Loyalis Bupati Yang Tak Digaji: Ketika Panatisme Jadi Alat Perusak Demokrasi

Oleh : Nazarman
Ada sekelompok orang yang rela turun ke medan komentar, menyerang siapa saja yang berani mengkritik bupati pujaannya. Mereka bukan ASN, bukan staf khusus, bukan pula konsultan politik. Mereka adalah para relawan bayangan, kru bupati yang tidak digaji—tentara sukarela yang menjadikan loyalitas sebagai agama baru.
Apa motif mereka? Tidak jelas. Tidak ada gaji, tidak ada kontrak, bahkan seringkali tidak dikenali secara resmi oleh sang bupati. Tapi semangat mereka melampaui tim sukses profesional. Mereka menyebarkan narasi, menyerang lawan, memutarbalikkan fakta, dan menggoreng opini, seolah masa depan negri ini bergantung pada keselamatan satu orang: sang bupati.
Ini bukan sekadar dukungan. Ini adalah fanatisme politik yang berbahaya. Fanatisme membuat seseorang menghapus garis antara benar dan salah, mengganti argumen dengan serangan personal, dan menjadikan kritik sebagai bentuk pengkhianatan. Mereka tidak melihat kebijakan yang salah arah, tidak mendengar suara rakyat yang kecewa, karena telinga dan mata mereka telah dikunci oleh ketakjuban.
Ironisnya, fanatisme ini justru menjadi pelindung paling efektif bagi kekuasaan yang egois. Ketika publik mulai bertanya, fanatiklah yang menjawab dengan caci maki. Ketika kebijakan gagal, fanatiklah yang membelanya dengan narasi usang: “Yang penting niatnya baik.” Padahal dari niat baik, jalan menuju tirani bisa dibangun.
Demokrasi tidak lahir dari tepuk tangan. Ia tumbuh dari debat, dari kritik, dari keberanian untuk berkata: “Pemimpin juga bisa salah.” Tapi bagi kru yang tak digaji ini, kebenaran bukan lagi soal akal, tapi soal afiliasi. Dan di situlah letak kehancuran.
Kita harus berhenti membiarkan fanatisme memimpin ruang publik. Pemimpin yang tak bisa dikritik adalah pemimpin yang siap disembah, bukan diawasi. Dan masyarakat yang membiarkan dirinya dikuasai oleh loyalitas buta, sedang menggali kuburan bagi akal sehatnya sendiri.. (*)