Oleh: Dr. Noviardi Ferzi *
RENCANA Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi Tahun 2025-2029 hadir sebagai cetak biru masa depan, sebuah dokumen yang mengurai visi, misi, dan program pembangunan lima tahun ke depan.
Namun, menilik dari jejak langkah pembangunan sebelumnya, khususnya dengan visi “Jambi Mantap” yang telah berganti, timbul pertanyaan mendasar, akankah RPJMD kali ini mampu bergerak melampaui capaian yang terkesan minimalis, ataukah hanya akan menjadi repetisi program tanpa terobosan nyata? Kritisisme tajam perlu diarahkan pada kemauan politik dan kapasitas riil daerah dalam mewujudkan cita-cita besar yang seringkali terasa menjauh dari realitas empiris.
Visi “Menjadikan Provinsi Jambi Maju, Berdaya Saing, Berkelanjutan, dan Sejahtera” yang diusung dalam RPJMD ini memang terdengar mulia, sebuah kanvas ambisius yang menjanjikan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan ekonomi inklusif, penguatan infrastruktur, serta tata kelola pemerintahan yang responsif.
Namun, refleksi atas capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di tahun 2024 menunjukkan tantangan yang tidak bisa diabaikan. Pilar Lingkungan, misalnya, hanya mencapai 4,34% dari target, sementara Pilar Ekonomi 23,37%, dan Pilar Sosial 31,91%.
Data ini secara gamblang merefleksikan adanya kesenjangan serius antara target yang ditetapkan dengan realitas pencapaian di lapangan, suatu indikasi bahwa kerangka kerja sebelumnya mungkin belum sepenuhnya efektif dalam menerjemahkan aspirasi menjadi aksi konkret.
Capaian TPB yang minim ini bukan sekadar angka, melainkan indikator kegagalan sistemik dalam perencanaan dan implementasi program.
Rendahnya persentase capaian ini dapat mengindikasikan kurangnya integrasi lintas sektor, lemahnya koordinasi antar-OPD, atau bahkan ketidakmampuan untuk mengidentifikasi akar masalah yang sesungguhnya di setiap pilar.
Teori perencanaan pembangunan menggarisbawahi pentingnya indikator kinerja yang ambisius namun realistis, didukung oleh kapasitas implementasi yang memadai (Sjafrizal, 2015).
Jika capaian sebelumnya masih jauh dari harapan, pertanyaan tentang evaluasi mendalam dan perbaikan strategi menjadi krusial.
Lebih jauh, ketidakmampuan mencapai target TPB juga menyoroti potensi disonansi antara dokumen perencanaan di atas kertas dengan praktik di lapangan.
Apakah RPJMD sebelumnya hanya berfokus pada daftar program tanpa analisis mendalam mengenai kapasitas sumber daya dan hambatan implementasi? Tanpa evaluasi mendalam terhadap alasan di balik kegagalan ini, RPJMD 2025-2029 berisiko mengulangi kesalahan yang sama, mengubah visi “Jambi Mantap 2029” menjadi sekadar jargon.
Kapasitas fiskal daerah menjadi jantung penggerak pembangunan.
Dokumen RPJMD ini sendiri mengakui bahwa rasio kapasitas fiskal daerah Provinsi Jambi pada tahun 2024 masih berada pada kategori rendah, yakni 1,542, meskipun ada proyeksi peningkatan menjadi 1,795 pada tahun 2029. Angka ini, dalam kacamata teori ekonomi pembangunan, adalah sinyal peringatan serius.
Kapasitas fiskal yang terbatas akan secara inheren membatasi ruang gerak pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumber daya untuk program-program prioritas, terutama yang membutuhkan investasi besar dan jangka panjang.
Kondisi ini semakin diperparah dengan informasi terbaru mengenai proyeksi anggaran.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 diperkirakan sebesar Rp 4,6 Triliun, namun akan mengalami penurunan signifikan pada tahun 2026 menjadi Rp 3,6 Triliun.
Penurunan satu triliun ini sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) langsung ke pemerintah daerah pada tahun tersebut.
Selain itu, dana tunda salur transfer oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi kemungkinan tidak akan diturunkan pada tahun 2026, sebagai bentuk kontribusi pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Ini mengindikasikan adanya pergeseran alokasi anggaran pusat ke balai-balai kementerian seperti Balai Cipta Karya, Bina Marga, dan Balai Sungai.
Implikasi dari rasio kapasitas fiskal yang rendah ini, diperburuk dengan proyeksi penurunan APBD, bukan hanya soal keterbatasan dana, melainkan juga potensi ketergantungan pada dana transfer pusat yang kini dialihkan dan dapat membatasi otonomi daerah dalam penentuan prioritas pembangunan. Maka, pertanyaannya adalah, bagaimana RPJMD ini merespons keterbatasan fiskal yang semakin parah tersebut? Apakah ada strategi inovatif untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan dan mandiri, ataukah hanya mengandalkan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang belum tentu terwujud di tengah keterbatasan ini?
