Arogansi Kekuasaan Dibalik Penertiban Lapak PKL

Ketika Estetika Kota Yang Mengorbankan Perut Rakyat
Oleh: Nazarman
Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bangko bukan sekadar urusan menata ruang. Ia adalah cermin dari wajah kekuasaan yang dingin—yang lebih mementingkan pemandangan kota ketimbang perut rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari lapak sederhana di pinggir jalan.
PKL digusur tanpa dialog. Dipaksa pergi seolah mereka benalu kota. Padahal, mereka bagian penting dari denyut ekonomi lokal. Pemerintah, yang seharusnya hadir sebagai pelindung dan pengayom, justru datang membawa pentungan dan ancaman.
Di balik gerobak reyot itu ada perjuangan. Seorang ayah yang berjuang menyekolahkan anaknya. Seorang ibu yang menghidupi keluarga dari hasil jualan. Namun mereka diperlakukan seakan tidak punya tempat, tidak punya hak, tidak dianggap warga kota.
Yang lebih menyakitkan: solusi yang ditawarkan ternyata jebakan. Lapak pengganti disiapkan tapi harganya selangit, tak terjangkau oleh pedagang kecil yang berjualan untuk sekadar bertahan hidup hari ini. Bukan solusi, tapi tekanan baru.
PKL bukan masalah. Mereka adalah dampak dari sistem yang belum mampu menyediakan lapangan kerja yang layak. Justru mereka adalah bagian dari solusi: menyediakan barang murah, menghidupkan ekonomi jalanan, dan mencegah kemiskinan makin dalam.
Lalu, apakah menjadi miskin berarti harus menyingkir dari kota ini? Apakah keindahan kota hanya untuk mereka yang berpunya?
Penertiban tanpa solusi adalah pengusiran. Dan pengusiran tanpa alternatif manusiawi adalah kekerasan yang disahkan oleh hukum. Ini bukan soal ketertiban, ini soal keadilan.
PKL tidak menolak ditata. Mereka hanya menuntut diperlakukan sebagai manusia. Libatkan mereka dalam perencanaan. Beri ruang yang layak, dengan biaya yang masuk akal, dengan fasilitas memadai, dan legalitas yang jelas.
Kota yang tertib bukan kota yang bersih dari rakyat kecil, tapi kota yang bisa mengatur semua golongan dengan adil yang tidak menyingkirkan yang lemah demi foto-foto bagus di media sosial sang Bupati.
Sekali lagi: estetika kota tidak boleh mengorbankan perut rakyat.Karena jika kekuasaan lebih peduli pada pemandangan daripada penderitaan, maka kota ini sedang kehilangan jiwanya.(*)