun wilayah urban (perkotaan).
Dalam konteks wilayah perkotaan yang merupakan konfederasi dari berbagai komunitas yang membentuk satu kesatuan sosial dan kultural serta ekonomi melalui produk kultural, seperti kerajinan dalam berbagai wujudnya, misalnya tekstil-batik, kerajinan tangan berbahan kayu, logam dan berbagai jenis kulineri menjadikan Jambi memiliki identitas. Pasti kesenian dalam jenis teater, tari dan musik serta sastera menjadi basis terpenting sebagai identitas yang mengikat bahwa warga dan masyarakat Jambi memiliki cara berekspresi.
Jika kita menelisik arus sejarah yang pernah ada di lingkungan masyarakat dengan basis komunitas, maka kita dapatkan jejak yang sangat kuat bahwa di dalam ruang sosial komunitas itulah jejak kita dapatkan, dan sekaligus juga sampai kini kita saksikan. Melalui perspektif bahwa ruang perkotaan, urban areas, adalah ruang yang terbentuk yang didasarkan kepada komunitas yang sangat beragam, yang dengan keberagaman itu pula menciptakan suatu tatanan nilai tentang kohesifitas sosial yang didasarkan kepada toleransi dan keterbukaan. Potensi dan aktualisasi sosial inilah yang perlu kita perhatikan sebagai modal sosial di dalam proses cipta karya berkesenian.
Kita menyaksikan khasanah tradisi berlanjut dalam ruang sejarah. Dan sejarah tak pernah mendiamkan dirinya dalam suatu kubangan waktu. Sebagai arus yang terus bergerak, maka sejarah ikut mendorong untuk bagaimana suatu masyarakat atau komunitas mengisi arus dan ruang sejarah itu melalui karya. Disinilah letak menarik, bahwa semua khasanah tradisi tak pernah mengalami kemandegan. Selalu berubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun pada sisi lainnya, perubahan itu juga ikut menggusur posisi dan fungsi khasanah tradisi. Dalam konteks praktis, pergantian generasi menciptakan pergantian selera dan kebutuhan. Pada sisi lainnya, pergantian generasi tanpa dasar Pendidikan yang kuat yang berakar pada pemahaman khasanah tradisi makin menciptakan posisi khasanah tradisi menjadi kian terasing.
Keyakinan kita kepada khasanah tradisi sebagai identitas yang mengikat dan menciptakan posisi sosial kita dalam pergaulan kebudayaan membutuhkan strategi dan praktek politik lokal kebudayaan. Termasuk di dalamnya kaitan antara strategi dan politik lokal kebudayaan dengan sistem pendidikan. Menjadi pertanyaan kita sehubungan perubahan selera dan kebutuhan kaum muda khususnya generasi Millenial dan Generasi Z, sejauh mana sistem Pendidikan lokal mampu menyelenggarakan Pendidikan kesenia dengan muatan khasanah tradisi. Jika di dalam kurikulum selalu kita dapatkan pelajaran kesenian, sesungguhnya Pendidikan kesenian ini memiliki muatan yang terbatas.
Dalam kaitan keterbatasan kurikulum serta tenaga pendidik itulah mungkin ada baiknya kita menengok posisi dan fungsi TB Jambi sebagai ruangf publik kebudayaan, yang bisa ikut memainkan peran di dalam proses Pendidikan kesenian bagi kaum muda. Tentu saja hal ini tak cukup hanya diperankan oleh TB Jambi. Komunitas, grup kesenian serta kaum seniman bisa iktu terlibat secara intensif melalui kolaborasi program. Dan secara praktis kampus-kampus yang memiliki prodi kesenian sangat mungkin melibatkan diri secara interaktif.
Pengembangan apresiasi seni secara minimal bisa dipraktekan dengan sasaran kepada kaum muda untuk mengenal Kembali khasanah tradisi serta karya-karya baru yang berasal dari akar kebudayaan lokal. Sasaran minimal yang bersifat apresiasi seni ini akan menjadi basis penting dalam kaitannya dengan kelanjutan proses kehidupan kesenian, dengan harapan kaum muda melibatkan secara lebih aktif sebagai pelaku kesenian. Untuk itulah suatu jalinan sosial yang melibatkan berbagai stake holder yang dimotori oleh TB Jambi dengan kampus dan berbagai komunitas bisa merumuskan program-program praktis dalam kaitannya dengan pembentukan ekosistem kesenian yang lebih ideal. Memulai hal-hal yang sederhana namun mengena pada sasaran dengan dukungan tatakelola yang luwes dan sigap terhadap berbagai gagasan akan sangat mendukung terciptanya suatu ekosistem yang kita harapkan. -o0o-