JAMBIDAILY.COM – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 terus mendukung belanja kesehatan guna menjamin akses layanan kesehatan yang merata, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan.
Tak kurang dari 6% anggaran belanja negara dalam APBN 2025 atau sebesar Rp218,48 triliun dialokasikan untuk kesehatan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan alokasi anggaran kesehatan tahun 2024 yang sebesar Rp187,53 triliun atau 5,6% dari total belanja negara 2024.
Kenaikan alokasi tersebut salah satunya untuk mendukung Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC/Quick wins) Presiden di bidang kesehatan yang mencakup pemeriksaan kesehatan gratis bagi masyarakat (PKG), penuntasan penyakit TBC, serta peningkatan kualitas dan kapasitas RSUD.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus berupaya memeratakan akses layanan kesehatan di antaranya dengan melakukan pembangunan atau peningkatan rumah sakit (RS) kelas D menjadi kelas C yang berkualitas.
Sekretaris Jenderal kemenkes Kunta Wibawa mengatakan terdapat 66 rumah sakit umum daerah (RSUD) kelas D/D Pratama yang akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C di berbagai kabupaten/kota di Indonesia, khususnya di wilayah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
Program tersebut merupakan salah satu quick wins atau Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di bidang kesehatan di samping pemeriksaan kesehatan gratis dan penuntasan tuberculosis (TBC).
Peningkatan kelas rumah sakit tersebut dilaksanakan secara bertahap. Sebanyak 32 RS ditargetkan selesai dibangun pada tahun 2025 dan 34 sisanya akan dibangun pada tahun 2026.
Sebagai informasi, rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas, yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak serta pelayanan kebidanan dan kandungan.
Kunta mengungkapkan setiap RS yang naik kelas tersebut akan dilengkapi dengan fasilitas modern seperti ruang operasi, ICU, NICU, laboratorium lengkap, dan peralatan radiologi canggih. Pemenuhan sarana prasarana lainnya seperti ruang rawat jalan, rawat inap, hemodialisa, ruang gawat darurat, ruang farmasi, dan sebagainya, termasuk alat kesehatan serta meubelair penunjang operasional rumah sakit juga dilakukan.
“Kita ingin memastikan masyarakat di daerah terpencil memiliki akses layanan kesehatan yang lebih merata dan berkualitas, tanpa harus dirujuk ke kota besar,” ujar Kunta, dilansir dari laman kemenkeu.go.id. Senin 14 Juli 2025.
Program pembangunan RS lengkap berkualitas tersebut juga sejalan dengan upaya Kemenkes dalam mengakselerasi pembangunan RS strata madya di kabupaten/kota untuk layanan kanker-jantung-stroke-uronefrologi dan kesehatan ibu anak (KJSU-KIA) yang telah dimulai sejak tahun lalu.
Sebanyak 17 rumah sakit mulai dibangun
Program prioritas pembangunan RS berkualitas mencakup pembangunan RS baru, revitalisasi RS yang telah ada, pengadaan alat kesehatan, peningkatan kapasitas SDM, serta digitalisasi sistem pelayanan rumah sakit.
Secara keseluruhan, kebutuhan anggaran nasional untuk pelaksanaan program pembangunan RS berkualitas dapat mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, dengan pembiayaan yang bersumber dari APBN, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Kesehatan, serta skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Adapun biaya pembangunan masing-masing rumah sakit tersebut bervariasi tergantung kesulitan akses dan lingkup peningkatan RS.
Kemenkes sendiri pada tahun 2025 mengalokasikan anggaran sebesar Rp4,5 triliun untuk menjalankan program peningkatan kualitas RS dari tipe D/D Pratama menjadi tipe C.
Kunta mengungkapkan hingga Juni 2025 dari 32 RS yang ditargetkan dibangun tahun ini, sebanyak 17 rumah sakit telah mencapai tahap peletakan batu pertama (groundbreaking). Beberapa di antaranya adalah RSUD Reda Bolo, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur; RSUD Akhmad Berakhim, Tana Tidung, Kalimantan Utara; RSUD Bobong, Pulau Taliabu, Maluku Utara; dan RSUD Tarempa, Kep. Anambas, Kepulauan Riau. Sementara sisanya menyusul dibangun segera setelah realokasi anggaran disetujui oleh Presiden.
Pelaksanaan program prioritas pembangunan RS berkualitas tak lepas dari sejumlah tantangan strategis, di antaranya kendala teknis lapangan disebabkan faktor geografis wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang sulit dijangkau serta masih terbatasnya tenaga medis yang kompeten dan distribusi yang belum merata terutama di daerah terpencil dan perbatasan.
Guna mempercepat pembangunan RS berkualitas tersebut, pemerintah mengambil sejumlah langkah strategis. Di samping menjadikan program ini sebagai bagian dari PHTC yang dilakukan dalam kurun dua tahun (2025-2026), pemerintah juga melakukan penguatan SDM di bidang kesehatan sebagai pilar transformasi kesehatan serta mendorong pembiayaan berkelanjutan.