Analisis efektivitas belanja pemerintah juga patut dipertanyakan, sebab meskipun diklaim berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, efektivitas dan keberlanjutan alokasi dan realisasi anggaran untuk mendorong sektor produktif secara merata serta kesinambungan proyek masih perlu dievaluasi lebih lanjut.
Ini mengindikasikan adanya celah antara niat dan dampak nyata dari setiap rupiah yang dibelanjakan, sebuah problem klasik dalam perencanaan pembangunan yang menuntut efisiensi dan akuntabilitas yang lebih tinggi (Nugroho, 2003; Kismartini, 2005).
Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan apakah RPJMD ini secara konkret menguraikan strategi untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas belanja, terutama di tengah kondisi keuangan yang semakin ketat ini. Misalnya, melalui penguatan sistem monitoring dan evaluasi, penerapan value for money, atau bahkan prioritisasi program yang memiliki multiplier effect tinggi dan relevan dengan fokus balai-balai kementerian.
Tanpa strategi yang jelas untuk mengatasi keterbatasan fiskal dan meningkatkan efisiensi belanja, target ambisius dalam RPJMD akan sulit terealisasi.
Kondisi ini juga berarti Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus siap “mengencangkan ikat pinggang” dan mengalokasikan anggaran pada tahun 2026 untuk yang betul-betul dibutuhkan, menegaskan urgensi efisiensi.
Lebih jauh, data-data makro ekonomi yang diproyeksikan dalam RPJMD perlu ditelaah dengan kacamata kritis.
Target pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara 4,84% hingga 5,15% (rata-rata 2025-2029) dan mencapai 6,34% hingga 7,50% pada tahun 2029 di beberapa kabupaten/kota serta target 6,25% untuk provinsi secara keseluruhan di tahun 2029, harus dilihat dalam konteks struktur ekonomi Jambi yang masih didominasi sektor primer.
Ketergantungan pada pertanian, kehutanan, dan perikanan, yang menyumbang 33,93% PDRB pada tahun 2024, menjadikan ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Tanpa strategi diversifikasi yang agresif dan hilirisasi yang masif, target pertumbuhan ini bisa jadi hanyalah optimisme di atas kertas, tanpa fondasi struktural yang kuat.
Dominasi sektor primer tidak hanya membuat ekonomi rentan, tetapi juga membatasi penciptaan nilai tambah dan lapangan kerja berkualitas.
Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor primer seringkali bersifat jobless growth atau low-wage growth. Oleh karena itu, RPJMD ini perlu secara eksplisit merumuskan strategi transformasi struktural ekonomi yang konkret, mengingat terbatasnya ruang fiskal.
Ini bisa berarti investasi pada sektor manufaktur hilir, pengembangan industri jasa bernilai tinggi, atau bahkan mendorong ekonomi kreatif dan digital.
Pertanyaan krusialnya adalah, apakah RPJMD ini memberikan peta jalan yang jelas untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas primer di tengah penurunan anggaran? Bagaimana strategi hilirisasi akan diimplementasikan dengan dana yang lebih terbatas? Apakah ada insentif yang inovatif untuk investasi di sektor-sektor non-primer yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi tanpa bergantung pada anggaran daerah? Tanpa perubahan mendasar pada struktur ekonomi dan adaptasi terhadap realitas fiskal, target pertumbuhan yang ambisius ini akan tetap menjadi harapan yang rapuh di tengah volatilitas pasar global.
Isu kemiskinan dan ketimpangan, yang merupakan wajah lain dari pembangunan yang belum inklusif, juga menjadi sorotan.
Meskipun terdapat target penurunan tingkat kemiskinan hingga kisaran 2,52% – 8,14% pada tahun 2029 di berbagai daerah dan Indeks Gini yang menunjukkan perbaikan menjadi 0,321 pada tahun 2024, kesenjangan pembangunan antarwilayah masih menjadi isu strategis.
Perbedaan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur antara kawasan perkotaan dan perdesaan adalah realitas yang tidak dapat diabaikan.
Hal ini menegaskan bahwa strategi pembangunan kawasan yang lebih terfokus pada pemerataan dan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar dominasi perkotaan adalah keniscayaan (Dunn, 2003; Subarsono, 2005).
Teori polarisasi pertumbuhan menegaskan bahwa tanpa intervensi yang tepat, pembangunan akan cenderung terkonsentrasi di pusat-pusat yang sudah maju, meninggalkan daerah pinggiran dalam ketertinggalan.
