JAMBIDAILY.COM – Tantangan fiskal tengah menghantui banyak daerah di Indonesia. Fluktuasi transfer dari pemerintah pusat, ketergantungan pada dana perimbangan, dan terbatasnya kemampuan menggali pendapatan asli daerah (PAD) membuat ruang fiskal semakin sempit.
Kondisi ini menuntut setiap pemerintah daerah untuk mengelola APBD secara cermat, efisien, dan fokus pada program prioritas yang benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat.
Provinsi Jambi menjadi salah satu daerah yang harus menghadapi realitas ini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026 mengalami penurunan signifikan sebesar Rp 1 triliun, dari Rp 4,6 triliun menjadi Rp 3,6 triliun.
Penyebab utamanya adalah tidak adanya alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat untuk tahun tersebut.
Pengamat kebijakan publik Jambi, Dr. Noviardi Ferzi, menanggapi imbauan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi, Sudirman, agar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) “mengencangkan ikat pinggang” dengan menegaskan bahwa penghematan harus dimulai dari pucuk pimpinan.
“Imbauan penghematan tidak akan efektif jika para pemimpin, mulai dari gubernur, sekda, hingga kepala OPD, tidak memberikan teladan dalam menentukan prioritas belanja. Penghematan harus dimulai dari atas. Di bawah ditekan untuk hemat, tapi di atas menghamburkan anggaran untuk kegiatan seremonial atau program yang tidak prioritas, itu kontradiktif,” ujarnya.
Menurut Noviardi, kunci keberhasilan efisiensi APBD terletak pada peran aktif Sekda sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), yang bertanggung jawab menyiapkan, menelaah, dan mengarahkan alokasi belanja daerah agar tepat sasaran.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, Sekda memiliki peran strategis memastikan kebijakan anggaran selaras dengan prioritas pembangunan dan kemampuan fiskal daerah.
“Selama ini, fungsi TAPD di tingkat provinsi cenderung bersifat rutinitas, sekadar memproses usulan OPD tanpa seleksi ketat. Sekda seharusnya menjadi filter utama, mengoreksi program yang tidak strategis, serta memastikan setiap rupiah benar-benar memberi dampak bagi pelayanan publik,” tambahnya.
Noviardi menilai, penurunan anggaran akibat nihilnya DAK seharusnya menjadi momentum bagi Sekda untuk memperkuat perencanaan berbasis kinerja.
“Kondisi ini menuntut kecerdasan fiskal. Artinya, belanja harus diarahkan pada sektor yang memberi multiplier effect tinggi bagi masyarakat, bukan sekadar menghabiskan anggaran untuk proyek-proyek yang populer secara politik tapi minim manfaat jangka panjang,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya Sekda memimpin koordinasi lintas OPD untuk menghindari tumpang tindih program. Dalam konteks tupoksi, Sekda bertanggung jawab membantu gubernur menyusun kebijakan dan mengoordinasikan pelaksanaan tugas perangkat daerah, termasuk mengendalikan efisiensi anggaran.
“Kalau Sekda tegas, APBD bisa disusun lebih sehat dan efektif. Tapi kalau longgar, belanja tidak prioritas akan lolos, dan rakyat yang menanggung akibatnya,” pungkas Noviardi.
Ketika ditanya upaya menghadapi keterbatasan fiskal 2026, Noviardi mengatakan penghematan perlu disertai langkah terukur, antara lain:
(1) evaluasi ketat seluruh program OPD berdasarkan indikator kinerja dan urgensi manfaatnya;
(2) pemangkasan anggaran kegiatan seremonial, perjalanan dinas, dan belanja yang tidak memberi dampak langsung;
(3) mendorong inovasi peningkatan PAD tanpa membebani masyarakat secara berlebihan; serta
(4) memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses penyusunan dan perubahan anggaran.
Dengan komitmen pimpinan daerah, khususnya Sekda sebagai motor penggerak TAPD, efisiensi APBD bukan hanya slogan, tetapi menjadi langkah nyata menjaga keberlanjutan pembangunan di Jambi.***