Kunta menjelaskan Kemenkes menempuh berbagai upaya percepatan pemenuhan dan pemerataan layanan spesialis dan subspesialistik di rumah sakit.
Pertama, Kemenkes bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) menyelenggarakan program beasiswa untuk dokter, termasuk program beasiswa untuk Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dan subspesialis, serta beasiswa fellowship dokter spesialis dalam dan luar negeri.
“Dukungan dari Kemenkeu juga dengan LPDP, kita mendapatkan beasiswa yang meningkatnya luar biasa. Yang tadinya biasanya cuma 500 dokter spesialis, sekarang 2500,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kemenkes juga telah mempermudah dan mempercepat proses adaptasi bagi dokter spesialis WNI lulusan luar negeri agar bisa langsung berkontribusi dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Adaptasi bermaksud menyesuaikan kompetensi dan kemampuan dokter terhadap kondisi di Indonesia.
Tahapan adaptasi dokter spesialis itu diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia(KKI) Nomor 97 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2022 tentang Program Adaptasi Dokter Spesialis Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Dalam peraturan disebutkan bahwa waktu pelaksanaan program adaptasi dokter dan dokter spesialis lulusan luar negeri paling singkat adalah 6-24 bulan.
Selanjutnya, Kemenkes dan LPDP juga menyelenggarakan program beasiswa fellowship dengan tujuan dalam negeri hingga ke berbagai negara di dunia. Beasiswa diberikan dalam bentuk program penambahan kompetensi bagi dokter spesialis dengan kurikulum dan pencapaian kompetensi sebagian dari subspesialis terkait. Masa studi program Fellowship yang didanai bervariasi mulai dari yang paling singkat 3 bulan dan paling lama 24 bulan.
Program beasiswa fellowship dapat meningkatkan akses layanan subspesialistik yang akan berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.
“Kalau fellowship itu lebih cepat. Jadi dari spesialis diperkuat dengan fellow. Kita juga sudah buka ratusan fellow ke luar negeri,” tuturnya.
Pemerintah juga telah mencabut moratorium fakultas kedokteran pada tahun 2022 guna mengatasi masalah distribusi dokter yang tidak merata khususnya di daerah terpencil di samping terus menyempurnakan sistem pendidikan kedokteran untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan.
Tak hanya itu, pemerintah melalui Kemenkes juga menginisiasi program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (Hospital-Based) yang saat ini telah diselenggarakan di enam Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita; RS Anak dan Bunda Harapan Kita; RS Kanker Dharmais; RS Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso; RS Pusat Mata Nasional Cicendo; dan RS Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono) dengan total penerimaan 52 orang peserta didik.
Ke depan Kemenkes merencanakan pengembangan program ke 12 RS lain, termasuk RS Kemenkes, RSUD, dan RS swasta, yang diprioritaskan untuk pemenuhan tujuh spesialis dasar yakni penyakit dalam (internis), anak, bedah, kandungan (obstetri dan ginekologi), anestesi, dan radiologi.
“Ini lebih kepada agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama. Sehingga masalah distribusi juga terselesaikan,” imbuh Kunta.
Pemerintah juga membuka peluang bagi dokter asing khususnya spesialis dan subspesialis untuk praktik di Indonesia dengan tujuan meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan kompetensi dokter lokal, serta mengatasi kekurangan tenaga medis di beberapa daerah.
Peningkatan kualitas tenaga medis dan tenaga kesehatan juga dilakukan antara lain melalui pelatihan teknis, workshop, dan program lanjutan seperti fellowship.
Seiring perkembangan teknologi, akses terhadap pelatihan juga diperluas melalui platform digital, termasuk pembelajaran daring (online learning) dan Massive Open Online Courses (MOOC). Bagi wilayah dengan keterbatasan akses, Kemenkes menyediakan skema pelatihan luring (offline) serta pendampingan oleh fasilitator di daerah, sehingga upaya peningkatan kompetensi dapat berjalan merata dan berkelanjutan di seluruh Indonesia.
Sementara itu, untuk mendorong pembiayaan pembangunan RS berkualitas yang berkelanjutan, selain melalui APBN, pemerintah juga menjalin kerja sama internasional seperti dengan Islamic Development Bank (IsDB), yang mendanai proyek penguatan rumah sakit rujukan nasional dengan total pembiayaan mencapai Rp4,2 triliun. serta menerapkan skema pinjaman luar negeri untuk proyek multi-tahun yang mencakup pembangunan fisik, pengadaan alat kesehatan, dan peningkatan SDM.
Kunta berharap seluruh pemangku kepentingan dalam program pembangunan RS berkualitas baik kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun sektor swasta dapat menjalankan peran dan tanggung jawabnya secara optimal. Sehingga peningkatan dan pemerataan akses layanan kesehatan dapat segera terwujud.
“Harapan kami pembangunan rumah sakit berkualitas bisa lebih diperluas. Sehingga masyarakat kalau sakit bisa tertangani dengan cepat karena punya akses layanan kesehatan yang lebih berkualitas dengan sarana prasarana yang juga lebih lengkap,” pungkasnya. ***
kemenkeu.go.id/













