10 Juli 2025

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Pola Swakelola Dinas PUPR: Akal-Akalan Proyek Titik Tertentu yang Layak Dicurigai

Oleh: Nazarman

Swakelola dalam proyek pemerintah bukan hal baru. Dalam situasi tertentu, mekanisme ini bisa menjadi pilihan efisien, terutama untuk pekerjaan mendesak atau yang memerlukan penanganan khusus. Namun ketika skema swakelola digunakan untuk menutup proses pengadaan dari pantauan publik, maka yang terjadi bukan efisiensi—melainkan pengaburan.

Inilah yang tampak dalam praktik “penanganan titik-titik tertentu secara swakelola” oleh Dinas PUPR Merangin. Proyek-proyek fisik ini tidak diumumkan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP), tidak tayang di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), dan tidak melalui mekanisme pengadaan yang bisa diawasi publik. Dalam banyak kasus, lokasi pekerjaan pun tidak jelas, pelaksana tidak diumumkan, dan informasi teknis tidak tersedia.

Tahun 2024, skema serupa telah disorot oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Beberapa penanganan pekerjaan swakelola oleh Dinas PUPR saat itu ditemukan melampaui batas nilai wajar—bahkan disebut-sebut menyentuh angka di atas Rp500 juta. Namun, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tersebut sulit diakses publik hingga hari ini. Ini bukan sekadar kendala teknis, melainkan sinyal lemahnya keterbukaan yang seharusnya menjadi prinsip dasar pengelolaan keuangan negara.

Ironisnya, bukannya membenahi, tahun ini pola yang sama justru diulang—dengan pelaksanaan yang lebih senyap, lebih tertutup, dan lebih leluasa. Dalihnya tetap sama: percepatan. Tapi percepatan bukan alasan untuk menghapus transparansi. Dan swakelola bukan celah untuk membypass sistem tender yang sah.

Yang sedang terjadi di Dinas PUPR Merangin hari ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini lebih menyerupai pola yang dirancang dengan sadar untuk menghindari pengawasan. Proyek berjalan tanpa jejak, tanpa pengumuman resmi, dan tanpa ruang bagi publik untuk mengetahui siapa pelaksana dan bagaimana akuntabilitas anggarannya.

Swakelola semacam ini menjelma menjadi kendaraan yang nyaman untuk menghindari sistem. Dan ketika proyek dijalankan dengan logika seperti ini, kita sedang menciptakan birokrasi yang merasa tidak perlu diawasi. Birokrasi yang percaya bahwa asal pekerjaan terlaksana, proses bisa diabaikan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merangin seharusnya tidak tinggal diam. Fungsi pengawasan wajib dijalankan, bukan sekadar dicantumkan di dokumen resmi. Begitu pula inspektorat dan aparat penegak hukum. Fakta bahwa proyek fisik mulai dikerjakan tanpa publikasi di RUP dan LPSE sudah cukup untuk menjadi alasan pemanggilan klarifikasi oleh pihak berwenang.

Jika hari ini publik membiarkan proyek dikerjakan secara diam-diam, maka besok kita tidak akan tahu berapa banyak anggaran yang digelontorkan tanpa kejelasan. Kita bukan hanya kehilangan uang negara—kita kehilangan arah tata kelola yang sehat. Dan itu jauh lebih berbahaya.

Swakelola boleh jadi solusi. Tapi ketika ia digunakan untuk menyembunyikan proyek, menghindari persaingan sehat, dan membungkam pengawasan, maka itu bukan lagi kebijakan itu akal-akalan.(*)

Tinggalkan Balasan

Jambi Daily