Editorial: Jambi daily. Com
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2030 Kabupaten Merangin sudah disusun. Visi dan misi telah dirumuskan, lengkap dengan jargon dan target muluk. Namun, enam bulan sejak dokumen itu lahir, sebagian besar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ternyata masih gamang.
Gamang membaca arah kebijakan bukan sekadar soal teknis. Ia mencerminkan dua hal: lemahnya komunikasi politik dari eksekutif, dan rapuhnya manajemen birokrasi di tingkat pelaksana. Apa gunanya RPJMD yang rapi di atas kertas, jika pelaksana di lapangan bahkan belum tahu harus mulai dari mana?
Contoh kecil namun telanjang terlihat pada program pelatihan bahasa Inggris di tingkat kecamatan. Terbentur aturan larangan rekrutmen baru dari Menpan RB, Dinas Pendidikan justru melepas tanggung jawab dan melemparkannya ke jalur darurat: kerja sama dengan universitas. Bukan solusi strategis, melainkan tambal sulam.
Geopark Merangin, yang digadang sebagai ikon monumental kabupaten, pun masih dihantui aktivitas PETI yang merusak lanskap dan citra. Sementara stadion dan GOR yang sudah menghabiskan anggaran besar, dibiarkan menunggu nasib — menjadi monumen bisu dari pembangunan tanpa rencana matang.
Bupati boleh saja mengklaim RPJMD sebagai kompas pembangunan. Tapi tanpa petunjuk teknis yang jelas, OPD ibarat anak buah kapal yang hanya menerima perintah “berlayar” tanpa tahu arah angin dan peta jalur. Pada akhirnya, kapal pemerintahan bisa berputar-putar di tengah laut, menghabiskan bahan bakar tanpa mendekat ke pelabuhan tujuan.
Kalau eksekutif tak segera memperbaiki koordinasi dan memecahkan kebuntuan di OPD, maka RPJMD 2025–2030 akan bernasib seperti dokumen perencanaan lain: indah di binder, tapi hambar di realisasi. Dan publik akan kembali membayar mahal untuk mimpi yang tak pernah benar-benar dijalankan.











