Ketika Bupati Tak Tahu Aturan atau Sengaja Melanggarnya

Oleh : Nazarman
Di tengah sorotan publik soal tata kelola yang carut-marut, Bupati Merangin justru terus mengeluarkan kebijakan yang bukan hanya tak berdasar hukum, tapi juga menabrak akal sehat administrasi.
Tiga kasus terbaru memperlihatkan pola yang konsisten: pengabaian terhadap regulasi dan kecenderungan menjadikan kekuasaan sebagai alat suka-suka.
1. PBB Jadi Syarat TPP: Sandera Hak ASN
Instruksi Bupati agar ASN melunasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai syarat pencairan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) adalah bentuk penyanderaan hak. Tertuang dalam surat nomor 973/BPPRD/2025, kebijakan ini bertentangan langsung dengan Peraturan Bupati Nomor 63 Tahun 2022 yang tidak mencantumkan pelunasan PBB sebagai syarat pencairan. Dengan kata lain: ASN diminta membayar sesuatu yang bukan kewajibannya untuk mendapatkan hak yang seharusnya tak bersyarat.
2. Pungutan PKL Tanpa Payung Hukum:
Pungli Resmi dari NegaraPemkab Merangin juga memungut retribusi dari Pedagang Kaki Lima (PKL), padahal belum ada satu pun regulasi resmi—baik Perda maupun Perbup—yang menjadi dasar hukum pungutan tersebut. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tapi masuk wilayah pungutan liar. Yang lebih menyakitkan, pungli ini dilembagakan oleh pemerintah sendiri—yang seharusnya menjadi pelindung kelompok ekonomi lemah.
3. Stiker Logo Pemkab di Mobil Dinas: Arogansi Simbolik
Kebijakan mewajibkan pemasangan logo atau stiker besar Pemkab Merangin di kendaraan dinas tampak sepele, tapi mencerminkan mentalitas penguasa yang gemar simbol, abai aturan. Tak ada regulasi yang mewajibkan hal ini, apalagi dengan ukuran besar dan desain norak yang lebih cocok sebagai alat kampanye terselubung ketimbang simbol kedinasan.(*)