19 Juni 2025

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Sungai Batanghari dalam Pusaran Ketidaktertiban Tata Kelola Pelayaran

Urgensi Perda Lalu Lintas Sungai untuk Menjawab Kekosongan Hukum dan Ketimpangan Kewenangan antara KSOP dan Dinas Perhubungan Jambi”

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla (*)

Sungai Batanghari: Dari Warisan Alam Menjadi “Jalan Tol Air” Batubara

Sungai Batanghari, yang membentang sejauh 800 kilometer dan merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera, kini menjadi sorotan nasional. Bukan karena keelokan alaminya atau jejak sejarah kebudayaan di sepanjang alirannya, melainkan karena kekacauan tata kelola pelayaran yang kian mengkhawatirkan.

Kondisi ini bermula sejak kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi mengalihkan jalur angkutan batubara dari jalan darat ke sungai, sebagai respons atas kemacetan ekstrem akibat pergerakan harian sekitar 6.000 truk batubara. Dampaknya, Sungai Batanghari mendadak berubah menjadi jalur ekonomi vital—“jalan tol air”—namun tanpa regulasi teknis dan kelembagaan yang memadai.

Ketimpangan Kewenangan dan Kekosongan Hukum

Di balik hiruk-pikuk aktivitas pelayaran kapal angkutan batubara, terdapat persoalan struktural serius: tumpang tindih kewenangan antara Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Jambi—yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut—dengan Dinas Perhubungan Provinsi Jambi yang merujuk pada kewenangan Perhubungan Darat.

Salah satu isu paling krusial adalah belum adanya kejelasan lembaga mana yang berwenang mengeluarkan Surat Izin Olah Gerak (SIOLG) bagi kapal-kapal di sungai. Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, KSOP memiliki otoritas teknis pelayaran di wilayah perairan pelabuhan dan pedalaman. Namun, Dishub Jambi mengklaim keterlibatan karena pelayaran sungai dianggap sebagai bagian dari sistem transportasi lokal.

Akibat ketidakjelasan ini, muncul kekosongan hukum dan ruang abu-abu yang mengundang praktik liar: pungutan tak resmi, tidak adanya investigasi kecelakaan, hingga lemahnya pengawasan terhadap keselamatan pelayaran.

Perspektif Hukum Nasional dan Internasional

Dalam kerangka hukum internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982—yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985—menyebut sungai dalam wilayah negara sebagai perairan pedalaman (internal waters), di mana negara memiliki kedaulatan penuh atas pengaturan pelayaran.

Hal ini diperkuat dalam hukum nasional melalui UU Pelayaran yang menugaskan Kementerian Perhubungan—khususnya Ditjen Perhubungan Laut—sebagai pengendali teknis pelayaran di perairan dalam. Namun di lapangan, implementasinya terganjal oleh fragmentasi kelembagaan, sehingga masyarakat tidak tahu ke mana harus melapor saat terjadi insiden.

Risiko Nyata di Lapangan: Insiden Tanpa Penanggung Jawab

Padatnya lalu lintas kapal di Sungai Batanghari saat ini memperbesar risiko kecelakaan. Beberapa insiden telah terjadi: kapal menabrak jembatan, menghantam kerambah warga, atau terguling karena tidak adanya koordinasi lalu lintas.

Minimnya fasilitas keselamatan—seperti pengaman jembatan, kapal tugboat pengendali, serta absennya pusat kendali lalu lintas air—menambah bahaya laten. Lebih buruk lagi, tidak ada lembaga yang bertanggung jawab penuh dalam investigasi atau penyelesaian kerugian warga. Hal ini memperparah ketidakpastian hukum, bahkan bisa menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Menjawab Tantangan: Perlu Regulasi Daerah yang Kuat

Menyadari kekacauan tata kelola ini, Gubernur dan DPRD Provinsi Jambi tengah menggagas penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelayaran dan Lalu Lintas Angkutan Sungai Batanghari. Tujuannya bukan hanya mengisi kekosongan hukum, tetapi juga mengintegrasikan fungsi pengawasan, pelayanan, dan pengendalian.

Perda ini diharapkan mengatur secara tegas dan rinci hal-hal berikut:

1. Menentukan Otoritas Tunggal

Penetapan lembaga resmi yang memiliki kewenangan penuh terhadap penerbitan SIOLG dan pengawasan teknis kapal sungai.

2. Prosedur Penanganan Kecelakaan Kapal

Termasuk investigasi, pelaporan, dan mekanisme ganti rugi kepada warga terdampak.

3. Pembentukan Lembaga Pengelola Pelayaran Sungai

Dengan kewenangan teknis dan fiskal untuk:

Mengeluarkan izin operasional kapal,

Mengatur dan mengawasi lalu lintas kapal,

Menarik retribusi resmi dan premi asuransi,

Menyediakan infrastruktur pendukung seperti tugboat, speedboat, kantor layanan, dan alat komunikasi.

4. Pendirian Pos Layanan Sungai

Di setiap titik pemuatan batubara (stockpile) hingga hilir pelabuhan Talang Duku.

5. Wajib Pemasangan Pengaman Jembatan

Serta penyediaan tugboat pendamping untuk kapal besar yang melewati area rawan tabrakan.

6. Struktur Organisasi dan Tanggung Jawab yang Jelas

Termasuk pembagian peran antara pemerintah pusat, provinsi, dan stakeholder pelayaran sungai lainnya.

Penutup: Sungai Adalah Aset, Bukan Arena Kekacauan

Transformasi Sungai Batanghari menjadi jalur logistik harus diikuti dengan penguatan sistem hukum dan tata kelola. Negara tidak boleh membiarkan kekacauan menjadi norma. Kepastian hukum, kejelasan kewenangan, dan konsolidasi kelembagaan adalah syarat mutlak agar jalur air ini bisa dikelola secara aman, tertib, dan berkelanjutan.

Peraturan Daerah yang tengah dirumuskan harus mampu menjawab ketimpangan ini secara menyeluruh—bukan hanya untuk tertib pelayaran, tetapi demi melindungi keselamatan warga, menjaga infrastruktur publik, dan melestarikan ekosistem Sungai Batanghari sebagai warisan sejarah dan peradaban Jambi.

Catatan Penulis:

Sebagai mantan perwira tinggi TNI Angkatan Laut yang telah mengabdi di bidang operasi dan navigasi perairan, saya percaya bahwa setiap jalur air harus diperlakukan sebagai infrastruktur strategis. Mengabaikannya sama saja dengan mempertaruhkan keselamatan dan kedaulatan kita sendiri.**)

Tinggalkan Balasan

Jambi Daily