Pasukan Sakit Hati dan Pemerintahan Gagal Paham

Oleh:Nazarman
Ketika Kritik Disebut Dendam, dan Pencitraan Mengalahkan Kinerja
Di tengah serapan anggaran yang rendah, proyek DAK yang mangkrak, dan target PAD yang tak tercapai, suara-suara kritis justru dibungkam dengan label “pasukan sakit hati.” Padahal, yang dibutuhkan daerah hari ini bukan pembela fanatik, melainkan pemimpin yang sanggup mendengar dan bekerja.
Sejak awal menjabat, Bupati Merangin gemar tampil di media sosial—berpose bersama menteri, menghadiri rapat-rapat kementerian, dan mengibarkan narasi sebagai “orang pusat.” Ia digambarkan sebagai figur dengan akses langsung ke Jakarta, seolah-olah itu menjadi jaminan Merangin akan banjir proyek nasional. Tapi hari ini, kenyataan di lapangan begitu kontras.
Proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Air Minum tahun 2025 senilai Rp11,7 miliar justru mangkrak. Dua kali Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mundur. Kepala dinas pasif. Bupati tak ambil alih. Dana yang telah dikucurkan dari pusat kini terancam ditarik kembali karena mandeknya eksekusi. Serapan anggaran rendah, birokrasi lumpuh, dan tanggung jawab tercerai.
Sementara itu, target Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2025 juga di ambang kegagalan. BPPRD menyebut target tak akan tercapai, setelah kehilangan sumber dari PPJ Non-PLN serta lemahnya strategi penagihan. Ironisnya, saat uang makin sulit dicari, pemerintah justru memaksakan pembelian mobil dinas baru. Bukannya berhemat, justru bergaya.
Di sisi lain, praktik PETI menjamur bahkan di kampung bupati sendiri. Prostitusi makin terbuka di pusat kota tanpa pengawasan berarti. Tapi yang jadi korban justru rakyat kecil. PKL digusur paksa, dan meski pemerintah mengklaim sudah menyiapkan solusi relokasi, lapak pengganti justru dibanderol dengan harga sewa yang mencekik. Pedagang harian yang menggantungkan hidup dari rupiah demi rupiah, kini harus memilih antara bertahan atau hengkang.
Ruang rapat pemerintah daerah pun berubah. Bukan lagi tempat merumuskan solusi, tapi ajang ancaman terhadap OPD. Tekanan demi tekanan menggantikan koordinasi. ASN bungkam, takut, dan memilih diam demi jabatan. Pemerintahan berubah dari mesin pelayanan menjadi mesin pembungkaman.
Parahnya, setiap kritik dari masyarakat atau media langsung dilabeli sebagai “pasukan sakit hati”—seolah semua suara kritis hanyalah luapan dendam karena kalah di Pilkada. Narasi ini bukan hanya menyesatkan, tapi juga berbahaya bagi demokrasi lokal. Kritik adalah vitamin bagi pemerintahan. Jika semua suara berbeda dianggap musuh, maka kehancuran adalah soal waktu.
Sementara itu, pendukung fanatik pemerintah terus bising di media sosial, menyerang siapa pun yang bicara berbeda. Mereka membela bukan dengan data, tapi dengan makian. Mereka memuja bukan dengan logika, tapi dengan kultus. Seolah pemimpin tak boleh dikritik, tak bisa disentuh, dan tak mungkin salah.
Editorial ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan: lima tahun adalah waktu yang panjang jika hanya diisi dengan pencitraan, pembiaran, dan tekanan. Merangin butuh pemimpin yang bekerja diam-diam tapi berdampak besar bukan yang tampil heboh tapi nihil hasil.
Jika tidak segera berubah, maka sejarah akan mencatat:Merangin gagal bukan karena kekurangan dana, tapi karena kehilangan arah. Bukan karena dijauhi pusat, tapi karena terlalu sibuk mengejar pengakuan, hingga lupa memenuhi kebutuhan rakyat sendiri. Dan rakyat akan mengingat, siapa yang bekerja dan siapa yang hanya berpose.(*)