Oleh: Nazarman
JAMBIDAILY.COM-Geliat politik Merangin kembali memperlihatkan wajah aslinya. Menjelang pelantikan pejabat, yang semestinya menjadi proses administratif dan kebutuhan birokrasi, justru berubah menjadi panggung tarik-menarik kepentingan. Kekuasaan yang mestinya menjadi alat untuk mengabdi, kini dipamerkan sebagai alat saling jegal.
Beberapa hari terakhir, publik menyoroti postingan Agus Purnomo orang yang dikenal dekat dengan wakil bupati. Dalam status Facebook nya ia menulis: “Kekuasaan yang absolut cenderung kolusi, korupsi, dan ayo kita awasi dan kawal”
“Tak perlu menjilat untuk naik pangkat, tak perlu menggonggong agar bisa ditolong, karena hidup ini tak seanjing itu, kawan.
”Sekilas, status tersebut belum tentu diarahkan pada isu rencana pelantikan pejabat ataupun hubungan wakil bupati dengan bupati. Namun publik punya cara membaca sendiri. Karena Agus dikenal bagian dari lingkaran dekat wakil bupati, maka apa pun yang ia tulis cenderung dianggap representasi suara sang wakil. Inilah yang membuat status itu bergema lebih keras, seolah menjadi sinyal retaknya komunikasi di pucuk pemerintahan.
Apalagi, di saat yang hampir bersamaan, beredar status anonim dengan nada sinis: “Orang bawaan wabup sudah dibuang semua, nggak ada posisi. Sekarang aku bupati, kau cuma wakil.” Jika benar status itu mencerminkan realitas, maka jelas terlihat bahwa perebutan posisi bukan lagi soal meritokrasi, melainkan dominasi.
Kita harus jujur mengakui: birokrasi Merangin sedang digiring menjadi arena pertempuran politik. Para pejabat eselon II, III, IV, hingga jabatan fungsional dijadikan pion, bukan berdasarkan kinerja, melainkan kedekatan dan keberpihakan. Dalam kondisi seperti ini, yang rugi tentu masyarakat. Program bisa mandek, pelayanan publik terganggu, hanya karena para penguasa sibuk mengamankan barisan.
Soliditas antara bupati dan wakil bupati seharusnya menjadi benteng bagi birokrasi. Namun yang muncul justru retak, bahkan sindir-menyindir di ruang publik. Retak ini bukan hanya soal hubungan personal, melainkan juga cermin lemahnya etika politik di daerah.
Sudah waktunya para pemimpin daerah sadar: jabatan itu bukan warisan untuk dibagi-bagi, bukan pula panggung untuk saling menjatuhkan. Jika pelantikan pejabat hanya dijadikan ajang gonto-gontoan kekuasaan, maka sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai penguasa yang gagal menjaga marwah pemerintahan.(*)











