Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM*
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto melalui Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional telah merilis rencana besar: 18 proyek hilirisasi strategis nasional dengan total nilai investasi mencapai USD 38,63 miliar atau setara Rp618,13 triliun.
Proyek-proyek ini tersebar dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua, hingga Jawa, dan mencakup hilirisasi batubara menjadi DME, smelter aluminium, bioavtur, hingga pengolahan oleofood berbasis sawit.
Namun, dari seluruh proyek yang diumumkan, tidak satu pun dialokasikan di Provinsi Jambi. Padahal, Jambi merupakan daerah penghasil batubara, kelapa sawit, hingga kelapa dalam, yang sangat relevan dengan sektor hilirisasi tersebut. Pertanyaannya mengemuka: mengapa Jambi kembali luput dari perhatian nasional, padahal secara sumber daya tak kalah saing?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat dengan jernih sejumlah faktor kunci yang membuat Jambi kembali hanya menjadi penonton, bukan pelaku dalam agenda pembangunan nasional:
Pertama, infrastruktur logistik Jambi belum siap bersaing
Jaringan jalan, pelabuhan, kawasan industri, hingga sistem logistik terpadu masih tertinggal dibanding provinsi tetangga seperti Riau atau Sumatera Selatan. Biaya logistik dari dan ke Jambi masih tinggi, distribusi barang lambat, dan konektivitas industri belum terintegrasi. Bagi investor, semua ini adalah hambatan serius dalam perencanaan bisnis dan produksi jangka panjang.
Kedua, kemampuan lobi politik daerah masih lemah
Dalam konteks proyek strategis nasional, kekuatan lobi dan diplomasi anggaran memiliki peran vital. Sayangnya, anggota legislatif dari Dapil Jambi di tingkat pusat belum cukup agresif dan vokal dalam memperjuangkan alokasi program strategis untuk daerahnya.
Begitu juga dengan pejabat eksekutif daerah yang kurang proaktif membangun jejaring dan mendekatkan proposal pembangunan ke kementerian terkait. Ketidakhadiran Jambi dalam radar hilirisasi nasional adalah hasil dari kelemahan diplomasi pembangunan itu sendiri.
Ketiga, pemerintah daerah terjebak pada pembangunan simbolik
Alih-alih menyiapkan ekosistem industri dan investasi jangka panjang, pemerintah daerah seringkali lebih fokus membangun proyek-proyek fisik yang bernuansa kosmetik dan seremonial—monumen, jembatan ikonik, atau taman tematik—yang minim dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya saing daerah. Pembangunan berbasis “legacy” lebih dominan dibanding upaya transformasi struktural seperti penguatan SDM, birokrasi, dan industri bernilai tambah.
Keempat, tata kelola pemerintahan belum menciptakan rasa aman bagi investor
Berdasarkan data Monitoring Center for Prevention (MCP) dari KPK, skor tata kelola Provinsi Jambi berada di angka 72,37—jauh di bawah rata-rata nasional 82,06. Sektor-sektor vital seperti pengadaan barang/jasa, pengawasan internal, dan optimalisasi pendapatan masih mendapat skor rendah. Bagi pelaku usaha, ini menandakan tingginya risiko investasi akibat ketidakpastian regulasi, potensi penyimpangan, dan lemahnya birokrasi.
Kelima, citra sosial masyarakat masih belum mendukung iklim investasi
Tingginya angka pelanggaran sosial seperti judi online yang melibatkan pelajar hingga ASN, serta rendahnya literasi keuangan dan digital, menunjukkan adanya kerentanan dalam kualitas SDM lokal. Di sisi lain, resistensi terhadap proyek investasi kerap muncul akibat opini sepihak dari segelintir pengamat atau aktivis lingkungan yang menolak pembangunan tanpa data valid. Opini semacam ini cenderung menciptakan persepsi negatif tentang Jambi, yang pada akhirnya menghalangi kepercayaan investor nasional dan global.
Waktunya Berhenti Menyalahkan, Mulai Bangun Kolaborasi
Sumber daya alam Provinsi Jambi sejatinya adalah berkah yang luar biasa. Cadangan batubara di Tebo dan Sarolangun, perkebunan kelapa sawit yang membentang dari Tanjung Jabung Timur hingga Merangin, serta kelapa dalam dan hasil laut dari pesisir timur, adalah fondasi kuat bagi pengembangan industri hilirisasi yang berdaya saing tinggi. Bila diolah secara tepat, Jambi bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Sumatera.
Namun kekayaan itu hanyalah potensi mentah—ia tidak akan bernilai jika tidak dikelola secara progresif, terencana, dan kolaboratif.
Ketiadaan Jambi dalam daftar proyek hilirisasi nasional bukan sekadar kekecewaan politis, melainkan alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan di daerah. Ini adalah saat yang tepat untuk berhenti menyalahkan pusat, berhenti sibuk mencari kambing hitam, dan mulai bertanya: apa yang bisa kita benahi dari dalam?
Pemerintah daerah perlu melakukan introspeksi mendalam terhadap strategi pembangunan jangka panjang. Di sisi lain, anggota DPR RI Dapil Jambi juga diharapkan tidak hanya hadir dalam ruang legislasi, tetapi juga mengambil peran aktif dalam diplomasi anggaran dan lobi kebijakan di tingkat pusat.
Kekuatan politik Jambi di Senayan harus dimanfaatkan secara optimal untuk memastikan bahwa aspirasi daerah tidak hanya terdengar, tetapi juga ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan konkret dan alokasi proyek strategis.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu bersinergi, membentuk tim teknis dan diplomatik yang fokus menjajaki peluang-peluang pembangunan berbasis industri bernilai tambah. Akademisi dan peneliti dapat memperkuat narasi dengan data dan argumentasi ilmiah. Pelaku usaha lokal perlu difasilitasi agar tidak hanya menjadi pelengkap, tapi justru menjadi motor penggerak. Sementara masyarakat sipil dan media harus mengawal proses ini dengan kritis namun konstruktif—tidak terpancing narasi sepihak yang justru menciptakan ketakutan terhadap investasi.
Karena pada akhirnya, hilirisasi bukan hanya tentang membangun pabrik, tapi tentang membangun ekosistem pembangunan yang mampu mendatangkan kepercayaan investor, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Kita tidak bisa terus berharap bahwa pemerintah pusat akan datang membawa proyek, jika daerah sendiri belum mampu menyiapkan panggungnya. Daerah yang berhasil adalah daerah yang siap—siap secara infrastruktur, siap secara tata kelola, dan siap secara politik.
Jika kita ingin melihat Jambi berdiri sejajar dalam panggung pembangunan nasional, maka kerja sama semua pihak adalah satu-satunya jalan. Sudah waktunya Jambi berhenti hanya berharap. Saatnya bangun kolaborasi, wujudkan transformasi. Bukan saling menyalahkan, tapi saling memperkuat.
*Penulis adalah pengamat kebijakan pembangunan daerah, infrastruktur, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.













