15 Juni 2025

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Atas Nama Penataan, Bupati Gunakan Instruksi Lisan: Batas Hukum Dilanggar

Oleh: Nazarman
Kisruh penataan pedagang kaki lima (PKL) di Merangin membuka borok tata kelola pemerintahan yang abai pada hukum.
Pembangunan tenda yang dilakukan atas instruksi lisan Bupati Merangin—tanpa dokumen resmi, anggaran, maupun regulasi pendukung—kini justru berubah menjadi beban utang bagi rakyat kecil.
Ini bukan semata persoalan ketidaktertiban administrasi. Ini adalah bentuk nyata penyalahgunaan kewenangan.
Instruksi Bukan Legalitas
Dalam sistem pemerintahan demokratis, instruksi lisan dari kepala daerah tidak bisa menjadi dasar hukum untuk menarik uang dari masyarakat. Apalagi pungutan tersebut dikenakan kepada PKL yang baru saja direlokasi paksa dan belum pulih dari kerugian.
Jika benar Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan (DKUKMPP) Merangin meminjam dana dari koperasi keliling atau rentenir demi menjalankan perintah lisan bupati, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika birokrasi. Ini masuk ke ranah pelanggaran tata kelola keuangan daerah—dan sangat mungkin melanggar hukum.
Jangan Bersembunyi di Balik Janji Politik
Pemerintah tidak boleh berlindung di balik dalih “niat baik menata PKL” atau “menjalankan aspirasi rakyat.” Penataan, sebaik dan seindah apa pun tujuannya, harus berjalan di atas rel hukum. Jika pungutan dilakukan tanpa Perda, Perbup, atau aturan sah lainnya, maka itu adalah pungutan liar.
Ironisnya, dana pengadaan tenda yang berasal dari utang kini justru dibebankan kepada pedagang dengan dalih mengganti biaya. Tidak hanya itu, biaya listrik yang dikenakan mencapai Rp150 ribu per bola lampu, menambah beban di tengah sepinya pembeli.
Ini jelas melanggar asas keadilan, terutama di tengah beratnya beban ekonomi rakyat.
Rakyat Kecil Bukan Objek Eksperimen
PKL bukan beban pembangunan. Mereka adalah bagian dari denyut ekonomi lokal yang terus bergerak di sela-sela stagnasi. Menjadikan mereka objek kebijakan tanpa dasar hukum, tanpa perlindungan, dan tanpa kepastian adalah bentuk pengabaian tanggung jawab negara kepada warganya yang paling rentan.
Di balik tenda-tenda putih berlogo Pemerintah Kabupaten Merangin, rakyat kecil kini menanggung utang, tagihan listrik, kecemasan, dan ketidakjelasan masa depan. Apakah ini harga dari sebuah “penataan”?
Ketika instruksi lisan dari seorang kepala daerah bisa menyingkirkan aturan hukum yang tertulis, kita patut bertanya:
Masih adakah ruang bagi keadilan dan akuntabilitas di pemerintahan ini?
Sudah saatnya aparat penegak hukum turun tangan sebelum api ini membakar kepercayaan publik lebih jauh.(*)

.

Tinggalkan Balasan

Jambi Daily