JURNAL PUBLIK

MoU Hiburan Malam: Antara Janji Kosong dan Ketakutan pada Ketegasan

×

MoU Hiburan Malam: Antara Janji Kosong dan Ketakutan pada Ketegasan

Sebarkan artikel ini

Editorial: Nazarman

Entah harus tertawa atau prihatin saat membaca isi Memorandum of Understanding (MoU) penertiban hiburan malam yang baru saja diteken Pemerintah Kabupaten Merangin. Isinya terdengar serius, tapi terasa menggelikan.

Bagaimana tidak? Di dalam MoU itu tertulis larangan menjual narkoba, larangan perdagangan manusia, larangan menjual alkohol, dan kewajiban taat kepada Perda.

Pertanyaannya: bukankah semua itu sudah jelas-jelas dilarang oleh hukum yang lebih tinggi?

Larangan narkoba ada dalam UU Narkotika. Perdagangan manusia diatur dalam UU TPPO. Alkohol diatur oleh Perda. Dan soal ketaatan terhadap Perda itu sudah kewajiban hukum setiap warga negara, tanpa perlu diteken ulang dalam selembar MoU.

Lalu untuk apa MoU ini dibuat?

Kalau bukan untuk gaya-gayaan, ya mungkin sekadar ritual formalitas agar terlihat seperti “sudah berbuat sesuatu”. Padahal sebenarnya: tidak ada langkah berarti.

Salahnya Bukan pada Teken, Tapi pada Gaya Mainnya

Ada yang bertanya, “Apa salahnya MoU itu?”

Jawabannya: tidak salah secara hukum, tapi keliru secara logika publik dan etika penegakan.

Karena MoU tidak bisa, dan tidak seharusnya, menggantikan penegakan hukum.

Langkah ideal seharusnya:

Menegakkan aturan yang sudah ada, tanpa perlu basa-basi,

Menggelar operasi gabungan untuk menyisir pelanggaran secara nyata,

Mengevaluasi dan mencabut izin usaha yang menyimpang,

Dan bila perlu, menutup tempat-tempat yang menjadi sarang penyakit sosial.

Bukan malah mengundang pelaku usaha yang justru diduga melanggar aturan, lalu mengajaknya tanda tangan janji agar “jangan nakal lagi.”

Bayangkan jika logika ini diterapkan ke semua jenis kejahatan. Besok-besok, perampok cukup meneken MoU agar tak merampok lagi, lalu dibiarkan pulang dengan sopan.

Kritik Bukan untuk Menjatuhkan, Tapi untuk Menyadarkan

Tulisan ini rupanya mengusik beberapa pihak. Ada yang menyindir, ada yang membela mati-matian, bahkan ada yang merasa penulis ini sok tahu dan mencari panggung.

Tapi mari kembali ke akal sehat.

Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal publik yang mulai muak dengan retorika tanpa keberanian bertindak.

Kalau pemerintah memang serius ingin menertibkan hiburan malam, jangan cuma bikin seremoni tunjukkan nyali! Jangan sampai pemerintah justru terlihat lebih takut pada pengusaha hiburan, ketimbang takut mengkhianati amanat rakyat.

Dan kepada para pendukung pemerintah: Mari Dewasa

Jangan semua dikaitkan dengan pilkada.

Jangan anggap setiap kritik sebagai serangan politik.

Kalau setiap masukan dianggap sebagai ancaman, lalu buat apa kita bicara tentang demokrasi?

Kesimpulan: Publik Butuh Tindakan, Bukan Tontonan

Pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan janji, bukan pula kertas kesepakatan.

Yang dibutuhkan adalah: ketegasan.

Karena kalau semua sudah diatur oleh undang-undang dan perda, tugas pemerintah bukan meneken ulang, tapi menindak langsung.

Sebab kalau hukum masih harus dinegosiasikan,
kalau larangan narkoba dan perdagangan manusia masih perlu dimusyawarahkan,
maka yang lemah bukan pelakunya tapi pemerintahnya.