Oleh: Wahyu Adi Setyo Wibowo
Arsiparis Ahli Muda Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan
Doktor Ilmu Komunikasi (Candidate), Universitas Sahid Jakarta
KETIKA masyarakat umum mendengar kata “arsip”, bayangan yang muncul biasanya adalah tumpukan dokumen lama di ruang penyimpanan yang berdebu.
Namun di era digital dan masyarakat informasi, pengertian arsip berkembang jauh dari sekadar dokumen. Arsip kini mencakup segala bentuk rekaman informasi yang menjadi jejak peradaban—baik fisik maupun digital, resmi maupun tidak resmi, formal maupun informal. Ia menjadi elemen penting dalam membentuk ingatan kolektif, identitas sosial, hingga legitimasi kekuasaan.
Dalam konteks ini, teori kritis komunikasi menawarkan cara berpikir yang sangat relevan untuk memahami bagaimana arsip dan media menjadi alat kekuasaan simbolik dalam masyarakat modern. Melalui teori kritis, kita bisa membongkar relasi antara arsip, media, dan kekuasaan—serta mempertanyakan siapa yang berhak menyimpan, mengakses, dan menyebarluaskan ingatan kolektif tersebut.
Teori kritis muncul sebagai respon terhadap ketimpangan sosial dan dominasi ideologis dalam masyarakat kapitalis. Pemikiran ini berkembang di awal abad ke-20 melalui tokoh-tokoh Frankfurt School seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan kemudian Jürgen Habermas. Inti dari teori kritis adalah bahwa komunikasi tidak pernah netral. Ia selalu membawa nilai, kekuasaan, dan kepentingan tertentu.
Dalam masyarakat kapitalis, media massa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga alat reproduksi ideologi.
Media menciptakan dan menyebarkan simbol, narasi, dan struktur pengetahuan yang menguntungkan pihak-pihak dominan. Hal ini sangat berhubungan dengan bagaimana arsip dikonstruksi dan digunakan dalam kehidupan sosial.
Media memiliki peran besar dalam menentukan arsip mana yang dianggap penting dan mana yang dilupakan. Arsip yang dipublikasikan media menjadi ingatan kolektif masyarakat, sementara yang tidak dipublikasikan menghilang dalam senyap. Proses ini merupakan bagian dari dominasi ideologis yang disebut sebagai hegemoni simbolik.
Dalam pendekatan kritis, arsip bukan sekadar data atau catatan, melainkan kekuatan simbolik yang menentukan siapa yang memiliki tempat dalam sejarah dan siapa yang dilupakan. Ketika negara, perusahaan besar, atau institusi media memilih untuk menyimpan dan menyebarkan versi tertentu dari sejarah, maka mereka juga sedang melakukan kekerasan simbolik terhadap narasi-narasi lain yang tidak diarsipkan.
Sebagai contoh, dalam sejarah konflik agraria di Indonesia, arsip resmi yang tersedia di lembaga pemerintah atau media arus utama seringkali mencerminkan perspektif negara dan tidak mencantumkan suara rakyat kecil. Padahal banyak arsip tandingan yang disimpan oleh LSM, organisasi petani, atau jurnalis independen, tetapi tidak memiliki legitimasi dan akses luas karena tidak masuk dalam sistem pengarsipan negara.
Dalam teori Pierre Bourdieu, situasi ini disebut sebagai kapital simbolik—yaitu kekuasaan yang diperoleh melalui pengakuan sosial atas simbol, dalam hal ini arsip. Arsip yang didukung negara atau korporasi besar memiliki kapital simbolik yang tinggi karena dianggap sah, sementara arsip warga dianggap tidak valid atau tidak ilmiah.
Media modern, terutama media digital, telah mengubah cara kita mengakses dan memahami arsip. Sayangnya, media tidak hanya menjadi perantara, tetapi juga pelaku aktif dalam proses komodifikasi informasi. Arsip yang awalnya bersifat dokumentatif dan historis berubah menjadi konten yang dikemas untuk menarik klik, views, dan iklan.
