RAGAM

KKI Warsi Angkat Kisah Masyarakat Bujang Raba Bungo Sukses Mengelola Hutan Secara Lestari

×

KKI Warsi Angkat Kisah Masyarakat Bujang Raba Bungo Sukses Mengelola Hutan Secara Lestari

Sebarkan artikel ini

JAMBIDAILY.COM – Upaya menjaga kelestarian hutan terus dilakukan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.

Salah satu upaya tersebut melalui edukasi pembelajaran inspiratif berupa buku “Menjual Angin: Pembelajaran Community Karbon Bujang Raba” dan film dokumenter “Community Karbon: Inovasi dari Hutan”.

Keduanya merupakan karya dokumentasi pembelajaran dari perjalanan masyarakat pengelola Hutan Desa Bujang Raba di Kabupaten Bungo, Jambi, yang sukses mengelola hutan secara lestari sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi melalui skema community karbon atau karbon komunitas.

Peluncuran ini menjadi tonggak penting dalam menunjukkan bahwa masyarakat mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan dan iklim, bila diberi akses, pengakuan, dan pendampingan yang tepat.

Buku dan film ini dirancang sebagai sumber inspirasi dan panduan praktis bagi komunitas lain, pemerintah, dan pihak pendukung perhutanan sosial di seluruh Indonesia.

“Karya ini adalah hasil refleksi kolektif dari proses panjang belajar bersama masyarakat,” kata Adi Junedi Direktur KKI Warsi, Rabu 15 Juli 2025, dilansir dari laman rri.co.id.

“Kita tidak hanya melihat keberhasilan melindungi hutan, tapi juga bagaimana masyarakat membangun sistem pengelolaan yang berkeadilan, berpihak pada alam, dan tetap berorientasi pada kesejahteraan,” lanjutnya.

Lanskap Bujang Raba merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial, khususnya Hutan Desa. Lima desa yang berbatasan langsung dengan kawasan ini mengelola lebih dari 5.000 hektare hutan.

Melalui skema ini, masyarakat berhasil menjaga hutan tetap utuh, mencegah deforestasi, dan mempertahankan cadangan karbon yang tinggi.

Keberhasilan ini membuka peluang untuk mengakses skema pendanaan berbasis karbon sukarela non-pasar (non-market mechanism), tanpa menjual hak atas hutan, melainkan memperoleh insentif atas jasa lingkungan yang mereka lestarikan.

Lebih dari Rp 3,5 M pendanaan karbon telah dinikmati oleh masyarakat pengelola hutan di Bujang Raba.

Buku “Menjual Angin” menggambarkan proses teknis dan sosial yang ditempuh masyarakat bersama KKI Warsi, mulai dari pengukuran karbon, pemetaan partisipatif, penguatan kelembagaan, hingga negosiasi manfaat.

Sementara film “Community Karbon: Inovasi dari Hutan” menyajikan gambaran visual menyentuh tentang perjuangan, harapan, dan inovasi yang lahir dari hutan.

Dengan kemasan naratif yang kuat dan bahasa yang mudah dipahami, kedua produk ini diharapkan menjadi sarana belajar lintas wilayah.

KKI Warsi menyebarluaskan buku dan film ini kepada kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan, perguruan tinggi, pemerintah daerah, hingga kementerian terkait.

“Harapan kami, produk ini tidak hanya menjadi dokumentasi keberhasilan, tetapi juga membuka dialog luas tentang pentingnya mendukung komunitas penjaga hutan dengan skema insentif yang adil,” Adi.

Kepala Bidang Perencanaan, Pemanfaatan, dan Hutan Adat (PPMHA) Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Bambang Yulisman, mengapresiasi peluncuran buku “Menjual Angin” dan menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh KKI Warsi bersama masyarakat merupakan langkah progresif yang melampaui zamannya.

“Ibarat pepatah Semen Padang, sudah duluan melakukan sebelum orang lain memikirkan. Warsi telah berhasil menghubungkan isu-isu internasional dengan realitas masyarakat pengelola hutan di tingkat tapak,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah menyiapkan langkah-langkah agar sektor kehutanan dapat masuk ke dalam skema bursa karbon, sehingga pengalaman seperti di Bujang Raba dapat direplikasi lebih luas secara nasional.

Irma Tambunan, wartawan senior menilai bahwa buku Menjual Angin setebal 130 halaman itu tidak hanya bercerita tentang karbon, tapi tentang manusia—tentang warga desa yang dengan gigih menjaga hutan mereka, menghitung pohon demi pohon, membangun kepercayaan, dan berdialog dengan dunia.

Setiap lembar buku ini adalah potret nyata perjuangan masyarakat sekitar hutan. Mereka tidak menuntut banyak, hanya ingin hutan tetap ada, agar hidup tetap berjalan.

Semengtara itu, Dimas Raditya Arisandi penggiat film di Jambi, menyebutkan film dokumenter yang dihadirkan merupakan sebuah karya seni yang berhasil mengangkat isu konservasi dengan cara yang menyentuh, jujur, dan sangat dekat dengan akar budaya masyarakat sekitar hutan.

“Film ini berhasil menyampaikan pesan kuat melalui visual yang orisinil—footage-nya bukan sekadar gambar indah dari bentang alam, tapi potret nyata dari kehidupan masyarakat yang menjaga hutan dengan sepenuh hati,” kata Dimas.

Dimas menyebutkan, setiap adegan menyuarakan nilai-nilai adat, kearifan lokal, dan perjuangan kolektif yang sering kali luput dari sorotan media arus utama. Inilah kekuatan film ini, ia tidak hanya menunjukkan hutan, tapi menghidupkannya dalam ingatan dan kesadaran penonton.***