Zulhifni dan Ambisi Sekda: Digadang-Gadang Naik, Tapi Layakkah?

Oleh : Nazarman
MERANGIN – Di tengah kisruh internal dan stagnasi kepemimpinan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Merangin, nama Kepala Dinas Zulhifni justru mencuat sebagai calon kuat Sekretaris Daerah (Sekda). Padahal, selama berbagai krisis melanda PUPR, ia dinilai lebih banyak diam dan menghindari sikap tegas.
Informasi yang beredar menyebutkan, Zulhifni telah mengikuti pendidikan kepemimpinan (Diklatpim) sebagai salah satu syarat administratif menuju jabatan tinggi pratama. Namun, di tengah riuhnya isu, pertanyaan mendasar mencuat: layakkah?
Tak Pernah Ambil Sikap Saat Krisis
Selama kisruh melanda tiga bidang strategis di tubuh Dinas PUPR yakni Bina Marga, Sumber Daya Air (SDA), dan Cipta Karya Zulhifni dinilai tidak pernah mengambil langkah tegas. Ia membisu saat dua Plt Kabid Cipta Karya memilih mundur karena proyek DAK yang bermasalah, dan tetap pasif saat kekosongan jabatan mengancam kelumpuhan kinerja dinas.
“Zulhifni bukan pemimpin krisis. Ia hanya pelindung status quo,” ujar seorang ASN di lingkungan PUPR yang enggan disebutkan namanya.
Sikap diam Zulhifni selama berbagai krisis menimbulkan kesan bahwa ia lebih memilih bertahan dalam ketenangan semu daripada menyelamatkan institusi yang ia pimpin. Ia tidak tampil sebagai pemecah masalah atau pengarah kebijakan, bahkan ketika kondisi birokrasi berada di titik kritis.
Kuat Secara Politik, Bukan Kepemimpinan
Meski dinilai minim aksi dan gagasan, Zulhifni memiliki keunggulan lain: kedekatan politik. Ia berasal dari daerah yang sama dengan Bupati Merangin, dan yang lebih krusial, adik kandungnya merupakan ketua salah satu partai politik pendukung Bupati saat Pilkada.
Kedekatan ini oleh banyak pihak dianggap menjadi “kartu truf” Zulhifni. Loyalitasnya terhadap kekuasaan disebut-sebut sebagai alasan utama mengapa namanya menguat sebagai calon Sekda meski belum menunjukkan kepemimpinan yang menonjol di masa sulit.
“Kalau yang naik ke atas adalah orang yang memilih diam saat badai, bagaimana nasib birokrasi lima tahun ke depan?” sindir seorang anggota DPRD
Merangin.Sekda: Posisi Strategis, Bukan Hadiah Politik
Jabatan Sekretaris Daerah adalah pucuk tertinggi dalam struktur birokrasi daerah. Ia bukan sekadar koordinator administrasi, tetapi seharusnya menjadi motor kebijakan lintas sektor, penghubung kepala daerah dengan perangkat daerah, serta pengambil keputusan dalam situasi krisis.
Publik tentu berhak khawatir apabila jabatan sepenting ini justru diisi oleh sosok yang pasif di tengah konflik dan tidak pernah mengambil sikap saat tanggung jawabnya diuji. Kinerja birokrasi lima tahun ke depan akan sangat bergantung pada siapa yang duduk di kursi Sekda bukan semata soal kepatuhan politik, tapi juga kapasitas dan keberanian.
Diam, Dekat, dan Diuntungkan?
Zulhifni mungkin telah memenuhi syarat administratif. Tapi pertanyaan yang lebih penting justru menyangkut uji kepemimpinannya. Sepanjang yang terlihat, ia tidak menunjukkan sikap tegas, solusi atas masalah internal, maupun arah kebijakan yang progresif.
Jika jabatan Sekda kembali diberikan berdasarkan loyalitas dan kedekatan, bukan berdasarkan kapasitas dan integritas, maka jangan heran jika roda pemerintahan terus berjalan tanpa arah—dan rakyat kembali menjadi korban dari birokrasi yang tak bernyali. (*)