Lari Pagi di Arboretum, Lari dari Isu Mobil Dinas dan PETI

Oleh : Nazarman
Beberapa hari terakhir, ruang publik Merangin dipenuhi narasi yang kelihatannya positif. Bupati terlihat rajin olahraga pagi di kawasan Arboretum Dusun Mudo ruang hijau yang sudah lama ada, tapi kini kembali dihidupkan dan dipoles sebagai wajah pariwisata. Dalam salah satu pernyataannya, bupati bahkan menyebut, “Hari ini adalah kebangkitan wisata Merangin.”
Kita tentu menyambut baik semangat itu. Kita bukan tidak setuju Arboretum Dusun Mudo dihidupkan kembali—justru sebaliknya, kita sangat setuju. Wisata yang sehat, hijau, dan edukatif memang layak didorong. Tapi yang menjadi soal adalah konteks dan timing dari semua ini.
Karena di waktu yang hampir bersamaan, pemberitaan tambang ilegal (PETI) juga mendadak ramai. Para pejabat berbicara lantang tentang penindakan, tentang lingkungan, tentang moral hukum. Lalu bersisian pula, satu isu besar lain yang mencuat dan menampar nurani publik: pengadaan dua mobil dinas baru untuk bupati dan wakil bupati.
Dan yang ini bukan sekadar jadi bisik-bisik. Sudah trending di media sosial, menghiasi banyak pemberitaan, dan bahkan memicu dua kali aksi demonstrasi mahasiswa. Sebuah keputusan yang dirasa tidak peka, tidak bijak, dan sangat bertentangan dengan semangat kesederhanaan serta prioritas kebutuhan rakyat.
Maka wajar bila publik bertanya-tanya: apakah ramainya olahraga pagi, deklarasi “kebangkitan wisata”, dan narasi penindakan PETI hanya kebetulan bersamaan? Atau ini semua bagian dari satu skenario komunikasi yang bertujuan mengalihkan sorotan dari pemborosan anggaran yang sedang dipersoalkan?
Kami tidak sedang menghakimi. Tapi rakyat tahu cara membedakan mana kerja yang jujur, dan mana gerakan pencitraan. Karena seindah apa pun spot selfie di Arboretum, dan segencar apa pun imbauan soal PETI, tetap tak mampu menutupi kenyataan bahwa dua kendaraan dinas mewah tengah melaju di atas penderitaan diam rakyat kecil.
Editorial ini bukan ditulis untuk menyindir aktivitas fisik pejabat. Tapi untuk mengingatkan: kepemimpinan tidak diukur dari seberapa jauh seorang kepala daerah bisa berlari, tapi dari seberapa dalam ia mau mendengar.
Rakyat tidak butuh tontonan. Mereka butuh keadilan dalam kebijakan, empati dalam penganggaran, dan prioritas yang masuk akal.
Karena jika pemimpin terlalu sibuk mengurus citra, maka jangan heran bila kepercayaan publik ikut luntur. Dan saat itu terjadi, yang sedang berlari bukan hanya kaki di Arboretum tapi juga nurani kekuasaan yang makin menjauh dari kenyataan.(*)