Misalnya, video arsip pidato Presiden Soekarno atau rekaman peristiwa 1998 di Jakarta yang seharusnya menjadi bahan edukasi publik, malah digunakan untuk membuat konten nostalgia, drama politik, atau bahkan teori konspirasi demi kepentingan komersial. Konteks sejarah diabaikan demi sensasi, dan arsip kehilangan fungsi kritisnya.
Dalam pandangan Jean Baudrillard, ini adalah bentuk simulasi, di mana realitas yang sebenarnya digantikan oleh citra-citra yang dimanipulasi. Media tidak lagi merefleksikan kenyataan, melainkan menciptakan kenyataan baru yang hiper-real. Dalam hal ini, arsip yang disajikan oleh media bukan lagi rekaman sejarah, melainkan konstruksi ulang sejarah sesuai kebutuhan pasar.
Namun tidak semua arsip dan media tunduk pada dominasi. Di tengah arus informasi yang dikontrol kekuasaan, muncul gerakan arsip alternatif dan media partisipatif. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap hegemoni simbolik yang dilakukan oleh komunitas sipil, akademisi independen, hingga aktivis sosial.
Platform seperti Internet Archive, WikiLeaks, dan berbagai museum digital independen berperan penting dalam menyelamatkan arsip-arsip yang tidak dilindungi oleh negara. Di Indonesia, gerakan dokumentasi lokal seperti arsip sejarah komunitas Tionghoa, catatan sejarah perempuan, hingga arsip lisan masyarakat adat mulai dikembangkan oleh organisasi nonpemerintah.
Media sosial seperti Instagram dan YouTube juga digunakan sebagai kanal penyebaran arsip tandingan. Meski sering dianggap remeh, platform ini memungkinkan suara-suara marginal untuk didengar dan diarsipkan. Seorang petani bisa merekam perampasan tanahnya, seorang ibu bisa menyimpan cerita penggusuran, dan mahasiswa bisa menyebarkan dokumen sejarah alternatif dengan jangkauan global.
Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan simbolik bisa ditantang, dan arsip bisa menjadi alat emansipasi ketika dikelola secara kritis dan partisipatif.
Untuk membangun sistem komunikasi yang adil, diperlukan pendekatan multidisipliner dan intersektoral dalam pengelolaan arsip dan media. Pemerintah harus membuka akses terhadap arsip publik dan menjamin hak warga untuk mengetahui sejarahnya sendiri. Akademisi dan peneliti komunikasi perlu memperkuat riset-riset kritis terhadap bagaimana informasi didistribusikan dan dikendalikan.
Media massa, baik konvensional maupun digital, harus bertanggung jawab secara etis dalam menyajikan arsip sejarah. Mereka perlu menyertakan konteks, narasi alternatif, dan memberi ruang bagi keragaman sumber. Sementara itu, masyarakat sipil harus terus diberdayakan agar mampu memproduksi dan menjaga arsipnya sendiri.
Teori kritis dalam komunikasi memberi kita alat analisis yang kuat untuk membaca realitas ini—bahwa informasi bukan sekadar data, melainkan arena pertarungan kekuasaan. Dalam konteks arsip dan media, perjuangan bukan hanya tentang menyimpan dokumen, tetapi juga tentang siapa yang berhak bicara dan diakui dalam sejarah.
Jika kita ingin membangun masa depan yang lebih adil dan inklusif, maka kita harus menulis ulang sejarah secara kritis—bukan dengan menghapus yang lama, tetapi dengan membuka ruang bagi narasi-narasi yang selama ini disingkirkan. Arsip bukan milik negara atau korporasi saja, tetapi milik semua warga. Dan media bukan sekadar jendela dunia, tetapi juga pintu masuk menuju keadilan simbolik.
Dengan teori kritis sebagai landasan, kita tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga aktor yang sadar akan posisi, peran, dan tanggung jawab dalam ekosistem komunikasi. Inilah saatnya kita mengarsipkan kembali realitas dengan kacamata kritis—agar tidak ada lagi yang dibungkam dan dilupakan dalam sejarah bangsa. ***
sumber: indonesiadaily.co.id (jaringan asri media group)











