Editorial : Nazarman
Publik perlu diingatkan kembali pada satu kasus yang sempat mencuat namun kini perlahan dilupakan: temuan kelebihan bayar tunjangan perumahan 32 anggota DPRD Merangin dari dua periode: 2014–2019 dan 2019–2024. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa pembayaran tunjangan tersebut melebihi batas kewajaran, baik dari sisi regulasi maupun pembanding harga pasar. Nilainya mencapai miliaran rupiah.
Kasus ini sempat memicu kegaduhan politik dan aksi mahasiswa. Kejaksaan Negeri Merangin pun turun tangan. Namun alih-alih terbuka dan transparan, penanganannya justru berjalan di lorong gelap tanpa kejelasan mekanisme.
Versi Anggota DPRD: Dipanggil, Disuruh Setor, Tanpa Penjelasan
Sejumlah anggota DPRD (baik aktif maupun mantan) mengungkap bahwa mereka dipanggil ke Kejaksaan melalui Sekretariat Dewan. Di Kejari, mereka hanya ditanya, “Apakah tahu alasan pemanggilan?” sebelum akhirnya disinggung soal temuan tunjangan perumahan.
Mereka lalu diarahkan untuk mengambil Surat Tanda Setor (STS) yang sudah disiapkan oleh Plt Sekwan Siti Aminah. Dalam STS itu, sudah tertera nominal yang harus dikembalikan dan nomor rekening tujuan—namun mereka tidak tahu apakah itu rekening resmi Kas Umum Daerah atau bukan.
Beberapa dari mereka mengaku telah menyetor uang tersebut ke rekening yang tertera di STS. Namun hingga kini, tidak ada informasi lanjutan apakah uang itu benar-benar tercatat masuk ke kas daerah. Bahkan, mereka tidak tahu dasar perhitungan nominal yang muncul dalam STS tersebut, dan siapa yang melakukan kalkulasi itu.
Penjelasan Kejaksaan: Arahkan Pengembalian, Bukan Perintah BPK
Dalam wawancara eksklusif wartawan Jambi Daily dengan Kasi Intel Kejari Merangin, Arie, pada 23 Januari 2025 di kantor Kejari Merangin, disampaikan bahwa kasus ini masih dalam tahap penyelidikan oleh bidang Pidana Khusus (Pidsus). Ia mengakui memang ada sejumlah anggota DPRD yang beritikad baik mengembalikan dana, namun soal mekanisme dan dasar hukumnya masih menjadi pertanyaan.
Ketika ditanya soal ketiadaan rekomendasi pengembalian dari BPK, Arie menjawab:
“Yang jelas ini uang negara sudah keluar, ada kelebihan bayar, ya harus dikembalikan. Justru kami yang sekarang mempertanyakan BPK. Dia sudah menghitung dan sudah ada temuan, kenapa tidak merekomendasikan untuk mengembalikan? Yang ada hanya ganti Perbub, bukan mengembalikan.”
“Justru aneh, sekarang semua temuan BPK rekomendasinya mengembalikan, kok di perkara ini malah rekomendasinya ganti Perbub. Itu kita pertanyakan. Dimana audit BPK? Mereka menghitung dan menyatakan ada temuan, tapi tidak merekomendasikan pengembalian, hanya ganti Perbub.”
Terkait nilai pengembalian yang berubah-ubah, Arie menyatakan:
“Yang pasti kita berdasarkan Permendagri berapa itu saya lupa, nanti akan disampaikan semuanya setelah penyelidikan selesai.”
Catatan Penting: Prosedur Hukum Dilanggar?
Permasalahan utama dari proses ini bukan hanya pada jumlah uang, tapi pada prosedur hukum dan transparansi publik.
Pengembalian uang negara tidak bisa berdasarkan “inisiatif moral” atau arahan lisan. Ia harus lewat jalur resmi: temuan BPK → teguran → hitungan kerugian → perintah pengembalian → setor ke RKUD → pencatatan sistem.
Sekwan bukan pejabat penagih uang negara, dan STS yang diterbitkannya tidak otomatis sah secara hukum.
Rekening tujuan harus merupakan RKUD resmi (yang dikelola BPKAD), bukan sekadar nomor yang muncul di kertas tanpa kejelasan.
Tidak boleh ada “pengembalian diam-diam” tanpa berita acara dan tanpa jejak administrasi.
Jika seluruh proses dilakukan dalam diam, tanpa dasar hukum, tanpa kejelasan perhitungan, dan tanpa transparansi kepada publik, maka yang terjadi bukan pemulihan kerugian negara, tetapi penghilangan jejak.
Publik Berhak Tahu: Ke Mana Uang Itu Masuk?
Maka pertanyaan publik hari ini sangat sederhana tapi fundamental:
Apakah uang yang disetor oleh anggota DPRD itu benar-benar masuk ke Kas Umum Daerah (RKUD)?
Siapa yang menghitung nominalnya, dan berdasarkan aturan mana?
Mengapa Kejaksaan menjadi pihak yang memanggil dan memfasilitasi pengembalian, padahal belum ada penetapan hukum atau perintah BPK?
Jika ini bagian dari penyelidikan pidana, mengapa sebagian dana sudah ditarik duluan tanpa status hukum?
Kejaksaan, Inspektorat, Sekretariat DPRD, dan BPKAD harus bicara terbuka ke publik. Ini bukan soal “siapa bersalah,” tapi soal penataan akuntabilitas keuangan negara.
Penutup: Jangan Bungkam dengan “Sudah Dikembalikan”
Sering kali, narasi “uangnya sudah dikembalikan” digunakan untuk membungkam kritik publik. Padahal, yang lebih penting bukan hanya soal dikembalikan atau tidak, melainkan:
Apakah dikembalikan melalui mekanisme hukum yang sah?
Apakah masuk ke tempat yang benar?
Dan apakah bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi?
Jika jawabannya tidak jelas, maka seluruh proses ini patut dianggap sebagai preseden buruk dalam tata kelola keuangan daerah. Kita tidak sedang menuduh, tapi kita menuntut: penjelasan, bukan pengaburan.(*)











