Sawali, Adik Rival Politik, Akankah Bertahan Atau Tergeser?..

Oleh: Nazarman
JAMBIDAILYMERANGIN – Di antara pusaran tarik-menarik jabatan strategis di Dinas PUPR Merangin, nama M. Sawali mungkin tak terlalu mencolok di permukaan. Namun posisinya sebagai Kepala Bidang Sumber Daya Air (Kabid SDA) justru menyimpan dilema tersendiri—bukan karena persoalan kinerja atau dugaan pelanggaran, melainkan karena sesuatu yang lebih personal: ia adalah adik kandung Nilwan Yahya, rival politik utama Bupati Merangin saat ini.
Sawali dikenal sebagai pejabat teknis yang berpengalaman, bersih, dan jarang tampil ke publik. Tidak ada tekanan langsung, tidak pula ada desakan terbuka agar ia diganti. Tapi di tengah konstelasi politik lokal yang kian sensitif terhadap afiliasi, pertanyaan diam-diam mulai mencuat: sejauh mana ia bisa bertahan, mengingat silsilahnya?
“Sawali itu kerjanya bagus. Tapi nama belakangnya yang bikin orang resah, bukan hasil kerjanya,” ujar seorang pejabat teknis di lingkungan PUPR.
Dalam sistem birokrasi yang sehat, garis darah tak seharusnya menjadi masalah. Namun di Merangin hari ini, loyalitas politik kerap dibaca bukan hanya dari ucapan dan tindakan, tapi juga dari siapa keluarga Anda. Di titik inilah posisi Sawali menjadi rapuh. Tanpa kesalahan, tanpa masalah, tapi tetap harus menghadapi spekulasi: apakah ia akan disingkirkan hanya karena sedarah dengan “orang yang salah”?
Sampai saat ini, belum ada indikasi formal akan rotasi jabatan di Bidang SDA. Tapi suasana di internal dinas menyiratkan ketidakpastian. Tidak ada tekanan langsung, tapi ada kecanggungan. Tidak ada perintah, tapi ada kehati-hatian. Ini jenis tekanan yang tak terlihat tapi nyata dirasakan.
Padahal, posisi Kabid SDA bukan jabatan remeh. Ia mengurus soal vital: air bersih, irigasi, embung desa—semua terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Dan Sawali, menurut banyak kolega, menjalankannya dengan profesional.
“Dia nggak pernah main politik, bahkan sangat teknis orangnya. Tapi kadang itu nggak cukup di zaman sekarang,” kata salah satu ASN di sekretariat dinas.
Kini, nasib Sawali menjadi semacam tolak ukur: apakah birokrasi Merangin masih bisa menghargai profesionalisme? Ataukah jabatan hanya akan bertahan selama tidak mengganggu harmoni politik kekuasaan?
Jika Sawali tetap bertahan, itu bisa menjadi sinyal positif bahwa kinerja masih dihargai. Tapi jika tidak, publik bisa saja menyimpulkan bahwa politik darah sudah benar-benar menggusur meritokrasi.(*)