Satu Polres, Empat Polsek, dan Tiga Kades Diam Saat Dua Belas Ekskavator Masuk TNKS
Oleh: Nazarman
Dua belas ekskavator melintasi Kabupaten Merangin, dari Bangko menuju Jangkat Timur. Mereka tidak menyelinap. Mereka lewat jalur umum, siang bolong, melewati satu Polres dan empat Polsek — tanpa satu pun aparat yang menanyakan tujuan atau legalitas. Kini mereka sudah sampai di Sungai Ampar, wilayah konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan mulai menggali tanah yang selama ini menjadi tumpuan ekosistem Merangin.
Ironisnya, di balik pembiaran ini muncul kabar bahwa tiga kepala desa di Kecamatan Jangkat Timur ikut memuluskan masuknya aktivitas tambang ilegal (PETI). Di media sosial, dugaan keterlibatan mereka beredar luas namun belum ada klarifikasi maupun tindakan tegas dari pemerintah kabupaten maupun aparat hukum.
Kita tidak sedang bicara soal satu alat berat nyasar. Ini duabelas ekskavator, masuk ke wilayah lindung, diduga kuat tanpa izin resmi. Mereka tak mungkin bergerak sendiri. Ada logistik, ada jaringan, dan bisa jadi — ada perlindungan dari oknum-oknum berkuasa.
Dan kita tahu, semua ini bukan kali pertama terjadi.
Lihat saja Sungai Manau, kampung halaman Bupati Merangin. Di sana, tambang lobang jarum sudah mengubah lanskap menjadi padang batu. Sawah-sawah lenyap, aliran sungai rusak, dan lubang tambang menjamur — hanya beberapa ratus meter dari kantor Polsek Pasar Sungai Manau. Puluhan korban sudah tertimbun, tapi tak ada satu pun pelaku utama yang benar-benar tersentuh hukum.
Kini, pola itu tampaknya kembali berulang. Tapi lebih parah: wilayah TNKS yang seharusnya jadi zona paling terlarang justru diterobos dan dibuka tanpa hambatan.
Yang membedakan adalah sikap kepala daerah. Ketika Bupati Bungo melihat gelagat tambang liar mulai mengancam wilayahnya, ia segera mengeluarkan surat edaran resmi, melarang PETI dan memerintahkan semua camat serta kades untuk aktif menolak dan melaporkan setiap aktivitas mencurigakan. Langkah ini mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil dan menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan soal pidato, tapi ketegasan dalam tindakan.
Di Merangin? Kita justru mendengar kepala desa diduga ikut bermain. Dan bupatinya — diam seribu kata. Apakah menunggu TNKS rusak total seperti Sungai Manau baru akan bertindak?
Yang lewat memang ekskavator. Tapi yang dihancurkan adalah kepercayaan rakyat terhadap hukum.Ketika satu Polres, empat Polsek, dan tiga kepala desa memilih diam, maka yang buta bukan hanya negara—tapi masa depan anak-anak kita.
Merangin tidak butuh pemimpin yang bisa berpidato soal lingkungan.Merangin butuh keberanian seperti Bupati Bungo: melarang, mengatur, dan menindak.(*)