Oleh karena itu, perlu dipertanyakan sejauh mana RPJMD ini mengakomodasi pendekatan pembangunan yang berbasis kewilayahan dan inklusif, terutama dengan anggaran yang lebih terbatas.
Apakah target penurunan kemiskinan hanya akan tercapai melalui program-program parsial, ataukah ada strategi holistik yang menyentuh akar penyebab kemiskinan dan ketimpangan, seperti akses terhadap modal, pendidikan berkualitas, dan lapangan kerja yang layak di daerah terpencil, dengan memaksimalkan kolaborasi dan inovasi?
Secara spesifik, apakah RPJMD ini secara eksplisit mengidentifikasi wilayah-wilayah kabupaten/kota dengan sebaran daerah yang tertinggal dan merumuskan program spesifik untuk percepatan pembangunan di sana, dengan mempertimbangkan skema pendanaan baru seperti melalui Balai-Balai Kementerian? Misalnya, melalui pembangunan infrastruktur dasar yang memadai, peningkatan kapasitas SDM lokal, atau penciptaan pusat-pusat ekonomi baru di luar wilayah perkotaan yang dapat didukung oleh dana yang diturunkan langsung oleh kementerian.
Tanpa strategi pemerataan yang tegas, terukur, dan adaptif terhadap perubahan skema pendanaan, pencapaian target makro dalam RPJMD tidak akan secara otomatis mengurangi kesenjangan yang ada.
Pada akhirnya, pertanyaan mendalam yang harus dijawab oleh pemangku kepentingan di Provinsi Jambi adalah: Jambi mau dibawa ke mana? Apakah Jambi akan terus terjebak dalam pola pembangunan yang cenderung “minimalis” dalam capaian dan lambat dalam transformasi struktural, ataukah akan berani melakukan terobosan radikal yang benar-benar mengubah wajah perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya? Ini bukan hanya soal angka dan target, melainkan soal keberanian merumuskan prioritas belanja yang transformatif, mengoptimalkan setiap potensi fiskal yang semakin terbatas, dan memastikan setiap program menyentuh akar permasalahan kebutuhan daerah yang sesungguhnya (Islamy, 1997; Nawawi, 2009).
Pemerintah daerah juga telah menampung aspirasi ASN terkait pemotongan pajak, mengindikasikan upaya untuk menjaga kesejahteraan ASN di tengah tantangan fiskal, dan berupaya memperjuangkan TPP.
Selain itu, pemerintah daerah mengingatkan semua OPD untuk bekerja sesuai tugas dan fungsi, meningkatkan kompetensi, serta menghadirkan inovasi, efektivitas, dan efisiensi dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Presiden Republik Indonesia untuk efisiensi dan penggunaan anggaran yang tepat berdasarkan skala prioritas.
Kunci keberhasilan RPJMD ini terletak pada “political will” yang kuat dan kapasitas implementasi yang memadai di tengah kondisi fiskal yang menghimpit.
Hal ini menuntut bukan hanya komitmen dari eksekutif, tetapi juga dukungan legislatif, partisipasi aktif masyarakat, dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta dan perguruan tinggi, serta adaptasi terhadap skema pendanaan pusat yang baru.
Seluruh Aparatur Sipil Negara Pemerintah Provinsi Jambi diajak untuk terus berbuat optimal dalam setiap tugas yang diamanahkan, sehingga harapan masyarakat dan visi serta misi Pemerintah Provinsi Jambi dapat tercapai.
Tanpa evaluasi kritis yang berkelanjutan, adaptasi strategi berdasarkan realitas lapangan yang berubah, dan komitmen kuat untuk tidak hanya merencanakan tetapi juga secara efektif mengimplementasikan, “Jambi Mantap 2029” bisa jadi hanya akan menjadi utopia belaka.
Maka, pertanyaan reflektif untuk menutup: Dengan realitas fiskal yang semakin ketat, apakah RPJMD ini cukup adaptif dan transformatif untuk membawa Jambi menuju visi “Jambi Mantap 2029”, ataukah hanya akan menjadi dokumen yang tergerus oleh keterbatasan?
* Penulis Seorang Pemerhati Kebijakan Publik
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Herdiansyah, Haris. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.
Islamy. (1997). Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Kismartini. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Nawawi, Ismail. (2009). Publik Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek). Surabaya: PMN.
Nugroho, Riant. (2003). Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Kebijakan. Jakarta: Gramedia.
Ranperda RPJMD Provinsi Jambi Tahun 2025-2029. (2025). Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi Tahun 2025-2029. Provinsi Jambi.
Sjafrizal. (2015). Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi. Jakarta: Rajawali Pers.
Subarsono. (2005). Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta..













