Enam Bulan Tanpa Pelantikan: Strategi atau Pembangkangan?

Oleh: Nazarman
Sudah mendekati enam bulan sejak pergantian kepala daerah di Kabupaten Merangin, namun sejumlah jabatan penting di lingkungan pemerintah kabupaten masih saja kosong. Kepala dinas, kepala bagian, hingga posisi strategis lainnya dibiarkan tak terisi atau hanya dipegang oleh pelaksana tugas. Ini bukan semata-mata soal teknis birokrasi atau kurangnya kandidat yang layak. Yang berkembang justru lebih serius: Bupati Merangin diduga sengaja menunda pelantikan pejabat demi menghindari kewajiban melapor ke gubernur.
Sesuai ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, serta diperkuat oleh Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ, kepala daerah yang baru menjabat dilarang melakukan pelantikan pejabat eselon II dalam enam bulan pertama, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Aturan ini dirancang sebagai mekanisme kontrol terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dalam masa transisi pasca-pilkada.
Namun alih-alih mengikuti mekanisme itu, Bupati Merangin diduga memilih jalan pintas: membiarkan semua kursi penting tetap kosong hingga masa enam bulan berlalu, agar tidak perlu tunduk pada proses permintaan izin kepada gubernur. Jika benar, maka ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk penghindaran terhadap sistem pengawasan negara. Dan lebih dari itu—cermin dari kepemimpinan yang menempatkan kendali kekuasaan di atas efektivitas pemerintahan.
Dampaknya langsung terasa. Pemerintahan berjalan setengah hati. Banyak program stagnan. Keputusan strategis tertunda. Para pelaksana tugas bekerja tanpa kewenangan penuh, dalam ketidakpastian yang menyesakkan. Dan seperti biasa, yang paling dirugikan adalah rakyat—karena di tengah kekosongan jabatan, pelayanan publik tak bisa bergerak optimal.
Yang lebih mengkhawatirkan, kekosongan ini terkesan bukan sekadar pasif. Ia mulai terbaca sebagai strategi kekuasaan. Dengan membiarkan jabatan diisi oleh Plt, maka kendali tetap terpusat di tangan bupati. Plt cenderung patuh, enggan bersuara, dan tak memiliki legitimasi penuh. Inilah bentuk feudalisme birokrasi—struktur pemerintahan yang dibangun bukan atas sistem merit, tapi atas loyalitas personal.
Kita patut bertanya: jika di awal masa jabatan saja seorang kepala daerah sudah mencari celah untuk menghindari aturan, bagaimana mungkin ia akan membangun pemerintahan yang transparan dan akuntabel di masa mendatang?
Kekuasaan tidak boleh menjadi dalih untuk menunda kewajiban. Dan seorang pemimpin yang lebih sibuk menghindar dari kontrol formal daripada membenahi organisasinya sendiri, layak dipertanyakan kesungguhannya dalam memegang amanah rakyat.(*)